Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKSI teror oleh kelompok Islam garis keras masih terus terjadi. Yang terakhir adalah peristiwa ledakan bom di dekat halte bus Transjakarta di Kampung Melayu, Jakarta Timur, 24 Mei lalu, yang menewaskan tiga polisi dan dua orang yang diduga pelaku pengeboman. Kepolisian menyebutkan kedua pelaku melakukan aksi bom bunuh diri.
Pemerintah, lewat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, berusaha meredam kegiatan radikal di berbagai daerah dengan program deradikalisasi. Meski program tersebut tidak berjalan mulus, banyak di antara pelaku teror bisa diinsafkan, seperti Ali Imron, Ali Fauzi, dan Kurnia Widodo. Fauzi, terpidana terorisme Filipina, misalnya, mendirikan yayasan untuk membina para teroris di bidang pendidikan dan pengembangan ekonomi.
Majalah Tempo edisi 3 Januari 1981 dengan judul artikel "Yang Ekstrim-Ekstrim dalam Sejarah" mengulas pengalaman Roeslan Abdulgani, bekas Menteri Luar Negeri, mengenai gerakan radikal dan gerakan ekstrem di Indonesia. "Saya dulu bangga disebut ekstrimis," kata Roeslan, akhir Desember 1980.
Pada zaman penjajahan, istilah gerakan ekstrem digunakan Belanda sebagai lawan dari kaum moderat yang mau bekerja sama dengan mereka. Tentang ini, Roeslan punya cerita. Saat serangan Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948, sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan, Roeslan sibuk mengadakan hubungan dengan para pejabat negara lain. Hari itu ia berusaha mengumumkan sikap pemerintah mengenai serangan Belanda karena Menteri Penerangan waktu itu, Moh. Natsir, dirawat di rumah sakit.
Roeslan tertembak dan jari telunjuk kanannya hilang. Ia dirawat di Rumah Sakit Bethesda, tanpa mengetahui bahwa Natsir juga dirawat di sana. Setelah lima hari, Roeslan ditangkap Belanda. "Mereka heran mengapa saya masuk gerakan ekstrim. Menurut pengertian mereka, ekstrimis adalah orang yang tidak bisa berbahasa Belanda, gondrong, bawa bedil, pakaian kumal, dan sebagainya," ucap Roeslan.
Setelah kemerdekaan, istilah "ekstrem" berganti makna. Roeslan berpendapat, memang pernah ada ekstrem kiri dan kanan dalam sejarah politik Indonesia. Tapi sekarang banyak masalah atau kejadian yang dikaitkan dengan kelompok "ekstrem kiri" atau "kanan" sehingga sering menimbulkan kekaburan di masyarakat.
Dalam sejarah Indonesia, deretan kelompok atau gerakan yang dianggap ekstrem memang cukup panjang. Ada yang dilandasi ideologi, ada pula yang berdasarkan kesukuan atau separatisme. Yang dilandasi ideologi antara lain Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Partai Komunis Indonesia menyiapkan pemerintahan komunis di Indonesia dari sana, dan bisa ditumpas oleh pemerintah yang dipimpin Sukarno-Hatta. Pada 5 April 1950, Kapten Andi Azis dengan pasukannya yang bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memberontak. Mereka menentang dipulihkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menolak kedatangan pasukan Tentara Nasional Indonesia ke Ujungpandang.
Pemerintah kemudian melancarkan gerakan operasi militer dan, pada 8 Agustus 1950, pemberontakan dapat diselesaikan. Gerakan separatis lain yang cukup lama merepotkan adalah yang dilakukan Republik Maluku Selatan, yang melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur dan Republik Indonesia Serikat. Pada 17 Agustus 1949, pasukan Hizbullah dan Sabilillah di Jawa Barat yang menolak mundur dari daerah pendudukan Belanda menyatakan terbentuknya Negara Islam Indonesia dengan Tentara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwirjo. Gerakan ini baru bisa ditumpas pada 1962 dengan tertangkapnya Kartosuwirjo, yang kemudian dihukum mati. Ekstrem baru dengan sebutan Dl/TII ini umumnya digolongkan kelompok "ekstrem kanan".
Di samping berbagai gerakan ekstrem di atas, ada banyak lagi kelompok ekstrem, termasuk yang menggunakan cara-cara radikal. Misalnya kelompok yang berusaha membunuh Presiden Sukarno dan beberapa kali gagal. Pada awal 1980-an itu, yang sering disebut pemerintah sebagai kelompok ekstrem adalah apa yang disebut Teror Warman atau juga "Komando Jihad". Tujuannya, menurut sementara pejabat, adalah membentuk negara Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo