SERING gerak para reporter terbentur pada masalah waktu. Seperti juga pada nomor ini. Ketika kami berbincang memilih hal apa yang layak ditulis, seminggu sebelumnya, tak terlintas sedikit pun untuk menulis beras. Baru pada pertemuan hari Jumat. tiba-tiba kami sepakat: Beras harus kami tulis sebagai Laporan Utama.Bukan hanya menyangkut nasib 16 Juta leblh keluarga petam, tapi juga persoalan 160 juta penduduk. Tapi, masalahnya, bagaimana kami mengumpulkan bahan, sementara waktu hanya tinggal dua hari. Kami masih harus menentukan bahan apa yang diperlukan, siapa yang akan diwawancarai, dan berupaya bagaimana mendapatkan semua itu. Syukurlah, di TEMPO ada banyak sarjana pertanian. Merekalah yang paling banyak andil merancang tulisan sehingga Laporan Utama ini berbobot. Tidak sekadar itu, empat orang sarjana sosial ekonomi pertanian - bidang yang paling sesuai dengan persoalan kali ini - Gatot Trijanto, Toriq Hadad, Putut Tri Husodo, Suhardjo Hs., mwawancarai sejumlah ahli di IPB (lembaga yang tahun 1963 melahirkan konsep Bimas, yang kemudian menjadi titik tolak revolusi produksi tanaman pangan di Indonesia), Pusat Penelitian Agro Ekonomi, dan Biro Pusat Statistik. Latar belakang pendidikan yan memadai memunkinkan keempatnya mampu berdiskusi dengan para ahli, bukan hanya bertanya. Sementara itu, untuk menembus sumber lain yang juga sangat diperlukan, dan merupakan sumber "berat", TEMPO menurunkan lima reporter lain bertipe komando yang telah teruji daya tempurnya. A. Luqman harus menemui kepala Bulog Bustanil Arifin serta ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Martono, yang juga menteri transmigrasi. Budl Kusumah kebagian mencari Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Wardojo. Yulia S. Madjid harus bertanya pada Sesdalopbang Solihin G.P., mengapa menganjurkan diversifikasi tanaman, Jangan hanya terpaku pada beras. Sedangkan Musthafa Helmy dan Ahmed Soeriawidjaja masih harus mencari beberapa sumber lain yang tak kurang pentinnya. Jangan bayangkan hanya di Jakarta para reporter bergerak. Di semua biro TEMPO, di semua daerah yang menjadi lumbung-lumbung padi, reporter menyelinap ke kampung-kampung, mendengarkan duka petani, ikut berbecek-becek terkena lumpur, dan merasakan gatalnya bila serpih kulit padi yang tengah dijemur terbang dibawa angin lalu menempel di tangan. Mereka juga melongok KUD yang kadang papan namanya pun telah tanggal, juga ke gudang-gudang yang kian hari tampak kian sarat. Salah seorang reporter itu adalah Hasan Syukur dari Biro TEMPO Bandung. Begitu TEMPO merencanakan menulis beras sebagai Laporan Utama, dia bergegas menawarkan diri pergi ke Karawang, daerah Denhasil beras yang paling menonjol di Jawa Barat. Tak hanya bupati yang diwawancarai. Untuk mendapat bahan yang bagus, dia sengaja mencari daerah yang terpencil, yang memerlukan dibonceng ojek, memerlukan terjerembab, dan memerlukan bermalam di desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini