WAJAH Rachmat Basoeki tampak menegang begitu Hakim Ketua A. Halim Massali mulai membacakan keputusan. Beberapa kali ia mengusap keringat yang mengucur di dahinya yang lebar. Dioleskannya minyak angin ke hidung, kening, dan tengkuknya. Sementara itu, sekitar 150 orang, antara lain bekas gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang menghadiri sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dijaga ketat Kamis pekan lalu itu, juga ikut tegang. Begitu Hakim Massali mengucapkan, "Majelis menyatakan bahwa terdakwa Rachmat Basoeki Soeropranoto bersalah karena melakukan tindak pidana subversif dan menhukum terdakwa dengan 17 tahun penjara," ketegangan pun buyar. Dengan wajah berseri-seri, Rachmat mengucapkan, "Syukur alhamdulillah." Lalu ia menoleh dan tersenyum kepada istri dan anaknya, yang duduk di kursi pengunjung dengan wajah ceria juga. Pembela Rachmat, Yap Thiam Hien, dengan gembira mengacungkan jempol tangan kanannya yang ditutupi telapak tangan kirinya kepada Hakim Ketua. "Cukup ringan. Saya kira tadinya hukuman mati," gumamnya. Kepada Majelis Hakim, Rachmat kemudian menyatakan, keputusan itu "cukup simpatik" dan ia akan berkonsultasi dengan para penasihat hukumnya untuk mempertimbangkan apakah ia akan naik banding. Sejumlah pengunjung menyalami Rachmat. Di ruang tunggu, Rachmat, istrinya Ida - dan anaknya tenggelam dalam sukacita bersama beberapa keluarga dekatnya. Bermacam penganan yang disodorkan petugas polisi ditolaknya. "Saya puasa," katanya. Kegembiraan Rachmat, 42, bisa dimengerti. Semula ia menduga hukumannya akan jauh lebih berat karena ia dituntut hukuman mati. "Vonis itu cukup bagus, walau berat. Menurut saya, hakim terlalu berani menjatuhkan hukuman 17 tahun terhadap pahlawan yang belum waktunya ini. Padahal, divonis 20 tahun saja saya sudah senang," kata Rachmat pada TEMPO seusai sidang. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan, walau Rachmat tidak ikut melakukan peledakan gedung BCA dan pertokoan jembatan Glodok pada 4 Oktober 1984, ia tetap dianggap ikut bertanggung jawab. Karena itu, Rachmat dinyatakan sebagai pelaku, bukan pembantu. "Jadi, terdakwa turut melakukan," kata Majelis Hakim. Persetujuannya atas dilakukannya peledakan gedung BCA, "karena terdakwa anti dominasi ekonomi Cina, dan itu sudah lama tersimpan dalam lubuk hatinya." Lebih-lebih, Rachmat telah memberikan uang Rp 500 ribu kepada Tashrif Tuasikal. "Dengan demikian, bagian pesertaannya adalah menyetujui peledakan dan membiayai." Keterlibatannya dalam peledakan dianggap punya motivasi politik. "Terdakwa terpanggil untuk memperbaiki keadaan masyarakat karena ada perbedaan kaya miskin yang mendalam, ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan kebodohan." Cara yang dilakukan Rachmat, kata Hakim, adalah teror. Yang meringankan Rachmat, ia telah mengajukan permohonan maaf kepada keluarga dua korban peledakan yang tewas telah meminta maaf pada masyarakat, dan menyatakan menyesal karena melakukan teror dan merugikan stabilitas nasional. Menurut Halim Massali, sehari sebelum vonis dijatuhkan, ia memohon petunjuk Tuhan agar diberikan penerangan dan agar vonis yang dijatuhkannya dianggap adil oleh semua pihak. Salah satu pertimbangannya adalah vonis yang dijatuhkan Pengadilan NegeriJakarta Barat pada 1984 terhadap Adah Djaelani. Tokoh DI yang mengaku presiden Negara Islam Indonesia itu dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. "Saya berpikir, kenapa orang yang bermaksud mendirikan sebuah negara dalam negara yang sah kok hanya dihukum 16 tahun. Sedang Rachmat Basoeki, yang hanya menyetujui dan mengetahui saja, tapi tidak ikut melakukan peledakan, harus dihukum mati atau mendapat hukuman seumur hidup," kata Halim. Tapi mengapa hukuman buat Rachmat 17 tahun, sedangkan Adah Djaelani dulu cuma mendapat 16 tahun? "Sebab, Adah belum pernah dihukum, sedangkan Rachmat Basoeki pada 1980 dulu pernah dihukum dua setengah tahun," tutur Halim. Rachmat memang pernah dihukum karena keterlibatannya dalam Gerakan 20 Maret 1978, yang menentang masuknya Aliran Kepercayaan, P-4, dan KNPI dalam GBHN. Bila Rachmat Basoeki gembira dengan vonis terhadapnya, Hasnul Arifin sangat kecewa. Jebolan Akademi Bank Negara tingkat III ini dijatuhi hukuman 15 tahun penjara potong tahanan, pada sidang Kamis pekan lalu juga. Bedanya, bila ruang sidang Rachmat dipenuhi pengunjung, yang hadir pada sidang Hasnul di ruang lain di Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu cuma 17 orang. Majelis hakim yang diketuai Sarwoko menyatakan, terdakwa tidak mempercayai keteranan Demerintah nenseni Peritiwa Tanjung Priok. Ia lalu meminta uang pada H.M. Sanusi untuk membuat selebaran membantah keterangan resmi itu. Bersama Tashrif, ia membawa bahan peledak. Lebih dari itu ia ikut mencari biaya peledakan. Apa yang dilakukannya itu dianggap subversif. "Subversif itu delik politik," kata Hakim. Seusai sidang, Hasnul, 47, mengatakan pada TEMPO "Putusan itu tidak adil. Presiden DI/NII saja kena 16 tahun, masa saya yang cuma dititipi mesin ketik yang kemudian ternyata peledak kok kena 15 tahun." Putusan itu juga dinilainya salah. "Menghukum saya satu hari saja berarti pengadilan sudah bertindak tidak benar. Apa yang saya perjuangkan itu 'kan kebenaran. Makanya, kita harus tetap berjuang terus," Kepada Majelis Hakim, Hasnul langsung menyatakan naik banding. Namun, H.M. Dault, atas nama penasihat hukum Rachmat dan Hasnul, menyatakan bahwa dalam kondisi politik seperti ini tidak ada gunanya naik banding. "Atas nama tim, kami menerima putusan itu dan tidak akan naik banding. Kami justru mau minta grasi ke presiden. Anak yang minta ampun pada bapaknya 'kan wajar, dan itu selalu dibenarkan oleh agama," katanya. Sebelum Rachmat dan Hasnul, dua orang terdakwa lain dalam kasus peledakan gedung BCA telah dijatuhi hukuman. Dua pekan lalu, Melta Hakim alias Yunus, 32, divonis 14 tahun penjara, sedangkan Khaerulsyah, 21, mendapat 10 tahun penjara potong tahanan. Yunus adalah pembawa bom di pertokoan jembatan Metro, Glodok, yang mengakibatkan tewasnya dua orang. Sedangkan Khaerulsyah dinyatakan terbukti mengetahui adanya rencana peledakan dan ikut membantu memasang timer pada alat peledak di rumah Edy Ramly, sehari sebelum peledakan. Edy Ramly alias Iyon sendiri mendapat hukuman 16 tahun penjara potong tahanan. Edy, 41, adalah pemasang bom di gedung BCA Jalan Gajah Mada. Penjual tanaman hias ini dijatuhi hukuman Sabtu pekan lalu. Jaksa semula menuntut hukuman seumur hidup terhadapnya. Seusai sidang, Edy sempat memelukanaknya, Elly. Vonis buat H.M. Sanusi, menurut rencana, diucapkan Rabu pekan ini, bersama dengan keputusan buat Zayadi. Sementara itu, dua terdakwa lainnya dalam kasus peledakan gedung BCA, Amir Wijaya dan M. Tashrif Tuasikal, kini masih dalam tahap pemeriksaan saksi. Susanto Pudjomartono Laporan Agus Basri dan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini