BILA punya uang Rp 300.000 saja, anda dapat membeli sebuah rumah
mungil ukuran 6 X 4 meter. Tapi jangan bermimpi tentang taman
atau kebun di pekarangan. Bukan lantaran harga tanah semakin
mahal. Tapi karena rumah yang ditawarkan ini mengapung di atas
sungai.
Rumah rakit atau lanting di Banjarmasin, misalnya sudah lama
dikenal. Biasanya beratap rumbia, dinding dan lantai terbuat
dari papan. Rumah terapung itu juga dibagi menjadi beberapa
bilik, menurut kebutuhan keluarga yang memilikinya. "Fondasi"
dibuat dari dua batang kayu besar tempat memancangkan tiang dan
menjajar papan lantai sekaligus berfungsi sebagai pengapung.
Karena selalu terapung, tentu saja rumah rakit tak hanyut walau
sungai sedang banjir.
Kalau kedua balok kayu itu kurang kuat sebagai pengapung,
puluhan batang bambu disusupkan di antaranya. Dan agar rumah
rakit itu tidak bertubrukan dengan rumah tetangganya, paling
sedikit empat patok dipancang untuk menambatnya.
Di beberapa tempat rumah-rumah rakit itu memiliki kamar mandi
atau kakus khusus. Tapi tak jarang pula penghuninya hanya
tinggal nongkrong atau menceburkan diri kalau mau mandi. Yang
pasti semua kotoran, dari dalam perut atau bukan, tertumpah ke
sungai yang juga menjadi sumber air minum.
Tentu saja penghuninya tidak merasa was-was hidup diayun ombak
sungai. "Saya sendiri hidup dan dibesarkan di lanting," kata
Utuh Sukeri, 44 tahun, di rumahnya yang mengapung di Sungai
Martapura, Banjarmasin. Ia hidup di atas sungai sejak berusia 5
tahun, setelah ayahnya pindah ke lanting di bagian hulu sungai
itu.
Uang Parkir
Rumah rakit, rupanya tidak memerlukan izin bangunan. Pemerintah
setempat tidak pernah menghiraukan ratusan rumah rakit yang
tertambat di sepanjang sungai. Karena itu pula, Sukeri tidak
khawatir sedikit pun rumahnya bakal digusur. Yang sering
mencemaskan justru arus lalulintas sungai yang tidak
henti-hentinya. Sebab kalau tidak awas, rumahnya bisa diseruduk
kendaraan-kendaraan sungai. Paling tidak disenggol perahu yang
lagi parkir di dekatnya. Sebab itu Sukeri memasang lima buah ban
mobil bekas sepanjang balok pengapung sebagai pandub, semacam
bumper. "Ombak tidak pernah berhenti. Kalau tidak dipasang
panduh, dinding rumah bisa jebol ketabrak," kata Sukeri.
Walau bisa mencelakakan perahu atau kapal amat dibutuhkan mereka
yang hidup di atas rumah rakit. "Bila ada kapal bermalam di tepi
atau di tengah sungai, saya sering mendapat duit," katanya.
Sebagian rezeki yang didapatnya memang terutama dari "uang
parkir" dan jaga malam untuk mengawasi kendaraan-kendaraan
sungai itu. Bahkan kadang-kadang, ia sewakan kamarnya untuk
pemilik perahu itu.
Uang yang dikantunginya tidak tentu. Tapi Sukeri yang tidak
mempunyai pekerjaan tetap itu kelihatan hidup cukup. Lantai
papan rumahnya sudah dilapisi karpet plastik. Di dekat tempat
tidurnya, ada sebuah tv 14 inci dan radio kaset. Kedua "alat
penghibur" itu dihidupkan dengan accu yang harus disetrum
seminggu sekali.
Walau tinggal di tengah sungai, keluarga beranak 5 orang itu
tidak merasa terasing. Dengan titian sebuah papan berlumut,
anak-anaknya dengan lincah dapat berlari ke darat untuk bermain
atau bersekolah. Anaknya yang paling kecil kini duduk di kelas I
SD.
Istri Sukeri, Halimah, belum tentu sebulan sekali menginjak
tanah. Untuk membeli beras, sayur, ikan dan keperluan dapur
lainnya, ia cukup duduk di depan pintu. "Banyak pedagang yang
menjajakan barang di perahu," katanya. Yang membuatnya sulit
justru soal air minum. Jika musim kemarau, air sungai yang
biasanya dipakai untuk keperluan dapur, berubah menjadi asin.
Untuk itu, ia mesti naik ke darat, membeli dan ikut antre air di
kran-kran umum. "Ya, terpaksa membawa air dari darat turun ke
sungai," kata Halimah sambil tersenyum.
Dalam sejarah hidup di lanting, yang benar-benar memilukan hati
keluarga Sukeri adalah musibah 15 tahun lalu. Anak sulungnya
yang berusia 5 tahun tiba-tiba kecebur sungai. Ia terjatuh dari
ranjang lalu terperosok karena lantai rumahnya sudah lapuk.
Mayatnya baru ditemukan 10 jam kemudian. "Jika ia masih hidup,
barangkali saya sudah punya cucu," kata Halimah mengenangkan.
Celana dan BH
Rumah rakit semacam itu ternyata bukan hanya untuk tempat
tinggal. H. AmruniH.J. yang menambat lanting-nya di Sungai
Gardu, Kalimantan Selatan, menyulap rumahnya menjadi toko
kebutuhan sehari-hari. Di atas air itu, ia menjual minyak tanah,
garam, terasi sampai celana dan BH. "Lanting ini saya beli 3
tahun lalu, harganya Rp 210. 000," kata Amruni, yang berasal
dari Kabupaten Banjar itu.
Istrinya ditugasi menjaga toko. Ia sendiri naik ke daratan untuk
bertani. "Saya bisa naik haji bukan karena toko, tapi dari hasil
pertanian," katanya. Untuk ke daratan, ia mempergunakan perahu
kecil. Bahkan kedua anaknya yang baru berumur 7 dan 9 tahun,
juga tidak sulit ke sekolah yang berjarak 1 km dari rumahnya.
"Mereka dapat pergi dengan perahu," kata Amruni. Walau lalu
lintas sungai itu cukup ramai, ia tidak khawatir, karena kedua
anaknya sudah pintar berenang.
Yang sering menjengkelkan justru ombak sungai yang digetarkan
oleh speedboat atau kapal yang lewat. Tapi bukan hanya rumah
yang diayun-ayun saja yang mengganggu H. Fatimah, istri H.
Amruni. "Saya tidak bisa menimbang gula atau barang dagangan
kalau ada orang belanja," katanya. Goyangan ombak sangat
mengganggu kedudukan ujung timbangan itu secara tepat. "Terpaksa
menunggu sampai ombak tenang kembali," katanya.
Tentu saja deburan ombak karena hiruk-pikuk lalu lintas sungai
itu, juga mengurangi "ketenangan" rumahnya. Siang malam, rumah
rakit sepanang sungai itu diayun gelombang. "Tapi ada
untungnya. Rumah lanting tahan gempa," kata Amruni tertawa.
"Karena berumah di atas air, saya tidak perlu membeli tanah,"
kata H. Muhamad, 86 tahun, penghuni rumah rakit di Sungai
Kahayan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dengan biaya sedikit,
dua balok besar dapat dijadikan sebuah rumah. Karena itu ia
betah tinggal di atas air. "Sebagai nelayan, memang lebih cocok
tinggal di rumah rakit. Agar tidak terlalu susah membawa
hasilnya," katanya. Kalau maiam tiba, sambil istirahat ia
melempar pancing ke depan rumahnya. Hasilnya, kadang-kadang
lumayan.
Selama menghuni rumah terapung itu, Muhamad tidak pernah sulit
mencari kebutuhan pokok. "Tinggal naik ke darat atau pasari"
katanya. Kalau tidak mau susah-susah, tinggal nongkrong di depan
pintu. Tidak lama pasti ada perahu yang menjajakan barang-barang
kebutuhan sehari-hari. Bahkan orang berusia lanjut asal Amuntai,
Kalimantan Selatan yang seluruh hidupnya di atas rakit itu,
tidak berniat bermukim di darat. "Agak sulit menyesuaikan diri
hidup di daratan," katanya. Ia lebih tenang menghabiskan sisa
hidupnya bersama istri dan seorang anaknya yang sudah bekerja
sebagai pelaut, di atas Sungai Kahayan.
Kehidupan masyarakat rumah rakit yang berlangsung sejak beberapa
turunan banyak terlihat juga di Kabupaten Sambas, Sanggau dan
Sintang, Kalimantan Barat. Susunan masyarakat rumah rakit itu
menyerupai perkampungan atau kota kecil. Bahkan di Sanggau, 262
km dari Pontianak, ada losmen terapung, ."Balai Kambang"
namanya. Tarif semalam Rp 700 satu kamar.
Suasana keluarga rumah rakit atau lanting di Kabupaten Sambas
tidak jauh berbeda dengan orang di darat. Taufik, 40 tahun,
penghuni lanting di Sungai Sambas, banyak menerima tamu selama
lebaran baru lalu. Bermacam kue dipajang di meja ruang tamu,
menyambut tetangga yang meniti jembatan papan masuk ke rumahnya
untuk mengucap "maaf lahir batin." Hilir mudik tamu agaknya
menjadi pertanda kedudukan Taufik, sebagai orang dikenal dan
berada. Kecuali istri dan 8 anaknya berpakaian rapi, di rumah
terapung itu juga terlihat ada tv ukuran 20 inci, mesin jahit,
radio kaset merk Sharp dan speedboat Yamaha 25 PK menyandar di
samping rakitnya. Rumah ini telah mendapat aliran listrik dari
darat.
Hidupnya di atas air ternyata belum terlalu lama. "Bar dua
tahun tinggal di sini," katanya. Sebelumnya, ia tinggal di darat
tidak lebih 15 meter dari rakit yang ditempati sekarang. "Rumah
itu sudah hampir ambruk," katanya. "Tinggal di sini, biasa-biasa
saja. Seperti di rumah daratan sana," tambah Taufik. Yang sangat
meringankan keluarga besar yang berada karena memiliki kebun
kelapa di Desa Segarau, Sambas itu, ialah soal air. "Air sangat
gampang mendapatkannya," katanya.
Di Sanggau, ada rumah rakit dengan bentuk yang agak berbeda dari
umumnya. Yaitu sebuah tongkang (perahu besar) dari kayu dengan
dinding dan atap seperti rumah biasa, tapi dilengkapi mesin
disel untuk mendorongnya hilir mudik di Sungai Kapuas
menghubungkan Pontianak dan Sanggau dan kota-kota kecil di hulu
sungai itu. Namanya: bandung, rata-rata berukuran 8 X 25 meter.
Di dalam rumah itu terdapat kamar tidur, kamar tamu, dapur,
gudang, dan ruangan toko untuk menjajakan barang-barang
kebutuhan sehari-hari.
Perkampungan rumah-rumah rakit menjadi sasaran bandung ini. Pada
saat merapat, terjadi jual beli hasil hutan seperti rotan,
karet, kayu dan kebutuhan sehari-hari. Tentu saja rumah berjalan
ini diungani seorang tauke, tukang mesin dan pengemudi, ditambah
beberapa awak. Untuk hiburan, di dalamnya dipasang tv dan radio
kaset.
Beramal
Haji Walidat, 78 uhun, adalah salah satu contoh tauke yang
memiliki bandung. Orang kelahiran Pakistan ini ketika pertama
kali masuk Pontianak 1927, langsung membuka usaha dagang. Dari
hasil usahanya, ia bisa membeli sebuah bandung seharga Rp 5 juu
lima belas tahun lalu dan diberinya nama "Ikhlas". "Saya lebih
senang tinggal di bandung," katanya. Kecuali mendapat rezeki
dari rumah terapung itu, ia juga merasa sudah terbiasa hilir
mudik di atas sungai.
Dengan bandung itu pula ia banyak: beramal. Pelajar yang akan
mudik liburan, bisa menumpang gratis. Bahkan ia membiarkan imak
buahnya mengikar beberapa keranjang berisi ikan Jelawat (ikan
kelas satu di sana) yang mereka peroleh dengan jalan memancing
selama perjalanan. Sesampai kota tujuan, ikan yang masih hidup
dan segar itu dijual. Lumayan untuk tambahan gaji mereka.
Rumah mengapung yang dijadikan tempat usaha juga ada di Sungai
Musi, Palembang. Bedanya, rumah rakit di sini tidak berjalan
seperti bandung. "Pedagang ikan dari hulu, suka menambatkan
keranjangnya di sini sebelum dibawa ke pasar," kata Muhamad, 29
tahun, pemilik rumah rakit di Musi. Kalau habis musim panen, di
depan rumahnya bisa berderet tidak kurang dari 50 keranjang
berisi ikan yang masih hidup. Biaya tambat semacam itu dipungut
sekitar 10% dari harga ikan di pasaran.
Lain lagi Kecil Syahbudin, 50 tahun. Sejak berhenti sebagai
lurah di Kabupaten Ogan Komering ilir tiga tahun lalu, ia turun
ke sungai dan tinggal di rumah rakit. Bagian depan rumahnya ia
sulap menjadi toko mebel. Pojok kanan rumahnya dipakai berjualan
minyak solar untuk mesin perahu bermotor. Pembelinya adalah
pedagang yang hilir mudik memakai perahu motor di Sungai Musi
itu.
Dari bisnis di atas rumah rakitnya, ia merasa lebih tenang
dibanding sewaktu menjadi lurah. Kini ia tinggal menghidupi
istri dan seorang putri, karena lima anaknya yang lain telah
berkeluarga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini