GERBANG Desa Pamenang, 15 km Timur Laut Kediri, tampak
dihias janur kuning dan umbul-umbul. Hampir setiap rumah juga
berhiaskan janur kuning dan--tak lupa--berbendera merah putih.
Gladhi desa, gotong royong bersih desa, telah dilakukan beberapa
hari sebelumnya. "Karena besok akan ada tamu dari keluarga
kraton Yogyakarta," kata Suroharjo, kepala desa Pamenang, yang
telah memangku jabatannya selama 30 tahun. Dan keesokan harinya,
9 November, adalah bertepatan dengan 1 Suro 1913, tahun baru
Jawa berdasarkan kalender Caka.
Lokamuksa
Banyak orang percaya di Desa Pamenang, ratusan tahun yang
lalu, Raja Jayabaya moksha--sirna baik raga maupun sukma, pergi
ke alam abadi. Mulanya, di salah satu.sudut desa tersebut ada
sebuah pohon kosambi yang gagah dan besar. Di bawah pohon
tersebut ada onggokan batu yang tampaknya seperti batu nisan tak
beraturan. Onggokan batu itu kini tidak tampak lagi. Sudah
berganti dengan sebuah bangunan mewah, dilindungi cungkup
beratap sirap, ubin licin mengkilat dan terletak di atas tanah
yang tinggi.
Sekeliling pendapa dijaga tembok beton. Di salah satu
temboknya ada tertulis: "Lokamuksa Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo.
Dipugar 22 - 2-1975. Diresmikan 17 - 4 - 1976. Dipersembahkan
untuk Nusa Bangsa." Di bawahnya terpahat siapa pemugarnya:
"Keluarga Besar Hondodento--Yogyakarta."
Dan untuk keluarga Hondodento itulah, hiasan janur kuning,
umbul-umbul dan sang Saka merah putih di Desa Pamenang.
"Keluarga kamilah, rupanya yang mendapat izin Prabu Jayabaya
untuk memugar petilasannya," kata Shaidi Soerjoamidjojo (57
tahun). Shaidi adalah anak ketiga Hondodento V. Lahir di tahun
1889, Hondodento V menjabat "panitiyasa" (semacam menteri
pekerjaan umum kraton), semasa mudanya. Nama tuanya Raden
Ngabehi Boedjoresoberdopo dan kini menikmati uang pensiun dari
kraton sebesar Rp 900.
Shaidi menceriterakan bagaimana suasana mencekam ketika
upacara pemugaran dimulai: Alam hening sekali, angin tidak
mendesir, yang ada hanya suara orang menangis lirih sekali, dan
lenguh orang seperti m>nahan beban berat. Yang seakan menahan
beban berat ialah Shaidi. Sedangkarl yang menangis sesenggukan
itu jurukunci Amat Redjo dan Kepala Desa,Soerohardjo. "Waktu itu
adalah cobaanl untuk kami," ceritera Shaidi lagi. Sebab kalau
saja Shaidi jatuh, berarti pemugaran tidak diijinkan.
Beberapa waktu sebelumnya, banyak pihak yang berniat untuk
memugar petilasan Jayabaya ini. Baik dari pihak Pemerintah
Daerah maupun dari perseorangan. Tetapi macam-macam halangan
selalu saja menghadang.
Alias Aleksander
Keluarga Hondodento memperoleh mandat untuk memugar
petilasan Jayabaya dari seorang "konsultan kebatinan" yang
bernama Pak Plered. Sejak 1972, keluarga tersebut memang sudah
sering mengunjungi petilasan Jayabaya. Karena tempat ini telantar
sekali, Hondodento V berniat akan memugarnya. "Ayah merasa
petilasan yang menyedihkan itu tidak sepadan dengan keluhuran
dan kebesaran Sang Prabu Sri Aji Jayabaya," ujar Shaidi.
Mereka kemudian menghadap Pak Plered (78 tahun) yang tinggal
di Kota Gede, Yogya, dan mempunyai keahlian berhubungan dengan
alam gaib dan roh orang-orang yang sudah meninggal. Namanya yang
lain hebat: Ki Wirjodikarso alias Abdullah alias Aleksander
alias Tuwan Besar. Nama yang terakhir ini singkatan dari "metu
aquan sasi Besar" atau lahir di siang hari di bulan Besar.
Orang tua itulah yang berhak mengatakan "setuju" terhadap
setiap rencana pemugaran. "Sebab beliaulah yang tahu, apakah
bentuk bangunan cocok dengan kehendak Prabu Jayabaya," kata
Shaidi. Dan Pak Plered bukannya bekerja seorang diri. "Sebab
beliau juga berkomultasi dengan Nyai Roro Kidul," kata Indarto,
Sekretaris Yayasan Hondodento "Dari hasil konsultasi segitiga
(Plered Jayabaya, Nyai Roro Kidul) inilah kami bangun kembali
Petilasan Lokamuksa," lanjut Indarto. Misalnya, harus mengambil
batu seberat 3 ton wilayah gunung Merapi.
Biaya pemugaran Rp 24 juta. "Kami patungan dan ada beberapa
simpatisan yang juga ikut menyumbang," ujar Shaidi. Di samping
herwujud uang, banyak juga pihak yang menyumbang bahan bangunan.
Biayanya besar, karena lokasi seluas 170 ru, (1 ru Ik. 15 m2)
dilengkapi dengan pendapa di bagian luarnya, altar yang
mempunyai tangga marmer untuk menuju tempat yang dianggap paling
keramat dan sering untuk tempat bersemedi. Dan di tempat yang
paling tinggl dan dianggap pusat keramat itulah terletak "selo
gilang" atau batu yang beratnya 3 ton yang diangkat dari Sungai
Krasak, Magelang.
Raja Jayabaya adalah raja ketiga dari kerajaan Kediri, awal
abad ke-11 M yang banyak menghasilkan karya-karya sastra.
Diperkirakan Jayabaya memerintah selama 30 tahun. Nama dan
gelarnya yang resmi cukup panjang: Sri Maharaja Cri
Dharmmeshwara Madhusudanawa taranindita Suhrtingha Parakrama
Digjayotunggadewanama Jayabhayalancana. Jayabaya banyak disebut
sebagai penjelmaan Dewa Wisnu di dunia--antara lain disebutkan
dalam prasasti Talan.
Bagi orang Jawa, Jayabaya terkenal ramalannya, yaitu akan
munculnya Ratu Adil. Ramalan-ramalannya kini banyak dicetak
dalam buku saku dan tetap laris dijual di kakilima.
Petilasannya banyak dikunjungi orang. Jurukunci Amat Redjo,
yang usianya telah 85 tahun dan menunggui makam selama 3 5 tahun
berceritera, Bung Karno dulu juga pernah beberapa kali
berziarah. Sekali, "secara tiba-tiba ada wesi kuning tergeletak
di samping Bung Karno," ujar Amat Redjo. Tambah Amat Redjo
"Karena itu Bung Karno 'kan tidak mempan peluru. Coba, berapa
kali sudah beliau dicoba dibunuh?" Penggede lain, menurut Amat
Redjo, juga berziarah ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini