Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Saat Bunyi Terlihat Rancak

Epi Martison menyajikan musik dan visual nan rancak. Ia mempertanyakan relasi tradisi dan modernitas.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN itu terduduk lunglai. Tangannya memukul-mukulkan tongkat pada sebongkah batu dengan bunyi yang tak beraturan. Hanya percikan air yang jatuh dari pancuran yang menimpalinya. Beberapa perempuan hilir-mudik tanpa suara. Tak lama berselang, suasana berubah. Lengkingan, tangis, dan raungan iba mengubahnya menjadi pasar ratapan. Sebelas perempuan itu saling bersahutan meraung, merintih, menangis, dan memaki. Mereka berpencar menenteng perkakas seperti pispot. Kekacauan tengah terjadi.

Sesaat kemudian, secara teatrikal mereka bergerak bebas di sepanjang panggung dengan menyuarakan bebunyian dari mulutnya sehingga menghasilkan sebuah kor. Satu adegan yang menarik adalah saat mereka menghirup air dari pancuran, lalu menguncinya dalam kerongkongan. Sambil berjalan di atas jembatan, secara bersamaan, setengah losin perempuan itu "menggerogoki" air di tenggorokan. Hasilnya adalah sebuah bunyi yang terdengar unik. Pada suatu waktu, mereka mengharmonikan bunyi-bunyi kecipak air dari air yang terpancur.

Komposisi bertajuk Bundo, yang dimainkan mahasiswi tari Institut Kesenian Jakarta, ini menjadi bagian yang paling menarik dalam pertunjukan Epi Martison yang bertajuk "Titian". Berbeda dengan tiga komposisi lainnya—yang dimainkan New Jakarta Ensemble—Bundo memaksimalkan bunyi dari alat ucap manusia sebagai sumber bunyi yang dipadukan unsur gerak yang dinamis. Sebuah upaya yang membutuhkan stamina dan kemampuan mengolah vokal yang tidak sembarangan.

Sementara itu, pada komposisi lainnya, seperti pertunjukan sebelumnya, Epi masih setia dengan komposisi yang bermotifkan bunyi dasar perkusi yang kemudian ditimpali puluhan instrumen lain seperti gelas, sitar, genta, dan rebab. Jemari—yang jadi pembuka pertunjukan—menampilkan permainan alat musik petik dan tiup dari berbagai etnis di Indonesia yang dimainkan oleh dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Dengan latar belakang enam buah bilik bambu yang tergantung, permainan 10 orang itu terasa seperti nomor pengantar.

Pada bagian ketiga, komposisi Nasib, yang dimainkan semua pemusiknya dengan bertengger di atas jembatan, menyajikan bunyi yang berasal dari gelas-gelas berisi air yang diusap oleh ujung jari. Pemilihan ukuran bejana dan cairan di dalamnya turut membentuk bunyi yang dihasilkan, meski toh dengungan itu hanya mengiringi keragaman ketukan kentongan bambu, yang lebih banyak "bernyanyi".

Di bagian akhir, pada komposisi yang berjudul Bunyi, Martison mendapatkan keleluasaannya dengan alat musik yang jadi keahliannya: perkusi. Di bagian awal, para pemainnya memperlakukan kendi dan pot yang terbuat dari keramik sebagai kendang. Dengan cara ditempeleng, materi dan proses pembuatan keramik itu ikut menentukan bunyi yang garing. Tapi, kerenyahan itu tetap menghasilkan sebuah harmoni.

Kekayaan ragam bunyi menjadi kekuatan pergelaran ini. Martison berhasil mengolah sumber bunyi yang berasal dari instrumen ataupun non-instrumen, termasuk dari alat ucap manusia. Susunan bunyi dari berbagai alat yang dihasilkan benda-benda itu ikut menentukan warna bunyi. Tapi, itu tidak cukup. Bagi Epi, sebuah komposisi tidak hanya menarik untuk didengar, tapi ia juga harus rancak di mata.

Pengalamannya sebagai penata tari ataupun penari menjadikannya kreator bunyi untuk koreografi, sehingga karakter bahan yang terbawa ke dalam gubahan musiknya turut membangun suasana dan visualisasi. Tata artistik, yang digarap Boi. G Sakti, menjadi kekuatan lain pertunjukan ini: sebuah pemandangan di tepi sungai dengan jembatan di belakang, lengkap dengan kucuran air yang jatuh dari pancuran, dengan latar belakang sebentuk bangunan rumah bambu. Lampu yang menyiram makin menggenapi keelokan tata panggung. Bunyi pun terlihat indah.

Namun, di balik semua keindahan panggung dan kekayaan bunyi yang disampaikannya lewat bunyi dan kemasan musik, sesungguhnya Epi tengah menggugat perilaku manusia kiwari, yang selalu ingin menuntaskan segala persoalan dengan segera. "Titian" adalah penghubung antara dua kutub: tradisi dan modernitas. Kekacauan kiwari terjadi karena pola hidup modern, yang individualistis, telah mengalahkan pola hidup tradisional, yang memiliki nilai-nilai positif. Persoalannya, adakah "Titian" berhasil menjadi jembatan ke sana?

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus