Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kelas monas dan seruan sudomo

Masyarakat jakarta berpesta tahun baru 1979, di taman impian jaya ancol, lapangan merdeka, arena promosi & hiburan jakarta, monas. hotel-hotel sepi. (ils)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM tahun baru selalu tak dilewatkan begitu saja oleh sebagian penduduk Jakarta. Beberapa menit sebelum jam 24.00 teng, pengarah acara Suluh Darmadji maju ke depan corong. Permintaannya: bunyikan terompet dan segala bunyi-bunyian lainnya selama 3 menit untuk menyatakan "selamat jalan" kepada tahun 1978 dan "selamat datang" bagi 1979. Selutuh lampu dipadamkan. Dan tidak berapa lama berdentumlah letusan-letusan kembang api. Udara hitam yang untung saja tidak basah oleh hujan, sebentar terang oleh bunga-bunga api yang membentuk garis-garis lengkung berwarna merah, hijau, kuning dan segala warna. Selamat Tahun Baru! Pasangan-pasangan berpelukan, anak menyalami ayahnya, mencium ibunya. Dan segala tingkah. Beberapa gelas berdenting di samping menghujannya kecupan-kecupan di bibir atau di pipi. Suasana menyambut tahun baru di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, saat itu tidak kurang meriahnya. Diperkirakan 90.000 pengunjung memadati pantai buatan tersebut. Di Pasar Seni Ancol, di sepanjang pantai, di semak-semak, di mana saja, manusia seakan bertebaran tidak beraturan. Orang ramai tidak lagi berkumpul di sepanjang Jalan Thamrin yang kini telah apik, tetapi di lapangan Merdeka yang di zaman Belanda dulu terkenal dengan nama Lapangan Gambir. Di situ pun ada terompet dan kembang api. Ada yang cuma berjalan kaki sambil iseng, duduk-duduk sambil menyanyi dan seorang memetik gitar. Sementara itu di APHJ (Arena, Promosi dan Hiburan Jakarta) suasana lebih seronok lagi. Di situ ada band dangdut. Anak-anak tanggung berjoget denga siapa saja. Banyak banci yang melewatkan waktunya di tempat ini. Tidak bisa dihitung berapa ratus ribu jumlah yang datang ke Monas dan sekitarnya, tetapi di jalan silang empat Monas manusia menyemut. Kalau tahun lalu pedagang terompet kertas rugi karena hujan, kini tidak lagi. Hujan yang sporadis di beberapa tempat di Jakarta dan biasanya cuma sejenak, membuat ketawa pedagang terompet yang biasanya berasal dari sekitar Karawang-Bekasi. Tapi pada dasarnya malam Tahun Baru lewat tanpa insiden berarti. Beberapa gedung bioskop yang memasang tarif sekitar Rp 25.000 dengan suguhan 2 buah film baru dan makanan kecil, juga sepi. Hampir sama nasibnya dengan beberapa hotel, yang seminggu sebelumnya telah memasang iklan dengan harga tinggi. Malam Tahun Baru di Monas atau Bina Ria memang beda besar dengan yang ada di hotel-hotel kelas satu bagaikan langit dan bumi. Karena hotel-hotel besar memasang tarif Rp 50.000 (Jakarta Hilton), Borobudur dan Mandarin bahkan Rp 60.000, sedangkan Hotel Indonesia, Sahid Jaya Rp 40.000. Harga tersebut untuk tempat duduk satu orang, belum termasuk minuman. Paling banter satu meja disediakan dengan cuma-cuma sampanye setengah botol. Merosot Tajam Harga tersebut memang jamak, karena hotel harus mendatangkan aktor/aktris luar negeri -- tak tahu apakah memang mereka lebih bagus ketimbang aktor/aktris lokal. Soalnya, konon, karena hotel-hotel ini telah terikat kontrak dengan policy mata rantai internasional hotel-hotel sejenisnya. Tapi rupanya, cuma hotel Mandarin yang ketiban hokki tahun ini. Sekitar 90% dari tempat duduk yang jumlahnya 525 terjual. Maklum, hotel terbaru, banyak orang ingin mencoba. Hotel Indonesia Sheraton, malam itu merosot karena banyak saingan. "Betul-betul merosot tahun ini, kalau dibanding tahun lalu," kata Tim Kantoso yang kini jadi Manajer Pemasaran. Hotel tersebut mengadakan acara malam Tahun Baru di tia tempat (Bali Room, Nirwana dan Ramayana), tetapi karcis yang laku sekitar 60% dari 1000 tempat duduk. Sedangkan undangan yang jumlahnya 200 buah, tidak semua hadir. Barangkali ini karena seruan Pangkopkamtib Sudomo yang melarang anggota ABRI dan pejabat Pemerintah hadir di pesta-pesta besar. Demikian pula Hotel Hyatt, yang telah banting harga Rp 40.000 plus menginap semalam, tampak sepi. Beda dengan Jakarta Hilton yang dianggap oleh kaum kaya sebagai hotel gengsi. Libra Room di Executive Club lumayan penuh biarpun dengan tarif Rp 50.000 per orang. Oriental Club jauh-jauh hari sudah terjual karcisnya karena harganya "hanya" Rp 18.000. Tapi "tidak ada orang besar yang hadir," kata Tity Karsono, Humas Hilton. Tahun-tahun sebelumnya, tokoh-tokoh seperti Ibnu Sutowo, Yusuf Gading, Syarnubi Said, selalu menjadi langganan Jakarta Hilton. Ke mana tokoh-tokoh itu di Tahun Baru? Di pelataran parkir juga hampir tidak ada nongkrong mobil berpelat merah. Apalagi kendaraan dengan nomor militer yang akhir-akhir ini gencar diperiksa Dinas Provost PM. Tetapi ini bukan berarti tidak ada pegawai negeri atau tokoh penting yang hadir dalam salah satu pesta di hotel besar. Bukankah sebagian besar juga memiliki kendaraan berpelat hitam? Juga ada kabar, beberapa tokoh yang telah membeli atau mendapat hadiah karcis malam Tahun Baru -- karena ada seruan Sudomo - memberikan karcis yang tidak bisa dikembalikan itu kepada anaknya, saudaranya atau siapa saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus