Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hukum tidak boleh memakai perasaan, tapi memakai logika. Dalam kasus Brigadir Jenderal Purnawirawan Heru Sukrisno, logika itu hilang. Pekan lalu, ia dihukum oleh pengadilan militer karena lupa mengembalikan dokumen audit pembelian pesawat Fokker 50. Tapi dugaan korupsi dalam pembelian pesawat tersebut, yang diungkap Heru dalam auditnya, justru tak disentuh hukum.
Selama 2000-2006, Heru bertugas sebagai inspektur logistik dan material pada Inspektorat Jenderal Markas Besar TNI Angkatan Darat. Salah satu yang diaudit adalah pembelian pesawat Fokker 50. Audit Heru menemukan pembelian pesawat pada 2003 itu fiktif. Angkatan Darat mentransfer uang Rp 17,8 miliar ke PT Abadi Sentosa Perkasa, yang katanya adalah pemilik pesawat. Namun pesawat itu tidak pernah menjadi milik TNI Angkatan Darat, tapi atas nama PT Transwisata Prima Aviation.
Siapa pun yang membaca audit Heru pasti tahu ada yang tidak beres dalam pembelian itu. Anehnya, aparatur hukum di tubuh militer tidak menindaklanjuti hasil audit itu. Mereka justru sibuk mencari-cari kesalahan Heru, yakni membocorkan sebuah dokumen tentang dugaan korupsi lain di tubuh militer. Dalam auditnya, Heru menemukan indikasi Wakil Asisten Logistik Mayor Jenderal Koesmayadi memesan senjata lewat jalur tak resmi. Hasil audit itu sampai ke anggota DPR, Ade Daud Nasution, dan meledak di tengah publik. Pembocoran dokumen senjata tidak terbukti, tapi tudingan baru diberikan: Heru lupa mengembalikan dokumen audit pembelian pesawat.
Penegak hukum militer mencari-cari kesalahan Heru, tapi melupakan kasus yang telah diungkap Heru. Seharusnya hukum melindungi orang yang mengungkap adanya dugaan kejahatan dalam organisasinya. Jangankan inspektur yang memang diberi tugas mengaudit, pelaku kriminal yang mengakui kesalahannya dan mengungkap kejahatan rekan-rekannya pun bisa mendapat keringanan hukuman. Apalagi inspektur yang hanya lupa mengembalikan dokumen yang dipinjamnya.
Sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi telah memiliki whistle-blower's system, yang melindungi orang-orang yang melaporkan dugaan korupsi di organisasi tempat dia bekerja. Tapi kasus Heru tidak bisa ditangani oleh KPK. Kasus ini terjadi saat dia masih aktif sebagai prajurit TNI. Sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Heru harus diadili di pengadilan militer.
Untuk menangani kasus yang berkaitan dengan kemiliteran, pengadilan militer memang tepat. Tapi, untuk kasus pidana biasa, apalagi korupsi, pengadilan militer memiliki banyak kelemahan. Pengadilan ini tidak memiliki sistem whistle-blower, tidak didukung penyidik yang berpengalaman di bidang korupsi, tidak punya sistem penyadapan secanggih KPK, dan yang terpenting, independensi mereka diragukan.
Bagaimanapun, ada bias saat mengusut kasus yang melibatkan orang yang berpangkat lebih tinggi. Kesan ada upaya untuk melupakan kasus besar yang dilakukan oleh mereka yang berpangkat lebih tinggi kuat tercium dalam kasus Brigjen Heru.
Sudah seharusnya ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Peradilan Militer itu direvisi. Anggota militer hanya diadili di pengadilan militer untuk kasus yang berkaitan langsung dengan tugas kemiliteran. Sedangkan untuk kasus pidana, termasuk korupsi, mereka dihadapkan ke pengadilan umum. Usul untuk revisi ini sudah pernah diajukan pemerintah pada 2005-2006, tapi dihentikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
berita terkait di halaman 40
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo