Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah klasik dan klise soal pendanaan dunia olahraga selalu muncul dalam persiapan Indonesia menghadapi pesta olahraga. Menjelang SEA Games XXVII di Myanmar, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo mendapat pertanyaan dari atlet soal peralatan latihan yang tak kunjung datang dan gaji atlet yang belum cair.
Menteri Roy hanya bisa menjanjikan, soal dana yang seret akan diurus. Namun pemerintah memang tak punya cukup uang. Anggaran persiapan dan pengiriman kontingen yang diajukan Rp 515 miliar dipangkas Dewan Perwakilan Rakyat menjadi hanya Rp 250 miliar.
Persoalan dana cekak di bidang olahraga pernah ditulis Tempo di edisi 10 Maret 1979. Dalam sidang paripurna Komite Olahraga Nasional Indonesia di Jakarta, Ketua Umum Hamengku Buwono IX mengungkapkan sulit sekali mencari dana. Untuk persiapan SEA Games X, misalnya, KONI hanya mampu menyediakan Rp 700 ribu untuk cabang olahraga beregu dan Rp 30 ribu buat nomor perorangan. "Apa yang bisa kami lakukan dengan uang segitu?" kata Sekjen Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia Willy Warokka.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Ali Sadikin juga cemas. "Untuk menyiapkan 20 pemain sepak bola buat SEA Games (X), saya butuh Rp 8 juta sebulan," ujar Ali. Adapun KONI hanya menyediakan Rp 600 ribu. Angka Ali Sadikin itu adalah ancar-ancar, sedangkan biaya diduga naik terus.
KONI pernah mengusulkan penggalian dana lewat penyelenggaraan toto olahraga. Usul ini telah disampaikannya kepada pemerintah, tapi belum diperoleh ketentuan yang pasti.
KONI juga gagal mendapatkan hak menyelenggarakan Undian Harapan yang dikelola Yayasan Dana Aktif Kesejahteraan Sosial, yang salah seorang pemimpinnya adalah Achmad Parwis Nasution. "Dulu, ketika Menteri Sosial (Mintareja) menutup Undian Harapan itu, pemerintah menyerahkan kepada KONI untuk melanjutkannya," ucap Ketua D. Soeprajogi.
Dalam Pelita II, KONI hanya mendapat subsidi Rp 700 juta per tahun. Itu hanya, "Sepuluh persen dari kebutuhan yang diperlukan," kata Hamengku Buwono IX. Untuk Pelita III, KONI mengajukan permintaan Rp 38.527 juta. Belum diketahui berapa persen dari permintaan itu akan dipenuhi.
Menteri Muda Urusan Pemuda dr Abdul Gafur, yang hadir dalam sidang paripurna itu, mengatakan, "Pemerintah belum dapat menyediakan anggaran seperti yang diajukan KONI itu. Insya Allah pada tahun-tahun mendatang pemerintah dapat memberikan dana yang memadai."
Melihat kemungkinan dana dari pemerintah tipis, pimpinan KONI akan berusaha mencari uang tambahan. Antara lain supaya:
- Masalah konsesi hutan yang telah dirintis diperjuangkan terus.
- Masalah Undian Harapan dan toto sepak bola bisa diperkenankan pemerintah.
Dalam kondisi kekurangan dana itu, Ketua Umum Persatuan Lawn Tenis Indonesia Jonosewojo merumuskan dalam satu kalimat: "KONI tanpa uang tak ada artinya."
Bertolak dari kenyataan itu, di luar muncul gagasan agar pemerintah kembali menghidupkan Departemen Olahraga. "Kalau olahraga dianggap penting, seyogianya begitu," kata Direktur KONI Harsuki. Dengan gagasan itu, orang rupanya gandrung kembali ke Indonesia pada 1960-an. Tapi adakah kemungkinan itu? "Tidak benar bahwa Departemen Olahraga akan dihidupkan," ujar Direktur Olahraga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan M.F. Siregar.
Sekalipun tidak menyinggung soal departemen tersendiri, sidang paripurna KONI dalam memorandum kepada Presiden Rl mengusulkan, "Fungsi Menteri Urusan Pemuda agar ditambah dengan masalah olahraga sehingga menjadi Menteri Muda Urusan Pemuda dan Olahraga." Bukan hanya itu yang dituntut. Juga, "Perlu adanya inpres (instruksi presiden) mengenai olahraga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo