"NAMA saya Borwa-San" Demikian Seiichi Okawa, koresponden TEMPO di Tokyo, kepada seorang hostes di sebuah pub Jepang, di Jalan Cikini, Jakarta, beberapa bulan lalu. Pemuda Jepang yang termasuk jangkung itu tidak berolok-olok. Nama Borwa, yang berarti Sungai Baliem atau Sungai Baru, ia per oleh dari kepala Suk Momina, Irian Jaya, lewat suatu upacara adat Kepala suku itu mengangkatnya sebagai anak. Setelah lulus sebagai sarjana ekonomi dari Universitas Waseda, 1976 Okawa bekerja sebagai direktur programa disebuah perusahaan tivi swasta Jepang. Tugasnya yang antara lain mem buat film dokumenter telah membawanya ke pedalaman Irian Jaya yang pernah dikunjunginya sewaktu ia menjadi mahasiswa. Ia berhasil merekam kehidupan orang Irian, terutama dari suku Momina. Film dokumenter tentang Irian Jaya itu, yang pernah diputar di kantor TEMPO empat tahun lalu, baru-baru ini terpilih pula untuk dipertontonkan di Taman Impian Jaya Ancol, dalam acara Pameran Irian Jaya yang di selenggarakan PWI Pusat bersama Pemda Irian Jaya. Seiichi sendiri sudah lama tidak jadi orang TV. Ia keluar pada 1981 dan mencoba kariernya sebagai pengusaha. Di kantornya yang kecil dengan delapan pegawai, di Tokyo, selain melakukan usaha imporekspor, ia juga menulis untuk TEMPO. Dan ia kini sepenuhnya berada dalam profesi wartawan, dan meninggalkan dunia bisnis. Tulisan pertamanya yang panjang, dalam bahasa Indonesia, tentang kehidupan malam Jepang - "industri seks" - rubrik Selingan 27 Maret 1982, dikerjakan dengan editing Redaktur Pelaksana Syu'bah Asa. Di rubrik yang sama pula ia menurunkan tulisan tentang perdagangan kupu-kupu di Jepang yang berasal dan Irian Jaya, dan tentang Pulau Okinawa. Lalu tentang Gunung fuji dan dalam nomor ini ia menulis sesuatu tentang khazanah budaya bangsanya sendiri: ritus harakiri alias "seni" bunuh diri, sambil melakukan riset kepustakaan dan turun ke lapangan untuk berbagai wawancara dan kunjungan. Dalam usianya yang masih muda, 32, Seiichi Okawa agaknya termasuk wartawan TEMPO yang paling banyak keliling dunia: tak kurang dari 64 negara telah dikunjunginya selama setahun, semasih menjadi mahasiswa, atas biaya sendiri lewat kerja apa saja: jadi guru sekolah menengah, salesman, tukang batu..."Saya pernah memasang kloset di beberapa kamar hotel di Tokyo " katanya. Periang, dan suka lelucon, laki-laki yang menikah dalam usia muda, 24, dengan dua anak, mengaku betah bekerja di TEMPO. "Tak ada diskriminasi antara pria dan wanita di sini," katanya antara lain, seperti dituliskan di majalah antarkaryawan Grafiti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini