PRESTASI Mahkamah Agung memang tak ada yang spektakuler. Ini
diakui Ketua Mahkamah Agung Rl, Prof. Oemar Seno Adji. Dan yang
keras menusuk telinga justru kritik dan kecaman terhadap
berbagai sikap lembaga pengadilan tertinggi negara tersebut
dalam "mengelola hukum". Banyak keputusan, instruksi kepada
hakim bawahan, surat-surat edaran MA, dinilai tak begitu pas.
Misalnya ada keputusan kasasi yang oleh sementara ahli dianggap
mendahului putusan banding (pada kasus Damaitex). Pelaksanaan
sebuah keputusan Pengadilan Tinggi menjadi tertunda tanpa batas
waktu yang pasti karena perintah MA (kasus sengketa P.T. Asa
dengan perusahaan minyak asing, Hufco). Bahkan sebuah perkara
yang sudah final, sudah memperolch keputusan kasasi, pun
ditangguhkan eksekush-ya oleh MA sendiri (kasus P.T. Lima Tujuh
vs Citibank).
Haatzaai Artikelen
Rumusan kata-kata kritik paling tajam dapat dipinjam dari V.B.
da Costa. Misalnya: "Banyak yang dilakukan MA bersifat 'bukan
hukum' -- hanya pendapat hakim agung atau ketuanya sendiri."
Banyak instruksi, petunjuk atau surat edaran MA, menurut anggota
DPR dan Komisi III tersebut, "sudah bertentang an dengan
undang-undang yang berlaku dan merusak kebebasan hakim." Dan
seterusnya.
Seno Adji tentu saja mempertahankan diri. Katanya: "Saya tidak
mau melayani pertanyaan tentang perkara demi perkara di
parlemen. Karena hal itu sudah menyangkut salah satu kebebasan
hakim -- bebas dari pengaruh parlemen." Memberi petunjuk kepada
hakim bawahan mengenai cara menyelesaikan sesuatu perkara,
katanya, adalah wewenang MA yang diberikan undang-undang. Tugas
MA, katanya pula, "memang menjaga agar hukum tetap up to date."
Misalnya: menurut KUHP seseorang dapat dipidana bila
mengeluarkan pernyataan yang bersifat permusuhan, kebencian...
Pasal tersebut, yang lazim disebut haatzaai artikelen, menurut
Seno Adji belum dicabut --walaupun berbagai pihak tidak
menyenanginya. Agar hakim tidak semena-mena mempergunakan pasal
tersebut, seperti kata Seno Adji, MA lalu memberi petunjuk
bagaimana menafsirkannya: pernyataan permusuhan, kebencian atau
merendahkan itu jelasnya adalah "penghinaan".
Dalam KUHP tak dapat ditemukan pasal-pasal yang mengancam
perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Tapi menurut Seno Adji,
dengan petunjuk MA, para hakim sekarang dapat melayani tuntutan
terhadap penguasa. "Dengan juri-sprudensi dapat dibuktikan bahwa
pemerintah bisa digugat di pengadilan," kata Seno Adji.
Prestasi MA juga dapat dikemukakan oleh hakim bawahan. Misalnya
ditunjukkan oleh Hakim Suwandono dari Pengadilan Negeri di
Jakarta: "Surat edaran MA yang meminta agar hakim-hakim
memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan narkotik.
penyelundupan dan senjata api, jelas sesuai dengan aspirasi
nasyarakat."
Juga, kata Suwandono, ada petunjuk dari MA agar pengadilan
memprioritaskan penyelesaian perkara-perkara G.30.S/PKI.
Alasannya, kurang lebih segi kemanusiaan harus mendapat
perhatian khusus. Masih dengan pertimbangan yang sama beberapa
tertuduh perkara 15 Januari, seperti Aini Chalid, Hariman
Siregar dan Syahrir, dibebaskan dari tahanan berdasarkan
petunjuk MA -- sebelum perkara mereka selesai.
Memang ada yang dapat dikemukakan dari MA. Tapi mendekati usia
65 tahun, Prof. Oemar Seno Adji, yang duduk di MA sejak 1974,
tak hanya dikecam karena sikapnya yang berkenaan dengan
jabatannya. Umurnya juga mulai dipersoalkan orang: apa tak
sebaiknya pensiun saja? Atau seperti kata Mr. Yap Thiam Hien:
apa tak sebaiknya hakim agung diangkat seumur hidup.
Seno Adji, "priyayi" Solo ini, kalem saja menanggapinya:
"Sebagai pejabat tinggi negara 'kan tidak ada batas umur?" Dan,
tambahnya, kebebasan seorang hakim agung juga tak tergantung
pada diangkat seumur hidup atau tidak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini