KETENANGAN pantai di Kepulauan Sangihe-Talaud terusik. Burung-burung pemakan bungkil yang biasanya berseliweran di sepanjang pantai tiba-tiba mati bergelimpangan tanpa sebab. Malaikat maut seperti mengambang di antara lambaian pohon nyiur.
Apa yang terjadi? Usut punya usut, kawanan burung nahas itu bertemu ajal tak lama setelah mematok buah kelapa yang melimpah di sepanjang pantai. Kegelisahan pun merebak: siapa sangka, buah yang juga dikonsumsi manusia ini mengandung racun mematikan. Penduduk yang bingung dan penasaran kemudian melaporkan kejanggalan ini kepada para aktivis lingkungan untuk diteliti. Hasilnya sungguh mengejutkan. Seperti tercantum dalam laporan terbaru Pesticide Action Network (PAN) Indonesia, sebuah LSM antipestisida September lalu, buah kelapa di kawasan Sangihe ternyata sudah tercemar Azodrin.
Hingga hari ini, bukti-bukti peredaran Azodrin secara meluas memang belum diperoleh. Kendati demikian, pemakaian Azodrin di wilayah terbatas sekalipun merupakan mimpi buruk. Pestisida berbahan aktif monokrotos ini telah lama masuk daftar hitam. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1996, peredaran 29 pestisida berbahan baku monokrotos termasuk Azodrin diberangus dari Indonesia.
Sebagai obat antihama, Azodrin memang cespleng. Kumbang tak lagi berselera menyantap kelapa yang beraroma senyawa maut itu. Tapi dampak sampingnya juga mengerikan. Monokrotos terbukti mampu merusak fungsi sistem kelenjar yang akan mengancam hampir seluruh fungsi tubuh, mulai dari tingkat kesuburan, sistem kekebalan, tingkat kecerdasan, sampai pertumbuhan alat kelamin. Wajar bila Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan monokrotos sebagai senyawa yang amat sangat beracun.
Lalu, bagaimana Azodrin bergentayangan dan bebas dipakai petani? Menurut Koordinator PAN, Riza Tjahjadi, penyusupan pestisida maut terjadi lantaran ancaman bahayanya tak disebarluaskan sampai ke petani. "Bahkan pelarangan pemakaiannya pun cenderung ditutup-tutupi," katanya. Selain itu, pelarangan saja tak akan mampu meredam pemakaian pestisida maut, kecuali jika para petani diberikan alternatif: ada pestisida lain yang aman tapi tak kalah manjurnya. Karena tak ada pilihan, petani terpaksa memakai pestisida berbahaya, kendati harus berjudi dengan maut. Peluang ini dimanfaatkan sebagian pengusaha industri pestisida untuk mengail untung.
Celakanya, peluang pestisida maut tetap gentayangan makin terbuka lebar. Dengan alasan petani masih membutuhkan sejumlah pestisida penting, sejak Mei lalu pemerintah membuka pendaftaran ulang merek-merek pestisida maut. Sejauh ini, ada 55 merek pestisida, termasuk 29 monokrotos tadi, yang dilarang. Setelah didaftar ulang mereka akan diuji kembali apakah cukup "aman" untuk diedarkan.
Apakah beleid ini akan dimanfaatkan untuk menyelundupkan pestisida maut? Sejauh ini memang belum ada bukti. Tapi petunjuk ke arah itu bukan tak ada. Salah satu sinyal yang nyata: dari 55 pestisida haram itu ada 11 yang, menurut klasifikasi WHO, mengandung bahan aktif kelas 1a (amat sangat berbahaya) dan 1b (berbahaya sekali). Mestinya pestisida macam itu mustahil lulus uji keamanan. "Lalu, mengapa mereka juga diuji ulang?" tanya seorang peneliti pertanian.
Kecurigaan lain diungkapkan Koa Tasaka, aktivis antipestisida dari Jepang. Pakar pertanian yang pernah memantau program pemberantasan hama terpadu di Indonesia pada awal 1990-an itu yakin ada udang di balik beleid ini. "Saya yakin produsen pestisida Jepang turut terlibat dalam lobi-lobi ke Menteri Pertanian," katanya dengan tegas.
Semua kecurigaan ini dibantah Menteri Pertanian Soleh Solahuddin. Ia berjanji, uji ulang ini akan ditangani Komisi Pestisida yang independen. Mereka akan bekerja secara transparan. "Tak mungkin ada lobi-lobi," katanya.
Cuma masalahnya, apakah janji ini akan ditepati? Tak ada yang menjamin. Jangankan ditepati, bahkan untuk ditagih saja sulit. Umur Soleh sebagai menteri akan ditentukan pemerintahan baru mendatang. Selain itu, godaan produsen pestisida internasional akan gampang menggoyahkan janji yang tak ketahuan alamat penagihannya itu.
Mardiyah Chamim dan Rubi Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini