MALAM tahun baru selalu tak dilewatkan begitu saja oleh sebagian
penduduk Jakarta. Beberapa menit sebelum jam 24.00 teng,
pengarah acara Suluh Darmadji maju ke depan corong.
Permintaannya: bunyikan terompet dan segala bunyi-bunyian
lainnya selama 3 menit untuk menyatakan "selamat jalan" kepada
tahun 1978 dan "selamat datang" bagi 1979.
Selutuh lampu dipadamkan. Dan tidak berapa lama berdentumlah
letusan-letusan kembang api. Udara hitam yang untung saja tidak
basah oleh hujan, sebentar terang oleh bunga-bunga api yang
membentuk garis-garis lengkung berwarna merah, hijau, kuning dan
segala warna.
Selamat Tahun Baru! Pasangan-pasangan berpelukan, anak menyalami
ayahnya, mencium ibunya. Dan segala tingkah. Beberapa gelas
berdenting di samping menghujannya kecupan-kecupan di bibir atau
di pipi. Suasana menyambut tahun baru di Taman Impian Jaya
Ancol, Jakarta, saat itu tidak kurang meriahnya. Diperkirakan
90.000 pengunjung memadati pantai buatan tersebut. Di Pasar Seni
Ancol, di sepanjang pantai, di semak-semak, di mana saja,
manusia seakan bertebaran tidak beraturan.
Orang ramai tidak lagi berkumpul di sepanjang Jalan Thamrin yang
kini telah apik, tetapi di lapangan Merdeka yang di zaman
Belanda dulu terkenal dengan nama Lapangan Gambir. Di situ pun
ada terompet dan kembang api. Ada yang cuma berjalan kaki sambil
iseng, duduk-duduk sambil menyanyi dan seorang memetik gitar.
Sementara itu di APHJ (Arena, Promosi dan Hiburan Jakarta)
suasana lebih seronok lagi. Di situ ada band dangdut. Anak-anak
tanggung berjoget denga siapa saja. Banyak banci yang
melewatkan waktunya di tempat ini.
Tidak bisa dihitung berapa ratus ribu jumlah yang datang ke
Monas dan sekitarnya, tetapi di jalan silang empat Monas manusia
menyemut. Kalau tahun lalu pedagang terompet kertas rugi karena
hujan, kini tidak lagi. Hujan yang sporadis di beberapa tempat
di Jakarta dan biasanya cuma sejenak, membuat ketawa pedagang
terompet yang biasanya berasal dari sekitar Karawang-Bekasi.
Tapi pada dasarnya malam Tahun Baru lewat tanpa insiden
berarti. Beberapa gedung bioskop yang memasang tarif sekitar Rp
25.000 dengan suguhan 2 buah film baru dan makanan kecil, juga
sepi. Hampir sama nasibnya dengan beberapa hotel, yang seminggu
sebelumnya telah memasang iklan dengan harga tinggi.
Malam Tahun Baru di Monas atau Bina Ria memang beda besar dengan
yang ada di hotel-hotel kelas satu bagaikan langit dan bumi.
Karena hotel-hotel besar memasang tarif Rp 50.000 (Jakarta
Hilton), Borobudur dan Mandarin bahkan Rp 60.000, sedangkan
Hotel Indonesia, Sahid Jaya Rp 40.000. Harga tersebut untuk
tempat duduk satu orang, belum termasuk minuman. Paling banter
satu meja disediakan dengan cuma-cuma sampanye setengah botol.
Merosot Tajam
Harga tersebut memang jamak, karena hotel harus mendatangkan
aktor/aktris luar negeri -- tak tahu apakah memang mereka lebih
bagus ketimbang aktor/aktris lokal. Soalnya, konon, karena
hotel-hotel ini telah terikat kontrak dengan policy mata rantai
internasional hotel-hotel sejenisnya. Tapi rupanya, cuma hotel
Mandarin yang ketiban hokki tahun ini. Sekitar 90% dari tempat
duduk yang jumlahnya 525 terjual. Maklum, hotel terbaru, banyak
orang ingin mencoba.
Hotel Indonesia Sheraton, malam itu merosot karena banyak
saingan. "Betul-betul merosot tahun ini, kalau dibanding tahun
lalu," kata Tim Kantoso yang kini jadi Manajer Pemasaran. Hotel
tersebut mengadakan acara malam Tahun Baru di tia tempat (Bali
Room, Nirwana dan Ramayana), tetapi karcis yang laku sekitar 60%
dari 1000 tempat duduk. Sedangkan undangan yang jumlahnya 200
buah, tidak semua hadir. Barangkali ini karena seruan
Pangkopkamtib Sudomo yang melarang anggota ABRI dan pejabat
Pemerintah hadir di pesta-pesta besar.
Demikian pula Hotel Hyatt, yang telah banting harga Rp 40.000
plus menginap semalam, tampak sepi. Beda dengan Jakarta Hilton
yang dianggap oleh kaum kaya sebagai hotel gengsi. Libra Room di
Executive Club lumayan penuh biarpun dengan tarif Rp 50.000 per
orang. Oriental Club jauh-jauh hari sudah terjual karcisnya
karena harganya "hanya" Rp 18.000. Tapi "tidak ada orang besar
yang hadir," kata Tity Karsono, Humas Hilton. Tahun-tahun
sebelumnya, tokoh-tokoh seperti Ibnu Sutowo, Yusuf Gading,
Syarnubi Said, selalu menjadi langganan Jakarta Hilton.
Ke mana tokoh-tokoh itu di Tahun Baru? Di pelataran parkir juga
hampir tidak ada nongkrong mobil berpelat merah. Apalagi
kendaraan dengan nomor militer yang akhir-akhir ini gencar
diperiksa Dinas Provost PM. Tetapi ini bukan berarti tidak ada
pegawai negeri atau tokoh penting yang hadir dalam salah satu
pesta di hotel besar. Bukankah sebagian besar juga memiliki
kendaraan berpelat hitam? Juga ada kabar, beberapa tokoh yang
telah membeli atau mendapat hadiah karcis malam Tahun Baru --
karena ada seruan Sudomo - memberikan karcis yang tidak bisa
dikembalikan itu kepada anaknya, saudaranya atau siapa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini