Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYLVIA Sholehah mungkin bukan cuma sekrup dalam pusaran skandal Hambalang yang melibatkan sejumlah nama besar. Perempuan yang biasa disapa Ibu Pur ini mendadak jadi pusat perhatian karena baru saja memberi kesaksian di Komisi Pemberantasan Korupsi ihwal patgulipat proyek yang dianggarkan Rp 2,57 triliun itu. Ia juga diduga menerima "komisi" Rp 2,5 miliar dari pemenang tender, yakni kongsi kerja sama operasi PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya (KSO Adhi-Wika).
Nama Ibu Pur juga ramai digunjingkan lantaran figur penting di belakangnya. Suaminya, Komisaris Besar Polisi (pensiunan) Purnomo D. Rahardjo, kebetulan rekan seangkatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika kuliah di Akademi Angkatan Bersenjata pada 1973. Sylvia juga duduk di barisan depan sejajar dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam sejumlah event penting. Singkat kata, dia, juga sang suami, disebut-sebut sebagai "orang dekat" atau "kerabat" Cikeas.
Belum ada bantahan resmi Cikeas tentang kedekatan itu. Orang pun lantas ramai berspekulasi ihwal sosok istimewa ini. Faktanya, dia memang sakti mengegolkan proyek kakap yang semula berjalan bak siput ini. Tapi mengaitkan peran Ibu Pur dengan pusat kekuasaan masih perlu pembuktian. Presiden Yudhoyono membantah tuduhan bahwa istrinya mengatur skenario Hambalang. Edhie Baskoro Yudhoyono akhir Maret lalu juga melaporkan Yulianis, bekas sekretaris Nazaruddin, yang menudingnya menerima US$ 200 ribu dari proyek Hambalang.
Skandal Hambalang memang sangat rumit. Berdasarkan penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, ada sejumlah tahapan yang semuanya dinilai melanggar hukum. Dari pemberian izin, penerbitan sertifikat, proses persetujuan kontrak proyek tahun jamak atau multiyear, penentuan rekanan, pencairan uang muka, hingga pelaksanaan pembangunan boleh dikata mengandung kejanggalan. Penyimpangan muncul lantaran kongkalikong para pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Keuangan dengan kontraktor kakap perusahaan milik negara dan tentu saja sejumlah petinggi Partai Demokrat.
Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, menuding proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional di Sentul, Bogor, itu tak lepas dari ulah tangan-tangan kotor. Proyek sengaja diatur agar dimenangi dua perusahaan milik negara, PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya. Pengaturan ini disebut-sebut sebagai hasil saweran kedua korporasi tadi senilai Rp 50 miliar-pada kesempatan lain Nazar menyebut Rp 100 miliar. Untuk apa? Mengusung politikus Anas Urbaningrum meraih kursi ketua umum dalam kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010.
Membongkar aliran dana yang ditebar dalam kongres Partai Demokrat tentu bukan perkara mudah, walau ceritanya ramai terdengar. Duit berkarton-karton diangkut ke Bandung dengan sejumlah mobil. Uang itu diduga hasil menggangsir proyek Hambalang, dengan modus menggalang setoran perusahaan pemenang "tender-tenderan". Kalau bau busuk ini terbongkar, niscaya Anas bakal tertimpa sangkaan baru selain gratifikasi mobil Harrier pemberian Nazar seharga Rp 670 juta.
Selain Anas, peran para aktor baru kudu ditelisik. Ada Lisa Lukitawati, utusan dari kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, yang mengajak Ibu Pur dan dua rekannya, Widodo Wisnu Sayoko dan Arif "Gundul", berunding untuk memuluskan proyek ini sejak Juni 2010. Berkat lobi mereka, proses administrasi dan pencairan proyek akhirnya cespleng. Permohonan Sekretaris Kementerian Olahraga Wafid Muharam dikabulkan Direktur Jenderal Anggaran Anny Ratnawati. Kontrak pun diteken Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Olahraga Deddy Kusdinar, yang kini menjadi tersangka, dan KSO Adhi-Wika.
Komisi antirasuah tentu harus intens menyidik pelbagai kejanggalan ini. Ada penggelembungan proyek, juga suap. Aneh rasanya jika permohonan dispensasi waktu untuk merevisi perubahan volume kegiatan, yang sudah melewati tenggat, ujung-ujungnya disetujui Dirjen Anny. Perlu diungkap pula bagaimana kisah golnya proyek raksasa ini tanpa tanda tangan Menteri Keuangan-yang kala itu dijabat Agus Martowardojo. KPK seharusnya bisa mengurai benang kusut ini. Termasuk adanya dugaan intervensi kekuatan "super" yang mengupayakan pencairan dana proyek itu.
Misteri proyek yang merugikan keuangan negara Rp 243,6 miliar itu harus dibongkar habis. Tak perlu ragu menguak siapa sesungguhnya Ibu Pur, meski digosipkan punya hubungan dekat dengan Cikeas. Kejelasan tentang tokoh baru ini akan meredakan banyak spekulasi dan syak wasangka.
Pengungkapan kasus ini tak sekadar membutuhkan usaha keras, tapi juga keberanian. Jika bukti atas sejumlah aktor baru tadi cukup memadai, komisi antikorupsi tak perlu ragu bertindak. Skandal Hambalang merupakan ujian atas kesungguhan memberantas korupsi di negeri ini.
berita terkait di halaman 34
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo