Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN kerap datang dari tempat tak terduga. Dalam hal korupsi: para pembocor. Mereka adalah pencuri kecil yang membongkar korupsi besar. Motifnya beragam: dari sekadar sakit hati hingga muak terhadap perilaku lancung yang mereka juga ikut terlibat. Terminologi hukum menyebut mereka justice collaborator atau saksi pelapor yang bersedia bekerja sama. Di luar itu ada pula whistleblower—para peniup peluit yang tak terlibat kasus tapi mengambil risiko menjadi pembongkar skandal.
Delapan pembocor yang diangkat majalah ini sebagai tokoh akhir tahun adalah mereka yang berhasil menaklukkan rasa takutnya. Ada petugas pajak sebuah perusahaan, anggota dewan perwakilan, guru, atau pegawai kecil sebuah kementerian. Merekalah sang pembongkar kasus yang diabaikan bahkan tak mendapat perlindungan negara.
Mari menengok Amerika Serikat. Tersebutlah Bradley Charles Birkenfeld, bankir 48 tahun yang menyembunyikan dana nasabah bank Swiss UBS agar para pemilik akun jumbo itu terbebas dari pajak. Ditangkap aparat, Birkenfeld memutuskan menjadi justice collaborator.
Berkat laporan Birkenfeld, Direktorat Pajak Amerika menemukan lebih dari 4.500 orang yang mengemplang pajak. Bank UBS dihukum membayar denda sekitar Rp 8 triliun. Terbongkarnya kasus ini membuat 14 ribu orang kaya Amerika ikut program amnesti yang ditawarkan Badan Pajak Amerika (IRS). Uang negara yang dapat diselamatkan melalui program ini ditaksir sekitar Rp 60 triliun.
Berkat jasanya, Birkenfeld diberi hadiah US$ 104 juta dari IRS. Ia sendiri dihukum penjara 40 bulan dan bebas pada Agustus tahun lalu. Hukuman itu jauh lebih ringan ketimbang jika ia tak bekerja sama dengan penegak hukum.
Di Indonesia, aturan memberi hadiah dan keringanan hukuman kepada justice collaborator bukan tak ada. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi Tahun 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan Konvensi PBB Antikejahatan Transnasional yang Terorganisasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Kedua konvensi itu mensyaratkan perlunya perlindungan dan penghargaan negara terhadap saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama. Pemberian keringanan hukuman telah pula diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 juga telah memerintahkan majelis hakim mempertimbangkan keringanan hukuman bagi para pembocor, termasuk kemungkinan hanya menjatuhkan hukuman percobaan dan pemberian insentif. Tapi, dalam prakteknya, edaran itu tidak efektif. Di pengadilan, para pembocor tetap dihukum berat. Vincentius Amin Sutanto, yang melaporkan penggelapan pajak Asian Agri senilai Rp 1,3 triliun, dihukum 11 tahun penjara—jauh lebih tinggi daripada Suwir Laut, Manajer Pajak Asian Agri, yang hanya dihukum percobaan dua tahun. Agus Condro Prayitno, anggota DPR yang membongkar suap cek pelawat, dihukum sama beratnya dengan 29 rekan sekerja yang ia laporkan. Enam pembocor lain yang ditulis majalah ini menerima nasib yang sama buruknya: kehilangan pekerjaan, diancam dibunuh, dan masuk bui.
Di Amerika, Badan Pengawas Keuangan (SEC) bersama Direktorat Pajak diizinkan memberikan hadiah hingga 30 persen dari nilai uang negara yang diselamatkan. Selain itu, warga sipil yang bersedia membantu negara menginvestigasi korupsi akan mendapat 15-25 persen dari uang negara yang bisa diselamatkan. Kebijakan ini membuat banyak aktivis dan pengacara aktif menelisik korupsi, terutama ketika penegak hukum terkesan loyo dalam melakukan penyelidikan. Upaya ini juga memancing para justice collaborator—pelaku kelas teri tapi menyimpan banyak rahasia—untuk muncul. Sebuah jurus lawas yang terbukti manjur: menangkap maling dengan memanfaatkan maling. "Si kecil" yang biasa mendapat jatah hasil korupsi yang tak seberapa, melalui program ini, justru mendapat keuntungan yang lebih besar. Adapun "sang dalang": dimiskinkan dan meringkuk lebih lama di penjara.
Pemerintah Indonesia perlu belajar dari kisah sukses tersebut. Mereka yang bersedia menjadi justice collaborator semestinya dilindungi dan diberi insentif finansial. Heroisme personal tak boleh dibiarkan menjadi satu-satunya motif. Di bawah teror yang dilancarkan oleh mereka yang korupsinya dibongkar, heroisme sang pembocor sangat mudah pupus digerus rasa takut. Dalam keadaan seperti ini, negara semestinya berdiri di depan sebagai pelindung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo