Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kiai Dudo Minta Pengasuh

Keraton Sala kebakaran, bagian gedung dalem Tasik Wulan habis dimakan api, kerugian ditaksir sekitar 20 juta, instalasi listrik di keraton perlu diperbarui. (ils)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI Sabtu Pon, 15 Agustus,pukul 16.45. Menurut perhitungan tanggal Jawa, hari yang cerah itu sudah memasuki hari Minggu atau Ngahad Wage. Nyai Lurah Reksohusodo--atau biasa dipanggil "mammie" oleh putra-putri kraton--terkejut melihat jilatan api di atas bubungan Dalem Tasik Wulan, bagian dari Kraton Kasunanan Surakarta. Istana itu dilanda kebakaran. Kraton geger. Jerit dan tangis segera memenuhi kawasan yang dikelilingi tembok tinggi itu. "Kraton kita!", jerit GRA Kus Indriyah, salah seorang putri Paku Buwono XII. "Aduh, kraton kita! Oh, Gusti, lindungilah kraton kami," ratapnya lagi. KGPH Hangabehi putra sulung Sunan PB XII segera memimpin cara-cara memadamkan api. Dia pernah bekerja di Caltex dan pernah belajar tentang cara memadamkan kebakaran. Tapi jilatan api sudah sedemikian besarnya. Tak berapa lama mobil pemadam kebakaran tiba. Jalan api ke bangunan lain harus dipotong. Untuk itu sayap bubungan Dalem Ageng (gedung utama) yang jaraknya cuma 15 meter, harus diambrukkan. Tidak sulit untuk mematahkannya, karena bangunan memang telah tua. Sementara itu, di beranda Keputren, dua orang istri Paku Buwono, didampingi seorang abdi dalemnya, tekun menghadapi sebuah tungku api kecil yang ditaburi kemenyan. Tanpa menghiraukan ributnya orang panik, mereka tetap berdoa, minta selamat. Murka Hangabei kemudian ingat nasib beberapa benda pusaka yang ada di Tasik Wulan. Tiga daun pintu tebal didobraknya. Pusaka yang bernama Kiai Dudo berhasil diselamatkan. Begitu pula Kiai Rejeki. Kiai Macan, Kiai Gedeg. "Dan 2 menit setelah Kiai Rejeki dikeluarkan, plafon dan tiang bubungan jatuh," ujar KRT Sastradiningrat (60 tahun), sekretaris Paku Buwono XII. Tidak sampai larut malam, Tasik Wulan habis dimakan api. Semua pusaka berhasil diselamatkan. Cuma sebuah guci Tiongkok, kotak tempat menyimpan pusaka dan lemari kuno tiga buah, jadi korban api. Kraton Surakarta yang luasnya sekitar 4 Ha, didirikan pada tahun 1745 oleh Paku Buwono II. Dari waktu ke waktu, bangunan semakin bertarnbah banyak, setiap kali ada raja yang naik tahta. Antara lain Dalem Tasik Wulan, sebuah gedung yang ada di kompleks Keputren. Letak gedung ini persis di sisi kanan Pracimorenggo yaitu kompleks yang jadi Dalem Ageng. Tasik Wulan dibangun pada 1810 oleh Paku Buwono X untuk istrinya yang bernama Kanjeng Raden Ayu Adipati Tasik Wulan. Nama ini diabadikan untuk nama bangunan yang berbentuk limasan itu. Pusaka yang bernama Kiai Dudo disimpan di gedung ini. Sang kiai ini berwujud sebuah periuk yang bisa menanak nasi sampai 40 kg sekaligus. Biasanya dijerang di api untuk upacara ritual yang diadakan 8 tahun sekali. Nasi dari Adang Sega Bakda Dal (menanak nasi di bulan Dal) ini biasanya dibagi-bagikan kepada para Abdi Dalem. Mereka percaya nasi yang ditanak dari Kiai Dudo membawa tuah. Rupanya, bagi kalangan kraton dan wong Sala, Kiai Dudo ini dimanjakan betul. Meskipun dipercaya berwatak keras. Sebab, "Kiai Dudo bisa marah kalau tidak senang dengan situasi," ujar GPH Hadiprabowo (30 tahun) juga putra Paku Buwono XII yang memegang jabatan Pengageng Putrosentono Kraton. Tambahnya "Kemurkaannya biasanya diwujudkan dalam bentuk kebakaran." Bukan sekali saja kebakaran timbul gara-gara si Dudo ini. Di tahun 1920, di aman-Paku Buwono X, Kiai Dudo ditempatkan di Dalem Parakan. Bangunan ini terbakar. Rupanya, sang Kiai tidak senang dicampur dengan pusaka-pusaka kraton yang lain. Tahun 1970, dapur kraton yang bernama Gondorasan yang juga pernah jadi tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang berwujud alat-alat dapur ini, juga terbakar. Pindah lagi ke Tursinopura. Entah dengan alasan apa, kemudian Kiai Dudo dipindahkan pula ke Tasik Wulan bersama "kiai-kiai" lainnya yang juga berwujud dandang atau periuk dengan ukuran lebih kecil. Satu-satunya tokoh yang bisa berkomunikasi dengan Kiai Dudo cuma Kanjeng Ratu, ibunda Paku Buwono Xll. Konon, di malam Jumahat Pahing jam 03.00 pagi, 14 Agustus 1981, Kanjeng Ratu telah mendapat firasat lewat mimpi. Kiai Dudo, yang dalam mimpi itu berwujud seorang pria bertubuh besar, minta seorang emban (pengasuh). Artinya seseorang yang bisa memelihara dan menyediakan sesajen untuknya. Memang, 40 hari sebelumnya emban Kiai Dudo yang bernama Sularsih, meninggal dalam usia 89 tahun. Untuk mencari gantinya, "kami tak bisa pilih sembarangan orang," ujar KGPII Hangabehi, 33 tahun. "Pokoknya, Kiai marah kalau tidak ada yang merawat," tambah Hadiprabowo. Selama ini, sudah puluhan tahun lamanya, setiap malam Jumat, pusaka yang bernama Kiai Dudo ini selalu dibersihkan. Kemudian diberi sesajen dan dibacai beberapa doa lewat tembang (lagu Jawa) oleh pengasuhnya. Walikota Surakarta Sukatno SH menaksir kerugian materi dari kebakaran tersebut sekitar Rp 20 juta. Selama ini, bangunan bersejarah itu memang tidak diasuransikan. Sejak berdiri, kraton ini telah mengalami empat kali kebakaran. Pertama, Dalem Parakan (sekitar 1920) lalu panggung Sangga Buwana (1955) Gondorasan (1970? dan Tasik Wulan. Ketika dibangun, bukannya tidak ada alat pencegah kebakaran, Di zaman Paku Buwono X, kraton pernah memiliki dua buah alat pemadam kebakaran. Tapi benda itu kini tinggal besi tua saja karena tidak ada onderdil. Seputar pekarangan kraton, juga ada tertanam 30 buah hydrant. "Tapi karena debit air kecil, hydrant tidak bisa berfungsi lagi," ungkap Hadiprabowo. Begitu pula, air ledeng di kraton menetes dengan pelit. Bahkan menurut seorang abdi dalem, "untuk minum saja sulit, apalagi untuk memadamkan api besar." Kini, Tasik Wulan tinggal denahnya saja. Ujung bubungan Dalem Ageng yang diambrukkan, kini ditopang dengan bambu. Kapan mau dibangun lagi? "Untuk membangun, sulit," sambung Hadiprabowo, "untuk biaya memelihara saja, selalu kekurangan." Karena itu, biaYa untuk memperbarui instalasi listrik yang diperkirakan menjadi sumber kebakaran tadi, tampaknya mustahil pula. "Sebagian besar jaringan listrik di kraton belum dipugar sejak listrik masuk kraton," kau KRT Sastradiningrat. Kraton ini mulai menikmati listrik pada tahun 1930. Lewat Departemen Dalam Negeri, kraton Sala selama ini mendapat tunjangan sebesar Rp 4.200.000 setiap bulan, untuk gaji karyawan. Gaji yang terendah di kraton Rp 9.000 bulan. Kini jumlah pegawai (termasuk abdi dalem dengan berbagai jabatan) yang aktif ada 250 orang. Selain itu, sekitar 500 orang yang telah dipensiun dan 300 orang mendapat subsidi karena dianggap termasuk kerabat kraton (putro sentono). Biaya pemeliharaan kraton mendapat dropping juga dari pemerintah sebanyak Rp 400.000 tiap kuartal. Rupanya, biaya pemeliharaan ini lebih besar pasak dari tiangnya. Sebab, untuk membayar rekening listrik misalnya dianggarkan sebesar Rp 250.000. Tapi PLN Surakarta sering mengirim rekening sampai berjumlah Rp 390.000. Meskipun siang hari -- demi penghematan --listrik dimatikan secara sentral dan baru menyala pada pukul 17.00. Apakah kraton tidak punya sumber penghasilan lain? Ada. Kraton yang jadi tempat kunjungan wisatawan, menjual tiket. Tapi setiap bulan cuma terkumpul rata-rata Rp 300.000. Dan di mana harus diletakkan Kiai Dudo yang senang bermain api? Untuk sementara, kini disimpan di Kraton Kulon, di salah satu kamar tempat wafatnya Paku Buwono X. Mudah-mudahan ia krasan di situ.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus