Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Kian Terpuruk

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rezim Orde Baru menggunakan cara-cara pengaturan negara yang aneh dan menyimpang tapi nyata. Aneh, karena tidak selaras dengan falsafah Nusantara sekaligus menyimpang, karena bertentangan dengan dasar negara RI. Dengan demikian, rezim dapat bertahan selama 32 tahun. Kapitalis semu. Dan semu-semu lainnya merajalela selama Soeharto berkuasa dengan tiga pilar utama: Golkar, ABRI, Birokrasi, dan pilar pendamping kekuasaan sosial politik yang nebeng ikut menikmati KKN sebagai pendukungnya.

Hal di atas bukan rahasia lagi. Namun yang menggelisahkan masyarakat ialah belum diakhirinya cara-cara aneh dan menyimpang gaya Orde Baru tersebut pada era reformasi. Sebagian besar akal busuk tersebut bersumber dari praktek penjajah Belanda dulu (dan sebagian lainnya adalah buah way of life Soeharto dan para pendukungnya). Sangat disesalkan, karena cara itu masih diandalkan untuk mengatasi krisis. Hasilnya sangat jelas, karena cara itu justru merupakan pemicu krisis. Lalu, bagaimana mungkin mempan menjadi senjata mengatasi krisis. Jadi, di atas kertas sudah dapat disimpulkan, hasil tumpul dan mandul.

Secara politik masih sering muncul provokasi, adu domba, pemecahbelahan kekuatan bangsa, tindak kekerasan, pembunuhan, dan kamuflase (melindungi kesalahan sendiri dengan menyoroti atau menimbulkan tragedi lain untuk mengalihkan perhatian masyarakat). Semua itu selalu terjadi sambung-menyambung. Masing-masing kekuatan politik, terutama yang berkuasa cenderung mengamankan pihaknya daripada menjunjung kepentingan nasional. Buktinya, melakukan Dialog Nasional pun enggan.

Pelaksanaan hukum masih diskriminasi sehingga kalangan pengusaha menyimpulkan belum ada kepastian hukum. Kondisi itu membuat investor asing dan pengusaha lokal merasa tidak tenteram dalam menjalankan bisnisnya. Kasus KKN pejabat negara mengambang, sementara kasus Prof Winters, Bangkalan, dan tuduhan makar, terlalu cepat diatasi. Tak disadari bahwa hal demikian merupakan diskriminasi institusi pemerintah yang terbaca dari awal oleh masyarakat luas.

Dengan kebijakan moneter yang dipilih untuk mengatasi krisis ekonomi terlalu banyak pihak yang dikorbankan, sedangkan manfaatnya masih berupa tanda tanya besar. Kini, karena pengaruh eksternal, rupiah menguat, tapi efeknya terhadap harga, baik sembako (beras, gula, migor, telur, susu, sayuran, dsb) suku cadang kendaraan bermotor, peralatan industri, obat dan jarum suntik, listrik dan pulsa telepon, maupun iuran PDAM, masih isapan jempol.

Pemerintah seolah membiarkan setiap pihak (PLN, Telkom, PDAM, Bank, Lembaga Sewa Beli) menjalankan solusi asal untung dan aman bagi dirinya, sedangkan akibatnya terhadap masyarakat umum yang menjadi korban, seolah merupakan akibat normal yang harus terjadi. Yang mencolok, bunga bank dari 52 persen hingga 100 persen diberikan oleh bank-bank dan direstui BI (tidak dilarang). Padahal itu sangat menjerat leher ratusan ribu nasabah. Lihat, kini ribuan aset pengusaha dari hari ke hari dilelang dan itu akan terus bertambah. Terlanda krisis, logikanya kebijakan pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, dan perbankan harus dapat meringankan, bukan malah mencekik dan mematikan.

Bunga bank masih terlalu tinggi untuk dapat memulihkan ekonomi yang sekarat. Kontrol devisa yang efektif tidak dipilih, sedangkan pengawasan devisa (kontrol semu) belum juga dijalankan. Kredit lunak untuk menggulirkan kembali ekonomi rakyat, menderu-deru beritanya di koran. Namun, fakta di lapangan banyak pengusaha kecil masih kebingungan, kecewa, dan kelimpungan, tidak tahu ke mana dan bagaimana dapat memperoleh kredit murah tersebut. Kalau ada yang tengah diproses atau sudah dapat kredit kecil, itu baru sebagian kecil dari sekian banyak pelaku bisnis ekonomi rakyat (bukan anggota koperasi) yang membutuhkan dana antara Rp 10 juta dan Rp 40 juta. Input bagi Menteri Koperasi Adi Sasono, agar kebijakan utamanya ini tidak terjegal di tingkat aparat pelaksana.

Program JPS sebagai program sosial implementasinya sangat lamban, walaupun sudah tersedia dana sekitar 30 triliunan rupiah. Mengapa, karena secara umum Pemerintah RI memandang krisis sebagai musibah (kondisi darurat) sehingga harus bekerja dengan tangkas, cepat, dan tuntas. Ringkasnya, masih bergaya kerja dengan manajemen reguler bukan manajemen krisis. Menunggu JPS, keburu mati.

Dengan demikian, dalam rangka mengatasi krisis total yang bersentral krisis moneter, bukan sekadar memilih kebijakan ekonomi makro dan moneter, tapi tak kalah penting: keamanan nasional, kepastian hukum, dan stabilitas kurs rupiah daripada sekadar menguatnya rupiah dan bunga tinggi. Inilah pendekatan multidimensi yang tidak dijalankan kabinet, baik sewaktu Soeharto maupun sejak Habibie memegang kendali pemerintahan. Mustahil krisis multidimensi dapat diatasi dengan kebijakan satu dimensi. Bunga super tinggi, uang sangat ketat, devisa amat bebas, dan pengencangan kran kredit (tempo hari) justru menjadi bumerang sebagai pengganjal konkret proses pemulihan ekonomi Indonesia, termasuk ekonomi rakyat.

Ir. SUNARTO SUKMA ALAM
Ketua Malioboro Surabaya
Jalan Karah Agung 28
Surabaya 60232

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus