Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Gratifikasi Berbungkus Jasa Pungut

Mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai tersangka kasus jasa pungut 2007. Disebut hanya sebagai bungkus gratifikasi untuk melancarkan APBD.

23 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muklas Udin, bekas Asisten Perekonomian dan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kota Surabaya, menghabiskan hari-harinya di bengkel mebelair Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya di Porong, Sidoarjo. Mulai pukul delapan pagi hingga tiga sore, Muklas jadi tukang kayu. "Kalau Pak Soekamto Hadi dan Pak Purwito lebih suka berkebun," kata Kepala Bidang Pembinaan LP Porong Heri Azhari kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Muklas langsung menghindar begitu tahu yang menyapa wartawan. "Maaf," ujarnya singkat. Menurut Heri, mereka memang menghindari wartawan dengan alasan tak mau mengingat-ingat kasus mereka.

Muklas, Soekamto Hadi (eks Sekretaris Kota Surabaya), dan Purwito (eks Pengelola Keuangan Kota Surabaya) masuk LP sejak 4 Maret 2013. Mereka resmi ditahan setelah Mahkamah Agung menerima kasasi jaksa pada 2011 dalam kasus gratifikasi jasa pungut pajak daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya senilai Rp 720 juta pada 2007. Ketiganya dipenjara satu setengah tahun dan didenda Rp 50 juta subsider lima bulan kurungan. Hukuman serupa diterima lebih awal oleh mantan Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf, yang baru bebas pada 29 Juli lalu.

Kasus gratifikasi jasa pungut atau biasa disingkat japung bergulir kembali karena empat terpidana kompak mengirim surat ke Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. Menurut Musyafak, inti surat bertarikh April 2013 itu adalah pernyataan bahwa para terpidana bersedia menjadi justice collaborator untuk mengungkap keterlibatan pihak lain, termasuk mantan Wali Kota Bambang Dwi Hartono. Kompensasinya, pengurangan masa tahanan dikabulkan. Musyafak, misalnya, dikorting empat bulan penjara.

Pengusutan sempat ditunda-tunda hingga pemilihan Gubernur Jawa Timur. Penyidik Polda baru memeriksa lagi Bambang D.H. setelah pemilihan gubernur dan langsung menetapkannya sebagai tersangka pada November lalu. Dia dianggap paling bertanggung jawab. Sedangkan tiga pejabat pemerintah kota sebenarnya hanya perantara.

1 1 1

Cerita bermula dari rapat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan menjelang Lebaran, pertengahan Agustus 2007. Rapat diikuti 24 orang, yakni anggota panitia anggaran dan pimpinan Dewan serta ketua fraksi dan komisi. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai Bambang D.H., saat itu yang paling ngotot meminta japung. Ada peraturan daerah yang memayungi dan praktek japung di Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai preseden. "Hampir semua setuju, mendorong meminta japung itu," kata Musyafak kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu.

Seusai rapat, Musyafak langsung menelepon Sekretaris Kota Sukamto Hadi, menyampaikan "pesanan" Dewan. Karena Soekamto belum bisa dihubungi, Musyafak mengontak Muklas Udin. "Pak Muklas waktu itu bilang, coba kami hitung dulu," ujar Musyafak. ­Muklas kemudian berdiskusi dengan Purwito mengenai ketersediaan dana, lalu ke Sukamto Hadi, sebelum meminta persetujuan Wali Kota.

Segera usul itu direstui Wali Kota Bambang D.H. Pajak daerah Kota Surabaya waktu itu Rp 500 miliar. Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah, 5 persennya diberikan ke pemungut dan aparat penunjang. DPRD masuk di klausul penunjang ini. "Japung bukan korupsi, karena ada payung hukumnya," kata Bambang D.H. kepada Tempo, dua pekan lalu.

Pada 4 Oktober 2007, DPRD Surabaya mendapat jatah japung Rp 470 juta. Uang kontan itu diserahkan ke Musyafak lantas dibagi-bagi. Ketua DPRD mendapat Rp 20 juta, Wakil Ketua Rp 15 juta, dan anggota biasa masing-masing Rp 10 juta.

Inilah penerimaan japung pertama kali di masa kepemimpinan Bambang D.H. Japung sempat dihentikan Menteri Keuangan pada 2002. Namun, pada 2006, japung kembali dibuka, bergantung kemampuan daerah. Di Surabaya, japung disahkan lewat peraturan daerah. "Tapi peraturan wali kota tak kunjung dibuat sehingga tidak kunjung dibagikan," kata Musyafak.

November 2007, DPRD kembali menggelar rapat Rancangan APBD 2008. Karena japung pertama dianggap tak bermasalah, legislator meminta lagi. Pada 28 November 2007, kucuran kedua cair. Berbeda dengan sebelumnya, DPRD Surabaya hanya menerima Rp 250 juta. Walhasil, jatah Ketua DPRD Rp 10 juta, panitia anggaran Rp 7,5 juta, panitia musyawarah Rp 5 juta, dan anggota biasa hanya Rp 2,5 juta. Menurut Musyafak, perubahan jatah japung dari Rp 470 juta menjadi hanya Rp 250 juta dipersoalkan. "Karena cuma sedikit, dianggap kurang," kata pria 49 tahun itu.

Musyafak menuding kasus ini dipolitisasi. Menurut dia, salah satu pelapor, yaitu Wahyudin Husen, rekan satu fraksinya di Partai Kebangkitan Bangsa, merasa sakit hati. Ini lantaran dalam musyawarah cabang Wahyudin kalah bersaing dengan Musyafak. Itulah sebabnya, menurut dia, kasus ini hanya dipersoalkan di Surabaya.

Dia juga mengaku heran hanya ia dan Soekamto cs yang dihukum. Bambang D.H. baru ditetapkan sebagai tersangka belakangan. "Padahal siapa pun yang menerima, termasuk yang lapor (Wahyudin), seharusnya ditahan," kata Musyafak. "Termasuk anggota Dewan lainnya."

Wahyudin membantah jika disebut melaporkan Musyafak. Menurut dia, kasus itu adalah kasus gratifikasi alias suap. "Kenapa ada gratifikasi dan uangnya dari mana, itu yang harus didalami," katanya.

Ia menjelaskan kasus itu digarap saat Polda dipimpin Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja. Herman adalah pasangan Khofifah Indar Parawansa saat pemilihan Gubernur Jawa Timur lalu, bersaing dengan Bambang D.H. dan Soekarwo-Saifullah Yusuf. "Saya bukan pelapor. Itu peristiwa tangkap tangan dan ada alurnya," kata Wahyudin.

Ia menduga suap tersebut untuk melancarkan pembahasan anggaran proyek Surabaya Sport Center di DPRD saat itu. Fraksi gabungan PKS dan Demokrat saat itu tidak setuju dengan rencana proyek ini. Sebagian anggota Fraksi PKB, kata Wahyudin, juga tidak setuju. "Anggaran sudah ada, tapi kemudian dibatalkan karena ditolak DPR," ujarnya.

Bersamaan dengan debat masalah itu, muncul kebijakan baru Wali Kota yang membolehkan pengucuran jasa pungut ke anggota Dewan. "Ada intensi uang jasa pungut untuk melancarkan proyek itu," katanya. Proyek mercusuar yang diperkirakan memakan dana Rp 440 miliar lebih itu terbengkalai sampai sekarang.

Dugaan Wahyudin sejatinya sudah diendus Polda Jawa Timur. Sejak mengusut perkara itu pada November 2007, penyidik Polda merangkai bukti tentang dugaan suap proyek Surabaya Sport Center (SSC) dan bus rapid transit (BRT). Jasa pungut sendiri hanya sebagai bungkus.

Menurut catatan penyidik, uang suap itu dikucurkan dua tahap, sebelum dan sesudah Rapat Paripurna Dewan untuk mengesahkan APBD Kota Surabaya 2008 pada 26 Oktober. Tahap pertama, 4 Oktober, ketika pembahasan berjalan, sebesar Rp 470 juta. Rp 250 juta sisanya mengucur pada 28 Oktober, dua hari setelah APBD disahkan. Salah satu pos anggaran yang disetujui bernilai Rp 98 miliar, yakni untuk proyek BRT.

Namun, di pengadilan, bukti-bukti yang dibawa penyidik tak cukup meyakinkan hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yang diketuai Ali Maki. Fakta yang banyak muncul di persidangan justru masalah japung. Musyafak cs pun diputus bebas di pengadilan tingkat pertama.

Musyafak membantah tudingan suap SSC dan BRT itu. Memang ada perencanaan busway di Surabaya. Namun, menurut dia, rencana itu baru tahap kajian dan studi kelayakan. "Alokasi anggarannya Rp 150 juta, masak nyuap Rp 720 juta? Dari mana?" ujarnya. Soal SSC, Musyafak mengatakan proyek itu sudah disahkan sejak 2005 sebagai kontrak tahun jamak. "Kalau gratifikasi kan diberi uang supaya nurut sama yang memberi. Nah, ini enggak ada perintah, enggak ada titipan untuk meloloskan apa pun," katanya.

Mengenai pengucuran japung bertepatan dengan pembahasan anggaran Musyafak mengaku tak tahu motif Bambang D.H. "Legislatif ini kan selalu kelaparan. Pintarnya eksekutif memanfaatkan momentum saja," katanya. Ia tetap yakin japung sah.

Aparat penunjang bisa terlibat secara langsung ataupun tidak langsung. Musyafak menyebutkan ada sekitar 320 lembaga yang bisa masuk ke aparat penunjang. Menurut dia, selama ini tafsir aparat penunjang bisa diberikan untuk siapa saja. "Suka-suka eksekutif karena itu diskresinya wali kota."

Mengenai dugaan gratifikasi itu sebagai uang untuk meloloskan busway, SSC, dan RAPBD 2008, Bambang D.H. menyebutnya tuduhan tak berdasar. "Orang-orang itu ngawur. Enggak ada itu," kata Sutanto, penasihat hukum Bambang D.H. Bambang mengancam akan menyeret Gubernur dan 100 anggota DPRD Provinsi yang juga membagi japung bila perkaranya tidak dihentikan (SP3). Ia menilai pengucuran japung tidak salah. "Mereka itu hanya korban," ujar Bambang tentang nasib Musyafak dan Soekamto cs.

Juru bicara Polda Jawa Timur, Komisaris Bambang Cahyo Bawono, mengatakan penyidik sudah mengirim surat ke Pengadilan Negeri Surabaya untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap Bambang D.H. "Masih menunggu balasan," kata Bambang.

Agussup, Agita Sukma Listyanti, David Priyasidharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus