MULANYA saya merasa heran kenapa posisi Ketua DPR atau DPRD harus diperebutkan dengan susah payah. Kalau perlu, itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara, kadang kala sampai mengikutsertakan massanya dan menimbulkan ketegangan di masyarakat. Padahal, ketua ini mempunyai hak dan kewajiban yang tidak berbeda banyaknya dengan para anggotanya. Dan memang seharusnya demikian. Sebab, anggota DPR atau DPRD mewakili jumlah tertentu pemilih, dan kekuatan/keputusan parlemen bukan bergantung pada ketuanya, melainkan merupakan hasil sidang yang ditentukan oleh jumlah suara anggotanya. Anggota biasa dan ketua sama-sama dihitung satu suara.
Lantas, kenapa tetap diperebutkan? Ternyata memang ketua mempunyai hak istimewa, jauh melebihi anggotanya. Pertama, namanya saja ?ketua?, tentunya lebih hebat dari sekadar anggota biasa. Kedua, fasilitas termasuk gaji, rumah, dan mobil dinas ternyata jauh lebih bagus dibandingkan dengan anggota biasa. Seakan-akan sama dengan pimpinan eksekutif.
Saya melihat ada yang salah dengan semua ini. Dalam pikiran saya, seharusnya ketua dan anggota biasa tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama mewakili sekian ribu rakyat, tidak ada istimewanya rakyat pemilih sang ketua dan rakyat pemilih si anggota biasa. Mereka harus setara. Memang perlu ada yang mewakili sekian banyak anggota DPR atau DPRD untuk hal-hal yang bersifat administratif. Tetapi ini tidak boleh menimbulkan kesan si ketua jauh lebih superior dari si anggota biasa. Harus dihilangkan kesan struktural eksekutif di lembaga ini. Itulah sebabnya, mungkin, kenapa di negara yang berbahasa Inggris, ketua parlemen disebut ?Speaker? of House of Representatives, dan tidak memakai istilah ?chief? atau ?chairman? yang berkesan eksekutif. Speaker lebih tepat diterjemahkan sebagai juru bicara, sedangkan chief atau chairman lebih tepat diterjemahkan sebagai ketua atau pimpinan. Coba bayangkan, Ketua DPR dan juru bicara DPR, terasa lain hirarkinya. Jangan-jangan nanti kalau namanya juru bicara DPR atau DPRD, para anggota dewan saling tunjuk untuk menjadi juru bicara.
Bila namanya terkesan setara, tidak terasa superior, dan diimbangi dengan fasilitas yang tidak terlalu jauh berbeda, saya rasa jabatan ini tidak akan menjadi ajang perebutan lagi. Malah, sangat memungkinkan, jabatan juru bicara dan wakil juru bicara dewan langsung dibuat pada tatib DPR bahwa yang menjadi juru bicara DPR adalah dari partai pemenang pemilu, dan wakil-wakil juru bicara adalah dari partai pembentuk fraksi. Ini sangat menggambarkan kemauan rakyat. Tidak ada lagi gesekan-gesekan, politik uang, dan keributan yang tidak perlu di masyarakat kita hanya karena memperebutkan jabatan ?juru bicara? DPR atau DPRD.
IR. WIRYA SILALAHI
Bengkong Tengah, Batam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini