KERETA api yang anda naiki sebentar lagi akan "made in Indonesia
" Sabtu lalu Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin meresmikan
berdirinya PT (Pesero) Inka dengan modal Rp 60 milyar. Pabrik
ini akan memproduksi peralatan kereta api, meski tahap pertama
baru berupa gerbong barang dan penumpang.
Pabrik itu bukan baru. Bangunannya yang terletak di belakang
stasiun kereta api Madiun (Jawa Timur) didirikan tahun 1884.
Dulunya berfungsi sebagai bengkel lok uap. Tapi lantaran PJKA
berangsur-angsur mengganti lok uap dengan diesel, bengkel yang
terletak di atas tanah 5 7 .000 m2 itu kian merana. Jumlah
karyawan yang semula 2.500 orang tinggal 644 orang. Dalang
tumbuh lebat di luar pabrik dan kesunyian menguasai ruangan
bagian dalamnya.
Masih puluhan lok uap yang nongkrong di bengkel itu tapi tak
dikutik-kutik lagi. Dan jadilah Balai Yasa nama bengkel itu --
semacam ruang tunggu bagi lok tua menanti keberangkatannya ke
tempat peristirahatan terakhir di Krakatau Steel. Tujuan akhir
itu memang sesuai dengan peraturan pemerintah: besi tua milik
perusahaan-perusahaan negara harus diserahkan ke pabrik
peleburan baja di Cilegon itu.
Sementara tidak ada pekerjaan, Balai Yasa mulai dicoba membuat
gerbong barang. Ternyata bisa. Bahkan dalam keadaan peralatannya
cukup, dia mampu membuat gerbong penumpang. Selama ini kedua
jenis gerbong itu dibeli dari Jerman Barat, Yugoslavia, Jepang
dan Kor-Sel.
Harga gerbong impor itu, sebagaimana biasa, sangat mahal. Satu
gerbong penumpang seperti dikatakan Dir-Ut PJKA Ir. Pantiarso
mencapai US$ 250.000 atau sekitar Rp 150 juta. "Setelah saya
hitung-hitung jumlah itu bisa untuk membiayai pembuatan tiga
gerbong di sini," ujar Ir. Sutiyanto, Dir-Ut PT Inka pada TEMPO.
Meski PT Inka terpisah dari PJKA tapi hubungannya masih dekat.
Selain PJKA punya modal di situ, perusahaan jawatan tersebut
menjadi konsumen satu-satunya dari PT Inka. Pantiarso
menjelaskan, order yang diberikan pada Inka tahap pertama ini
sebanyak 400 gerbong barang dan 44 gerbong penumpang. "Harganya
belum ditetapkan," ujar Pantiarso. "Karena belum berpengalaman
kami sendiri masih belum punya kalkulasi yang tepat," sambung
Sutianto.
Gerbong itu sebagian akan digunakan mengangkut kelapa sawit di
Sum-Ut, sebagian lagi buat angkutan batu bara di Sum-Bar. Sudah
direncanakan pula memproduksi Kereta Rel Di sel (KRD) sebanyak
106 buah. "90% bahan baku bisa diperoleh di dalam negeri,"
ujar Sutiyantu.
Sebagian alat Balai Yasa, seperti mesin las dan ketok masih
bisa digunakan. Tapi peralatan baru seharga Rp 18 milyar
segera datang dari Jepang.
Buruh Gembira
Para karyawan umumnya gembira mendengar bengkel itu berubah
jadi pabrik. Ada yang mengharapkan perbaikan nasib. Misalnya
Kasbun. Ayah dari delapan anak ini sudah 28 tahun bekerja di
situ dan sekarang masih golongan I/b dengan gaji kotor Rp
56.000 tiap bulan. Tapi ada juga yang merasa waswas setelah
pabrik dipermodern mereka akan tersingkir.
Kekhawatiran itu mungkin tak beralasan Karena PT Inka meskipun
akan memasukkan tenaga-tenaga ahli baru termasuk tenaga asing,
tak ada rencana mengurangi jumlah karyawan yang ada. Bahkan
setelah pabrik berjalan penuh dengan produksi 20 KRD dan 150
gerbong penumpang dan 300 gerbong, barang tiap tahun, tenaga.
nambahan masih diperlukan.
Perubahan bengkel besar jadi industri seperti Inka ini tampaknya
sudah jadi kebijaksanaan umum pemerintah. Tahun lalu PAL, dok
yang berfungsi mereparasi kapal-kapal Angkaran Laut di
Surabaya, juga diubah jadi industri perkapalan dengan Dr. B..J.
Habibie, Menteri Negara Ristek sebagai Dir-Ut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini