Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, layakkah kasus katering jemaah haji Indonesia diajukan dalam interpelasi? (3-10 Januari 2007) | ||
Ya | ||
62,88% | 293 | |
Tidak | ||
33,05% | 154 | |
Tidak tahu | ||
4,08% | 19 | |
Total | 100% | 466 |
Kelaparan yang mendera jemaah Indonesia di Padang Arafah saat menunaikan ibadah haji hingga kini masih terus dipersoalkan. Pemerintah dianggap lalai sehingga menyebabkan 189 ribu anggota jemaah tak makan selama 31 jam, pada 28-29 Desember lalu.
Kritik keras muncul dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Mereka menuding pemerintah sembrono dalam mengelola katering. ”Ongkos ibadah haji dihitung berdasarkan alasan ekonomi, tapi servisnya berlindung pada pendekatan ibadah yang kaya akan cobaan sehingga memerlukan kesabaran dan tawakal,” kata Ketua Fraksi PPP, Endin A.J. Soefihara, jengkel.
Berawal dari keputusan Departemen Agama mengganti katering bagi jemaah pada musim haji 1427 Hijriah lalu. Pemerintah menganggap katering yang disediakan Muasasah pada masa sebelumnya terlalu maha. Menurut Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, ini juga dikeluhkan oleh beberapa anggota DPR. Katanya, untuk uang jamu yang 300 riyal per orang, servis Muasasah sangat tidak bermutu.
Maka, dikontraklah Ana Factory, katering baru yang lebih murah tapi menjanjikan pelayanan lebih bagus. Celakanya, Ana, ternyata tak bisa memenuhi kontrak. Jemaah Indonesia pun telantar.
Menurut Menteri Agama, Ana disabotase oleh Muasasah. ”Apa yang sudah disiapkan oleh Ana di Arafah itu dirusak,” ujarnya. Pemerintah lalu membentuk tim independen untuk mengusut kasus ini dan memberi uang ganti rugi 300 riyal, sekitar Rp 700 ribu, kepada setiap anggota jemaah.
Tapi jawaban Maftuh malah dianggap upaya cuci tangan. Menurut Endin, De-partemen Agama tetap harus bertanggung jawab. Itu sebabnya FPP bermaksud menggalang interpelasi untuk kasus ini. ”Pemerintah ternyata tidak mendukung perjalanan jemaah haji dengan perangkat yang siap,” ujar Endin.
Sebagian besar responden Tempo Interaktif mendukung niat Fraksi Persatuan Pembangunan itu. ”Ini agar pemerintah memahami kekhilafannya dalam menerapkan berbagai kebijakan di masa-masa mendatang,” ujar Bahrul Arbain, responden dari Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Indikator Pekan Ini: Penyebab rawannya penerbangan komersial di Tanah Air adalah sistem pengawasan yang kurang memadai. Hal ini dilontarkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). ”Departemen Perhubungan hanya memberikan izin, tapi tidak ketat mengawasi,” ujar anggota Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo. Sebenarnya antara pemerintah dan maskapai penerbangan telah ada kesepakatan mengenai sanksi jika terjadi pelanggaran layanan penerbangan. Sanksi itu bahkan diperluas, tidak hanya terhadap maskapai, tapi juga dapat dijatuhkan kepada chief executive officer, pemegang saham, pemangku kepentingan seperti operator bandara, regulator, termasuk konsumen. Masalahnya, menurut YKLI, karena pengawasan yang longgar, banyak maskapai lalu bertindak semaunya tanpa sanksi. Makanya, YLKI mendesak pemerintah agar menutup saja maskapai-maskapai ”nakal” yang mengabaikan aturan penerbangan itu. Percayakah Anda pengawasan keamanan penerbangan kita selama ini tidak memadai? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo