Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berakit-Rakit Dalam Rumah

Para penghuni rumah-rumah rakit/lanting di pinggir-pinggir sungai, tak perlu membeli tanah dan izin bangunan, kebutuhan sehari-hari dilayani pedagang keliling dengan perahu. (sd)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA punya uang Rp 300.000 saja, anda dapat membeli sebuah rumah mungil ukuran 6 X 4 meter. Tapi jangan bermimpi tentang taman atau kebun di pekarangan. Bukan lantaran harga tanah semakin mahal. Tapi karena rumah yang ditawarkan ini mengapung di atas sungai. Rumah rakit atau lanting di Banjarmasin, misalnya sudah lama dikenal. Biasanya beratap rumbia, dinding dan lantai terbuat dari papan. Rumah terapung itu juga dibagi menjadi beberapa bilik, menurut kebutuhan keluarga yang memilikinya. "Fondasi" dibuat dari dua batang kayu besar tempat memancangkan tiang dan menjajar papan lantai sekaligus berfungsi sebagai pengapung. Karena selalu terapung, tentu saja rumah rakit tak hanyut walau sungai sedang banjir. Kalau kedua balok kayu itu kurang kuat sebagai pengapung, puluhan batang bambu disusupkan di antaranya. Dan agar rumah rakit itu tidak bertubrukan dengan rumah tetangganya, paling sedikit empat patok dipancang untuk menambatnya. Di beberapa tempat rumah-rumah rakit itu memiliki kamar mandi atau kakus khusus. Tapi tak jarang pula penghuninya hanya tinggal nongkrong atau menceburkan diri kalau mau mandi. Yang pasti semua kotoran, dari dalam perut atau bukan, tertumpah ke sungai yang juga menjadi sumber air minum. Tentu saja penghuninya tidak merasa was-was hidup diayun ombak sungai. "Saya sendiri hidup dan dibesarkan di lanting," kata Utuh Sukeri, 44 tahun, di rumahnya yang mengapung di Sungai Martapura, Banjarmasin. Ia hidup di atas sungai sejak berusia 5 tahun, setelah ayahnya pindah ke lanting di bagian hulu sungai itu. Uang Parkir Rumah rakit, rupanya tidak memerlukan izin bangunan. Pemerintah setempat tidak pernah menghiraukan ratusan rumah rakit yang tertambat di sepanjang sungai. Karena itu pula, Sukeri tidak khawatir sedikit pun rumahnya bakal digusur. Yang sering mencemaskan justru arus lalulintas sungai yang tidak henti-hentinya. Sebab kalau tidak awas, rumahnya bisa diseruduk kendaraan-kendaraan sungai. Paling tidak disenggol perahu yang lagi parkir di dekatnya. Sebab itu Sukeri memasang lima buah ban mobil bekas sepanjang balok pengapung sebagai pandub, semacam bumper. "Ombak tidak pernah berhenti. Kalau tidak dipasang panduh, dinding rumah bisa jebol ketabrak," kata Sukeri. Walau bisa mencelakakan perahu atau kapal amat dibutuhkan mereka yang hidup di atas rumah rakit. "Bila ada kapal bermalam di tepi atau di tengah sungai, saya sering mendapat duit," katanya. Sebagian rezeki yang didapatnya memang terutama dari "uang parkir" dan jaga malam untuk mengawasi kendaraan-kendaraan sungai itu. Bahkan kadang-kadang, ia sewakan kamarnya untuk pemilik perahu itu. Uang yang dikantunginya tidak tentu. Tapi Sukeri yang tidak mempunyai pekerjaan tetap itu kelihatan hidup cukup. Lantai papan rumahnya sudah dilapisi karpet plastik. Di dekat tempat tidurnya, ada sebuah tv 14 inci dan radio kaset. Kedua "alat penghibur" itu dihidupkan dengan accu yang harus disetrum seminggu sekali. Walau tinggal di tengah sungai, keluarga beranak 5 orang itu tidak merasa terasing. Dengan titian sebuah papan berlumut, anak-anaknya dengan lincah dapat berlari ke darat untuk bermain atau bersekolah. Anaknya yang paling kecil kini duduk di kelas I SD. Istri Sukeri, Halimah, belum tentu sebulan sekali menginjak tanah. Untuk membeli beras, sayur, ikan dan keperluan dapur lainnya, ia cukup duduk di depan pintu. "Banyak pedagang yang menjajakan barang di perahu," katanya. Yang membuatnya sulit justru soal air minum. Jika musim kemarau, air sungai yang biasanya dipakai untuk keperluan dapur, berubah menjadi asin. Untuk itu, ia mesti naik ke darat, membeli dan ikut antre air di kran-kran umum. "Ya, terpaksa membawa air dari darat turun ke sungai," kata Halimah sambil tersenyum. Dalam sejarah hidup di lanting, yang benar-benar memilukan hati keluarga Sukeri adalah musibah 15 tahun lalu. Anak sulungnya yang berusia 5 tahun tiba-tiba kecebur sungai. Ia terjatuh dari ranjang lalu terperosok karena lantai rumahnya sudah lapuk. Mayatnya baru ditemukan 10 jam kemudian. "Jika ia masih hidup, barangkali saya sudah punya cucu," kata Halimah mengenangkan. Celana dan BH Rumah rakit semacam itu ternyata bukan hanya untuk tempat tinggal. H. AmruniH.J. yang menambat lanting-nya di Sungai Gardu, Kalimantan Selatan, menyulap rumahnya menjadi toko kebutuhan sehari-hari. Di atas air itu, ia menjual minyak tanah, garam, terasi sampai celana dan BH. "Lanting ini saya beli 3 tahun lalu, harganya Rp 210. 000," kata Amruni, yang berasal dari Kabupaten Banjar itu. Istrinya ditugasi menjaga toko. Ia sendiri naik ke daratan untuk bertani. "Saya bisa naik haji bukan karena toko, tapi dari hasil pertanian," katanya. Untuk ke daratan, ia mempergunakan perahu kecil. Bahkan kedua anaknya yang baru berumur 7 dan 9 tahun, juga tidak sulit ke sekolah yang berjarak 1 km dari rumahnya. "Mereka dapat pergi dengan perahu," kata Amruni. Walau lalu lintas sungai itu cukup ramai, ia tidak khawatir, karena kedua anaknya sudah pintar berenang. Yang sering menjengkelkan justru ombak sungai yang digetarkan oleh speedboat atau kapal yang lewat. Tapi bukan hanya rumah yang diayun-ayun saja yang mengganggu H. Fatimah, istri H. Amruni. "Saya tidak bisa menimbang gula atau barang dagangan kalau ada orang belanja," katanya. Goyangan ombak sangat mengganggu kedudukan ujung timbangan itu secara tepat. "Terpaksa menunggu sampai ombak tenang kembali," katanya. Tentu saja deburan ombak karena hiruk-pikuk lalu lintas sungai itu, juga mengurangi "ketenangan" rumahnya. Siang malam, rumah rakit sepanang sungai itu diayun gelombang. "Tapi ada untungnya. Rumah lanting tahan gempa," kata Amruni tertawa. "Karena berumah di atas air, saya tidak perlu membeli tanah," kata H. Muhamad, 86 tahun, penghuni rumah rakit di Sungai Kahayan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dengan biaya sedikit, dua balok besar dapat dijadikan sebuah rumah. Karena itu ia betah tinggal di atas air. "Sebagai nelayan, memang lebih cocok tinggal di rumah rakit. Agar tidak terlalu susah membawa hasilnya," katanya. Kalau maiam tiba, sambil istirahat ia melempar pancing ke depan rumahnya. Hasilnya, kadang-kadang lumayan. Selama menghuni rumah terapung itu, Muhamad tidak pernah sulit mencari kebutuhan pokok. "Tinggal naik ke darat atau pasari" katanya. Kalau tidak mau susah-susah, tinggal nongkrong di depan pintu. Tidak lama pasti ada perahu yang menjajakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Bahkan orang berusia lanjut asal Amuntai, Kalimantan Selatan yang seluruh hidupnya di atas rakit itu, tidak berniat bermukim di darat. "Agak sulit menyesuaikan diri hidup di daratan," katanya. Ia lebih tenang menghabiskan sisa hidupnya bersama istri dan seorang anaknya yang sudah bekerja sebagai pelaut, di atas Sungai Kahayan. Kehidupan masyarakat rumah rakit yang berlangsung sejak beberapa turunan banyak terlihat juga di Kabupaten Sambas, Sanggau dan Sintang, Kalimantan Barat. Susunan masyarakat rumah rakit itu menyerupai perkampungan atau kota kecil. Bahkan di Sanggau, 262 km dari Pontianak, ada losmen terapung, ."Balai Kambang" namanya. Tarif semalam Rp 700 satu kamar. Suasana keluarga rumah rakit atau lanting di Kabupaten Sambas tidak jauh berbeda dengan orang di darat. Taufik, 40 tahun, penghuni lanting di Sungai Sambas, banyak menerima tamu selama lebaran baru lalu. Bermacam kue dipajang di meja ruang tamu, menyambut tetangga yang meniti jembatan papan masuk ke rumahnya untuk mengucap "maaf lahir batin." Hilir mudik tamu agaknya menjadi pertanda kedudukan Taufik, sebagai orang dikenal dan berada. Kecuali istri dan 8 anaknya berpakaian rapi, di rumah terapung itu juga terlihat ada tv ukuran 20 inci, mesin jahit, radio kaset merk Sharp dan speedboat Yamaha 25 PK menyandar di samping rakitnya. Rumah ini telah mendapat aliran listrik dari darat. Hidupnya di atas air ternyata belum terlalu lama. "Bar dua tahun tinggal di sini," katanya. Sebelumnya, ia tinggal di darat tidak lebih 15 meter dari rakit yang ditempati sekarang. "Rumah itu sudah hampir ambruk," katanya. "Tinggal di sini, biasa-biasa saja. Seperti di rumah daratan sana," tambah Taufik. Yang sangat meringankan keluarga besar yang berada karena memiliki kebun kelapa di Desa Segarau, Sambas itu, ialah soal air. "Air sangat gampang mendapatkannya," katanya. Di Sanggau, ada rumah rakit dengan bentuk yang agak berbeda dari umumnya. Yaitu sebuah tongkang (perahu besar) dari kayu dengan dinding dan atap seperti rumah biasa, tapi dilengkapi mesin disel untuk mendorongnya hilir mudik di Sungai Kapuas menghubungkan Pontianak dan Sanggau dan kota-kota kecil di hulu sungai itu. Namanya: bandung, rata-rata berukuran 8 X 25 meter. Di dalam rumah itu terdapat kamar tidur, kamar tamu, dapur, gudang, dan ruangan toko untuk menjajakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Perkampungan rumah-rumah rakit menjadi sasaran bandung ini. Pada saat merapat, terjadi jual beli hasil hutan seperti rotan, karet, kayu dan kebutuhan sehari-hari. Tentu saja rumah berjalan ini diungani seorang tauke, tukang mesin dan pengemudi, ditambah beberapa awak. Untuk hiburan, di dalamnya dipasang tv dan radio kaset. Beramal Haji Walidat, 78 uhun, adalah salah satu contoh tauke yang memiliki bandung. Orang kelahiran Pakistan ini ketika pertama kali masuk Pontianak 1927, langsung membuka usaha dagang. Dari hasil usahanya, ia bisa membeli sebuah bandung seharga Rp 5 juu lima belas tahun lalu dan diberinya nama "Ikhlas". "Saya lebih senang tinggal di bandung," katanya. Kecuali mendapat rezeki dari rumah terapung itu, ia juga merasa sudah terbiasa hilir mudik di atas sungai. Dengan bandung itu pula ia banyak: beramal. Pelajar yang akan mudik liburan, bisa menumpang gratis. Bahkan ia membiarkan imak buahnya mengikar beberapa keranjang berisi ikan Jelawat (ikan kelas satu di sana) yang mereka peroleh dengan jalan memancing selama perjalanan. Sesampai kota tujuan, ikan yang masih hidup dan segar itu dijual. Lumayan untuk tambahan gaji mereka. Rumah mengapung yang dijadikan tempat usaha juga ada di Sungai Musi, Palembang. Bedanya, rumah rakit di sini tidak berjalan seperti bandung. "Pedagang ikan dari hulu, suka menambatkan keranjangnya di sini sebelum dibawa ke pasar," kata Muhamad, 29 tahun, pemilik rumah rakit di Musi. Kalau habis musim panen, di depan rumahnya bisa berderet tidak kurang dari 50 keranjang berisi ikan yang masih hidup. Biaya tambat semacam itu dipungut sekitar 10% dari harga ikan di pasaran. Lain lagi Kecil Syahbudin, 50 tahun. Sejak berhenti sebagai lurah di Kabupaten Ogan Komering ilir tiga tahun lalu, ia turun ke sungai dan tinggal di rumah rakit. Bagian depan rumahnya ia sulap menjadi toko mebel. Pojok kanan rumahnya dipakai berjualan minyak solar untuk mesin perahu bermotor. Pembelinya adalah pedagang yang hilir mudik memakai perahu motor di Sungai Musi itu. Dari bisnis di atas rumah rakitnya, ia merasa lebih tenang dibanding sewaktu menjadi lurah. Kini ia tinggal menghidupi istri dan seorang putri, karena lima anaknya yang lain telah berkeluarga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus