Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ketat tetapi longgar

Dalam hal berpendirian tentang hukum agama, kiai wahab sulang sangat ketat tapi longgar penerapannya. ia merumuskan kembali hukum agama dengan mempertimbangkan kebutuhan manusiawi masyarakat.

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIAI pantai utara Jawa memang terkenal keras sikapnya kaku pendiriannya, dan ketat dalam perumusan pendirian keagamaannya. Entah di sebelah barat, seperti di daerah Cirebon, entah pula di timur. Keyakinan agama para kiai pesisir itu kokoh, sekokoh batu karang yang sesekali menghiasi lepas pantai mereka yang dangkal. Hukum agama yang mereka rumuskan berwatak tegar, sedikit sekali mempertimbangkan keadaan manusiawi masyarakat di mana mereka hidup. Tidak heranlah jika Kiai Wahab Sulang dari Rembang sempat membuat heboh di kalangan yang sedemikian teguh keyakinan dan ketat perumusan hukum agamanya. Bagaimana tidak heboh, kalau istrinya yang anggota DRPD itu termasuk yang paling asyik dan getol mengikuti acara budaya non-santri di pendopo kabupaten. Sudah fraksinya F-PP, masih campur baur lagi dengan nyonya-nyonya Golkar dan Korpri dalam acara 'maksiyat' yang berupa tari-tarian Jawa dan gendingan. Bagaimana tidak geger, kalau istrinya kian kemari tanpa 'mahram' yang mengawal, sering dalam rombongan yang berisi para pria saja. Pola tingkah laku 'non-santri' seperti itu tidak heran sebenarya kalau datang dari orang seperti Kiai Wahab Sulang. Karena ia memang tidak pernah konvensional. Tindakannya seringkali timbul dari spontanitas dirinya saja. Sewaktu istrinya baru mendapat pembagian sepeda motor (dengan pembayaran kembali secara diangsur, tentunya), kiai kita ini segera menggunakannya. Sebagai akibat, ia menabrak sebuah rumah. Sepeda motor rusak dan ia sendiri luka-luka. Penjelasan sang kiai: "Habis saya pakai rem kaki." "Lho, rem kaki 'kan memang harus dipakai dalam hal ini, kiai." "Ya, tetapi maksud saya bukan begitu saya mengerem hanya pakai kaki saja. Karena belum tahu bagaimana dan di mana remnya." Menarik untuk dikaji, bagaimana kiai tidak konvensional seperti ini masih diikuti orang. Mengapa ia masih diterima di lingkungan sesama kiai? Mengapa ia tidak diserang dan 'disensur' oleh kiai-kiai lain? Mengapa dibiarkan saja ia memberikan pengajian umum, memberikan fatwa hukum agama kepada yang datang memintanya, dan melakukan fungsi ke-kiaian secara penuh? Apakah hanya karena ketenarannya sebagai orang 'jaduk' yang kebal senjata tajam dan tidak mempan peluru? Kemampuannya mengobati orang dengan doanya yang mustajab? Ternyata tidak demikian persoalannya. Ada sebuah jawaban yang menunjukkan lenturnya hubungan antara sesama kiai di pedesaan Jawa. Sebabnya terletak pada kesanggupan Kiai Wahab yang eksentrik ini untuk secara minimal mengikuti garis bersama, sedangkan pada saat yang sama mengikuti pola berpikir tidak konvensional itu. Dalam forum yang merumuskan hukum agama, Kiai Wahab terkenal sama keras pendiriannya dengan para kiai lainnya Sama ketat perumusan hukumnya. Sikap begini terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut dogma keagamaan: ia mengikuti konsensus dalam hal yang sudah ditetapkan, dan dengan demikian ia mengikuti pola umum sikap para kiai secara nominal. Tetapi sikap di atas tidak dapat membatasi Kiai Wahab Sulang hanya pada pendekatan legal-formalistis belaka, tanpa mampu mengembangkan sikap adaptif terhadap kebutuhan masa. Dan kehebatan kiai yang satu ini justru terletak dalam kemampuannya mencarikan landasan keagamaan bagi sikap yang longgar terhadap kebutuhan manusiawi. Anda butuh transfusi darah, tetapi takut hukum agamanya haram menerima donasi darah orang lain? Sikap yang salah, menurut Kiai Wahab. Orang Islam harus bertolong-tolongan, bukan? Allah 'kan telah berfirman 'bertolong-tolonganlah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan'! "Ya, kiai, memang demikian, tetapi bukankah masalah donor darah menyangkut soal hubungan kekeluargaan dan sebagainya?" "Sampeyan ini apa tidak ingat firman 'permudahlah oleh kalian, jangan persulit' (yassiru wa la tu'assiru)! Asal tujuannya baik, dan untuk menolong manusia lain, apa salahnya?" Untuk manusia kosmopolitan, sikap seperti ini bukanlah barang baru. Tapi pentingnya sikap ini baru dapat dirasakan dalam situasi di mana gagasan Keluarga Berencana masih sulit diterima karena keyakinan agama, di mana pendidikan nonagama masih dilihat dengan penuh kecurigaan dan di mana segala sesuatu justru ditinjau dari rumusan legal-formalistik hukum agama. Dan justru di sinilah terletak nilai penting dari sikap Kiai Wahab tersebut: sikap untuk merumuskan kembali hukum agama dengan mempertimbangkan kebutuhan manusiawi masyarakat. Jadi, sikap untuk meninjau kembali keseluruhan wawasan legal-formalistik itu sendiri. Bukankah ini titik tolak pandangan hidup serba humanistis yang kini begitu dipuja orang? Tetapi Kiai Wahab memiliki kelebihan atas semua orang humanistis dan kosmopolitan, yaitu bahwa benih-benih humanismenya secara kongkrit dilandaskannya pada keyakinan agama dan kebenaran firman Allah sedangkan kita justru sering mempertentangkan antara keduanya. Kelebihan ini harus diakui, lebih-lebih karena ia dimiliki oleh kiai desa yang tidak dapat menggunakan rem sepeda motor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus