Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Budi Nurani

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arswendo Atmowiloto Mantan Pemimpin Redaksi Monitor KETIKA Harun Alrasid mengundurkan diri dari jabatannya di Komisi Pemilihan Umum karena merasa mengecewakan masyarakat, ia memberikan banyak dari kekurangannya. Ia memberi nilai plus bagi era reformasi. Zaman perubahan menjadikan segalanya lebih baik. Tak jauh berbeda dengan keadaan seorang gadis yang dipaksa merelakan giginya dipopor dan wajahnya terkena gebukan aparat. Sama dengan mahasiswa yang tertembak di kampusnya, sama dengan puluhan ribu pengungsi Aceh yang teraniaya dan terteror kotor di tanah tumpah kelahirannya. Sama dengan mereka yang terbantai di Priok atau masih menyimpan peluru di tubuhnya. Sama dengan nasib buruh Marsinah dan wartawan Udin. Sama dengan rakyat jelata yang justru dalam kekurangannya mampu memberikan kelebihan yang tak dimiliki mereka yang lebih dalam kekuasaan, harta, dan atau keduanya. Sama dengan Andi Ghalib ketika ia memandangi anak, menantu, cucu, dan kemudian memilih menceritakan semuanya bahwa dana untuk gulat itu bukan dia yang mencari. Tapi memang ada rekening ini dan itu; dari ini-itu; dengan siapa rekening itu dibagi; dan juga caranya. Biarlah yang disebutkan itu membantah atau mengikuti memberikan nilai lebih, nilai plus bagi reformasi. Semua ini bukan untuk menjadikan diri mereka pahlawan, sebagaimana korban-korban selama ini. Bukan untuk membersihkan nama, bukan untuk mengembat pelaku lain, bukan juga untuk membalas dendam, melainkan memang untuk mengatakan yang sebenarnya. Secara sederhana. Dalam sesungguhnya budi nurani. Akal yang diterangi cahaya batin juga sangat sederhana. Dalam sedetik seketika, icinen sansen, kita bisa mendengarkan secara jernih. Pada titik itulah akan disadari bahwa keselamatan yang diperoleh bukan karena jabatan, bukan karena harta, bukan karena kongkalikong, melainkan karena mengatakan apa yang dilakukan dan diketahui. Keselamatan tidak datang dari perlindungan sesama jenderal, tidak juga dari presiden, melainkan dari keberanian pribadi memikul tanggung jawab dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Dengan demikian, anaknya tak usah ikut menderita serta menantu tak usah ikut membela diri. Dan kelak, ketika cucunya dewasa, ia bisa bercerita tentang kakek yang perkasa, karena mampu bangkit dari kelumpuhan, kakek yang melek dari kebutaan tentang jalan terang. Sebagaimana dulu kakek dan nenek, kedua orang tua Andi Ghalib pun tak ingin mewariskan aib bagi anak cucunya. Ketika seorang penjual Teh Botol merelakan dagangannya untuk mahasiswa yang berdemonstrasi, sebenarnya ia melakukan apa yang disuarakan budi nuraninya. Bukan berhitung untung-rugi untuk dirinya. Ketika seorang mantan konglomerat menceritakan liku-liku mendapatkan kredit, ketika penembak mahasiswa Trisakti membeberkan kisahnya, ketika para penggali kubur bercerita, ketika itulah sebenarnya budi nurani bersuara. Bukan suatu kebetulan suasana itu diembuskan oleh angin reformasi. Itulah budi nurani untuk menerima kenyataan bahwa dalam suatu kurun waktu di Tanah Air yang dicintai ini pernah terjadi sesuatu yang demikian durhakanya, yang meradiasikan nilai-nilai kemanusiaan. Dan itu masih berlangsung. Hal itu bisa diperbarui dan dijadikan untuk lebih menenteramkan, tanpa banyak korban, darah, dan kebencian yang akan melahirkan dendam. Budi nurani ada dalam diri kita masing-masing dan bisa berproses dengan sendirinya, bila kita mau mendengarkan. Budi nurani adalah kejujuran batin yang diutarakan secara sederhana, bukan membungkam dengan dalih sahih, pembenaran rasionalitas, ayat pelindung, kepalsuan korps, basa-basi politik, dan strategi untuk menyelamatkan diri. Ketika kita mampu memperdengarkan budi nurani, pastilah ada kelegaan dan ketulusan yang mampu mengurangi beban kepalsuan yang ditutup rapat. Karena kebusukan sedang mengelopak, alangkah pedih jika pengulitan itu dilakukan orang lain. Ketika kita masih memiliki rasa malu terhadap apa yang bisa dilakukan oleh mereka yang berkekurangan, kita tak malu untuk mengatakan dan melakukan sesuatu yang bisa membuat negara dan anak cucu kita lebih terhormat. Inikah saatnya? Ataukah kita harus menunggu sampai ketika angin reformasi menjadi badai?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus