PAGI itu, 13 September lalu, persawahan di Banjar Mertasari, Jembrana, Bali, dipenuhi ribuan penonton. Mereka berderet sepanjang 2.000 meter, jarak yang harus ditempuh bolak-balik oleh sepasang kerbau yang turut lomba lari yang disebut makepung. Di ujung yang lain, telah berkumpul 100 pasang kerbau yang siap berlomba. Tiap pasangan kerbau tersebut harus menarik sebuah cikar kecil, tanpa atap atau dinding. Suasana tampak meriah, apalagi banyak kerbau yang dihias oleh pemiliknya. Kepalanya diberi mahkota yang terbuat dari kaleng yang diukir dan dicat indah. Kedua tanduknya ditutup dengan sarung tanduk warna-warni terbuat dari wol. Bendera atau umbul-umbul, menghiasi cikar. Para kusir, di Jembrana disebut "supir", mengenakan pakaian pewayangan atau mirip tokoh-tokoh wayang. Jumlah 100 pasang kerbau itu, dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok timur, petani dan pemilik kerbau yang memiliki sawah di sebelah timur Sungai Ijogading di banjar itu. Kelompok barat adalah para pemilik kerbau yang bermukim di sebelah barat sungai tadi. Kerbau dari dua kelompok itu (masing-masing 50 pasang) terdiri dari kerbau kelas A I0 pasang, kerbau kelas B 15 pasang dan sisanya yang termasuk kelas C. Kelas-kelas ini berdasarkan kekuatan binatang itu sesuai dengan hasil seleksi panitia makepung. Pertandingan dimulai dengan menampilkan kerbau-kerbau kelas C. Megacikan Ketika waktu bertanding semakin dekat, dua cikar yang akan beradu cepat berada pada jarak 10 meter dari tempat lawannya. Roda cikar harus menginjak garis start yang melintang di atas jalur selebar 3 meter. Juri yang berpakaian hitam-hitam, pagi itu jumlahnya ada 6 orang, telah siap memberikan aba-aba. Begitu wasit memberikan tanda mulai, dengan sigap kusir mencambuk pantat si kerbau berkali-kali. Suasana menjadi hiruk pikuk. Teriakan, ketawa, dan ulah aneka ragam penonton, sponsor, ruris lokal atau turis asing. Pemenang ialah pasangan kerbau yang roda cikarnya paling dulu menginjak garis finish. Peserta yang nyelonong keluar dari jalur balap dinyatakan kalah, apalagi yang sempat tercebur ke sawah di sekitar arena pertandingan. Begitu pula beberapa cikar yang dilarikan oleh pasangan kerbau tanpa kusir -- karena sang kusir telah bergelimpangan di tengah jalan. Tak sedikit kusir yang bertingkah seperti orang kesetanan mencambuk punggung si kerbau. Cambuk yang terbuat dari rotan sengaja diberi paku-paku hingga melukai tubuh si kerbau. Kalau kerbau luka-luka dan berdarah, "itu lebih bagus," kata Wayan Sudiana, salah seorang peserta makepung. Karena luka itu mudah disembuhkan, yaitu dengan mengolesinya dengan minyak kelapa dan ramuan lain. "Tapi kalau pantat kerbau bengkak karena cambuk tidak bergerigi, sembuhnya lama," ujar Sudiana lagi. Makepung yang berarti perlombaan, sudah ada di daerah Jembrana sejak 1880. Mula-mula di maksud untuk sekedar meratakan tanah sawah yang di sana disebut melasah. Sambil melasah itulah, pertandingan tidak resmi sering terjadi kemudian dibiasakanlah pertandingan lari antar kerbau, yang semula bernama megacikan. Untuk itu biasanya dipilih sawah yang luas. Hadiahnya cuma sekedar babi guling, anak babi yang dipanggang dan diberi macam-macam rempah. Umumnya diadakan ketika panen telah usai, jika pematang sawah mulai mengering dan batang padi semakin layu. Karena pertandingan ini banyak penggemarnya, Pemda Bali mulai berpikir: mengapa tidak menyediakan arena yang tertutup untuk makepung ini? Dengan demikian, bisa dikomersialkan. Pertandingan baru-baru ini disaksikan oleh tak kurang dari 15.000 penonton, penduduk dari segala pelosok Bali, para pejabat dan pelancong. Tetapi dengan dimulainya pertandingan guna memenangkan Piala Gubernur Bali -- seperti untuk pertama kali 13 September lalu -- sifat pertandingan mungkin akan berubah. Di masa mendatang, makepung akan disamakan jadwalnya dengan Pesta Kesenian Bali yang diadakan setiap tahun. Bahkan untuk merangsang para petani di Jembrana, Gubernur Bali Ida Bagus Mantra telah menyerahkan 20 ekor kaung misa, anak kerbau jantan. Peserta makepung, memang hanya diikuti kerbau jantan saja. Kerbau betina, dianggap tidak bisa lari. Sebetulnya, makepung bisa juga dijadikan ukuran, apakah seekor kerbau itu sehat atau tidak. Kerbau yang sehat adalah kawan yang baik bagi petani untuk membantu menggarap sawahnya. Dia akan mendapat perawatan istimewa, makan yang cukup dan berlatih lari (sambil bekerja) secara teratur. Pada hari Tumpek Kandang, semacam "hari binatang", kerbau ini harus diupacarai. Sama seperti pesta ulang tahun atau ngotonan bagi umat Hindu. Malam hari sebelum seekor kerbau terjun di arena makepung, tubuhnya dipijat dengan ramuan rempah-rempah. Terutama di bagian leher dan pantat, agar ototnya kuat dan cepat larinya. Seekor kerbau yang keluar sebagai juara makepung kelas A, bisa mencapai harga Rp 800.000 bila hendak dijual. Pemenang dari kelas B, bisa berharga Rp 500.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini