Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Larangan Gandrung Tari Kejang

14 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAGAT hiburan dangdut kerap didera kontroversi aneka tari atau goyang. Inul Daratista mengenalkan goyang ngebor, yang menimbulkan polemik dengan Rhoma Irama. Ada pula goyang patah-patah Anisa Bahar. Tak kalah menghebohkan adalah tarian gergaji yang dimainkan Dewi Perssik. Mereka pernah kena cekal pentas di beberapa wilayah karena dianggap melakukan pornoaksi.

Pada pertengahan 1980-an, negeri kita juga pernah dihebohkan oleh tari baru dari negeri seberang. Bahkan breakdance, gerak ritmis yang disertai musik hip-hop itu, menjadi salah satu topik penting dalam musyawarah pimpinan daerah dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga kementerian. Majalah Tempo menuliskan soal tarian yang di sejumlah daerah dilarang ini sebagai laporan utama edisi 5 Januari 1985.

Betapa ketatnya pemerintah mengamati para aktivis breakdance kala itu bisa dilihat dari satu kisah berikut. Sebuah mobil Kijang berhenti di silang Monas pada Minggu malam, di ujung 1984. Seorang anak usia murid SMP turun dari mobil, menggelar kardus di bawah salah satu lampu jalan. Dari dalam mobil musik panas menderu. Beberapa orang mulai merubung. Tapi, sebelum dia melakukan aksinya, terdengar suara mobil lain dengan sederet lampu merah pada kapnya.

Polisi turun, mendekat. Si anak berdiri di samping kardus. Musik dari dalam mobil tiba-tiba mati.

"Mau menggeliat-geliat, ya?" tanya polisi berpangkat mayor itu. "Habis, saya enggak tahan, nih, Pak, bila dengerin musik itu. Rasanya pingin gerak," jawabnya polos. "Tapi jangan di pinggir jalan. Apa kamu mau ikut saya ke kantor polisi?" Yang ditanya menggelengkan kepala. "Atau kamu ikut saya keliling kota? Biar tahu bagaimana capeknya mengurus anak-anak seperti kamu ini."

Gandrung tari kejang, demikian sebagian masyarakat menamainya, bukan hanya terlihat di jalan-jalan. Jenis tari ini malah naik festival seperti di Bandung pada 22 Desember 1984 dan di Jakarta ketika perayaan tahun baru. Kegiatan serupa sudah dilakukan di Surabaya sebelum ada surat edaran musyawarah pimpinan daerah setempat yang melarang breakdance. Padahal Sardono W. Kusumo, penari dan koreografer, sudah merencanakan festival besar break­dance seluruh Indonesia.

Menanggapi kontroversi ini, Gubernur DKI Jakarta Suprapto menyatakan breakdance sebenarnya hal baru dan masyarakat ingin melihat. Tarian itu tak perlu dikhawatirkan. Malah membuat sehat, menggerakkan seluruh tubuh walau agak bising. Yang jadi masalah, kata Suparpto, penontonnya kerap memenuhi jalan, mengganggu lalu lintas. Ini seperti peristiwa di Pasar Seni Ancol ketika festival breakdance jadi ribut. Ia lalu memerintahkan aparatnya mencegah ekses itu terjadi, termasuk melarang pemakaian minuman keras dan barang terlarang lain.

"Tapi para breaker itu tidak mungkin bisa melakukannya dalam keadaan teler," kata Loes Coldenhoff, Kepala Kantor Wilayah Departemen P & K DKI Jakarta. Suatu hari Loes mengundang beberapa breaker, menyuruh mereka beraksi. Kaki mereka terloncat-loncat cepat, dan terlipat-lipat bagai tak bertulang, mengikuti irama musik. Mereka tidak mendemonstrasikan gerak berputar dengan poros ubun-ubun. Begitu saja Loes sudah ngeri.

Loes menarik lacinya, dan mengeluarkan sebuah buku tentang breakdance dalam bahasa Indonesia. Sebuah petunjuk lengkap teknik break, top spin, dan sebagainya itu. "Ini kan lucu," kata Loes sambil menunjuk buku. "Breakdance mau dilarang, tapi bukunya diperjualbelikan secara bebas." Dia makin terperanjat ketika bertanya dari mana anak-anak mengenal breakdance. "Lho, kan disiar­in TVRI," jawab mereka serempak.

Menurut Bondan Winarno, yang menulis kolom di edisi tersebut, sesudah "kumpul kebo", breakdance adalah kata ajaib yang bisa dipakai orang dewasa untuk mengejek kaum remaja. Orang dewasa pula yang memberi beberapa nama baru, semuanya berkonotasi negatif: tari kejang, tari robot, bahkan dansa kesurupan. Istilah yang bisa memberi beban psikologis. Padahal orang dewasa yang membuat cap itu mungkin sekali dulu jago gengsot dengan irama twist, yang saat itu dicap sebagai jingkrak-jingkrak dekaden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus