KIAI pantai utara Jawa memang terkenal keras sikapnya kaku
pendiriannya, dan ketat dalam perumusan pendirian keagamaannya.
Entah di sebelah barat, seperti di daerah Cirebon, entah pula di
timur.
Keyakinan agama para kiai pesisir itu kokoh, sekokoh batu karang
yang sesekali menghiasi lepas pantai mereka yang dangkal. Hukum
agama yang mereka rumuskan berwatak tegar, sedikit sekali
mempertimbangkan keadaan manusiawi masyarakat di mana mereka
hidup.
Tidak heranlah jika Kiai Wahab Sulang dari Rembang sempat
membuat heboh di kalangan yang sedemikian teguh keyakinan dan
ketat perumusan hukum agamanya.
Bagaimana tidak heboh, kalau istrinya yang anggota DRPD itu
termasuk yang paling asyik dan getol mengikuti acara budaya
non-santri di pendopo kabupaten. Sudah fraksinya F-PP, masih
campur baur lagi dengan nyonya-nyonya Golkar dan Korpri dalam
acara 'maksiyat' yang berupa tari-tarian Jawa dan gendingan.
Bagaimana tidak geger, kalau istrinya kian kemari tanpa 'mahram'
yang mengawal, sering dalam rombongan yang berisi para pria
saja.
Pola tingkah laku 'non-santri' seperti itu tidak heran sebenarya
kalau datang dari orang seperti Kiai Wahab Sulang. Karena ia
memang tidak pernah konvensional. Tindakannya seringkali timbul
dari spontanitas dirinya saja.
Sewaktu istrinya baru mendapat pembagian sepeda motor (dengan
pembayaran kembali secara diangsur, tentunya), kiai kita ini
segera menggunakannya. Sebagai akibat, ia menabrak sebuah rumah.
Sepeda motor rusak dan ia sendiri luka-luka. Penjelasan sang
kiai: "Habis saya pakai rem kaki."
"Lho, rem kaki 'kan memang harus dipakai dalam hal ini,
kiai."
"Ya, tetapi maksud saya bukan begitu saya mengerem hanya pakai
kaki saja. Karena belum tahu bagaimana dan di mana remnya."
Menarik untuk dikaji, bagaimana kiai tidak konvensional seperti
ini masih diikuti orang. Mengapa ia masih diterima di lingkungan
sesama kiai? Mengapa ia tidak diserang dan 'disensur' oleh
kiai-kiai lain? Mengapa dibiarkan saja ia memberikan pengajian
umum, memberikan fatwa hukum agama kepada yang datang
memintanya, dan melakukan fungsi ke-kiaian secara penuh?
Apakah hanya karena ketenarannya sebagai orang 'jaduk' yang
kebal senjata tajam dan tidak mempan peluru? Kemampuannya
mengobati orang dengan doanya yang mustajab?
Ternyata tidak demikian persoalannya. Ada sebuah jawaban yang
menunjukkan lenturnya hubungan antara sesama kiai di pedesaan
Jawa. Sebabnya terletak pada kesanggupan Kiai Wahab yang
eksentrik ini untuk secara minimal mengikuti garis bersama,
sedangkan pada saat yang sama mengikuti pola berpikir tidak
konvensional itu.
Dalam forum yang merumuskan hukum agama, Kiai Wahab terkenal
sama keras pendiriannya dengan para kiai lainnya Sama ketat
perumusan hukumnya.
Sikap begini terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut dogma
keagamaan: ia mengikuti konsensus dalam hal yang sudah
ditetapkan, dan dengan demikian ia mengikuti pola umum sikap
para kiai secara nominal.
Tetapi sikap di atas tidak dapat membatasi Kiai Wahab
Sulang hanya pada pendekatan legal-formalistis belaka, tanpa
mampu mengembangkan sikap adaptif terhadap kebutuhan masa. Dan
kehebatan kiai yang satu ini justru terletak dalam kemampuannya
mencarikan landasan keagamaan bagi sikap yang longgar terhadap
kebutuhan manusiawi.
Anda butuh transfusi darah, tetapi takut hukum agamanya haram
menerima donasi darah orang lain? Sikap yang salah, menurut Kiai
Wahab. Orang Islam harus bertolong-tolongan, bukan? Allah 'kan
telah berfirman 'bertolong-tolonganlah
kalian dalam kebaikan dan ketakwaan'!
"Ya, kiai, memang demikian, tetapi bukankah masalah donor darah
menyangkut soal hubungan kekeluargaan dan
sebagainya?"
"Sampeyan ini apa tidak ingat firman 'permudahlah oleh kalian,
jangan persulit' (yassiru wa la tu'assiru)! Asal tujuannya baik,
dan untuk menolong manusia lain, apa salahnya?"
Untuk manusia kosmopolitan, sikap seperti ini bukanlah barang
baru. Tapi pentingnya sikap ini baru dapat dirasakan dalam
situasi di mana gagasan Keluarga Berencana masih sulit diterima
karena keyakinan agama, di mana pendidikan nonagama masih
dilihat dengan penuh kecurigaan dan di mana segala sesuatu
justru ditinjau dari rumusan legal-formalistik hukum agama.
Dan justru di sinilah terletak nilai penting dari sikap Kiai
Wahab tersebut: sikap untuk merumuskan kembali hukum agama
dengan mempertimbangkan kebutuhan manusiawi masyarakat. Jadi,
sikap untuk meninjau kembali keseluruhan wawasan
legal-formalistik itu sendiri.
Bukankah ini titik tolak pandangan hidup serba humanistis yang
kini begitu dipuja orang?
Tetapi Kiai Wahab memiliki kelebihan atas semua orang humanistis
dan kosmopolitan, yaitu bahwa benih-benih humanismenya secara
kongkrit dilandaskannya pada keyakinan agama dan kebenaran
firman Allah sedangkan
kita justru sering mempertentangkan antara keduanya.
Kelebihan ini harus diakui, lebih-lebih karena ia dimiliki oleh
kiai desa yang tidak dapat menggunakan rem sepeda motor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini