Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Adik saya bolak-balik

Heriansyah yasadipura menuturkan pengalaman adik perempuannya yang keluar masuk rumah sakit jiwa gara-gara menjadi anggota nichiren syosyu indonesia (nsi) mulai di jakarta sampai di medan.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah ajaran Nichiren Syosyu Indonesia (NSI) jadi pembicaraan ramai kaum Budhis Indonesia, akibat fatwa DPP Walubi, baru-baru ini. Saya ingin memberikan tanggapan berdasarkan pengalaman keluarga saya, atas masaiah ini, agar dapat dijadikan bahan pertimbangan lebih lanjut oleh masyarakat umumnya, Departemen Agama, Dirjen Bimas Hindu dan Budha, Bapak Drs. I Gusti Agung Gde Putra, khususnya. Saya mempunyai seorang adik perempuan telah dewasa. Karena patah hati dalam percintaan, suatu hari dia dibawa seorang perempuan berumur sekitar 50 tahun menghadiri pertemuan Nichiren Syosyu Indonesia (NSI) Cabang Jakarta Kota. Tak disangkasangka, ajakan nenek-nenek itu berkelanjutan. Sehingga, adik perempuan saya itu menjadi anggota NSI. Pada mulanya, tak terjadi apa-apa pada diri adik saya. Namun, lama kelamaan ajaran NSI ini "masuk" dalam keyakinan dirinya. Sejak itu, setiap hari, ucapan-ucapannya selalu ngawur. NSI katanya dapat berbuat segalanya untuk kesejahteraan kebahagiaan, dan kealiman bagi setiap anggotanya. Itu disertai contoh peristiwa bahwa Bapak S., yang semula keadaannya sengsara dan menderita kanker yang parah, kini menjadi milyuner dan sembuh dari penyakit pembawa maut itu karena melakukan sembahyangan Gohonzon. Suatu hari, adik perempuan saya mengamuk, karena dilarang pergi mengikuti pertemuan NSI itu. Sebab, kami sekeluarga sangat terkejut oleh peri laku adik perempuan itu. Kami membawa dia ke dokter. Ternyata, saat itu juga, dibuatkan surat pengantar bahwa adik saya itu harus opname di rumah sakit jiwa Grogol . Setelah berobat hampir dua bulan, adik saya boleh keluar dari rumah sakit itu. Selang beberapa hari kemudian, datanglah teman-temannya, para anggota NSI. Entah apa yang mereka sampaikan, ternyata adik saya melarikan diri dari rumah. Ia tinggal di rumah seorang anggota NSI, seorang dokter gigi, di Jalan K.H. Mansyur, Jakarta. Beberapa minggu kemudian adik saya harus opname kembali ke rumah sakit jiwa itu. Pengobatan kedua kali ini memakan waktu tiga bulan. Karena tim dokter ahli jiwa dan saraf RS itu mengetahui bahwa adik saya itu menderih setelah bergaul dengan para anggota NSI, keluarga saya diminta berusaha agar adik saya menjauhi pergaulan dengan anggota-anggota NSI demi kesembuhannya. Tak kami sangka, sekeluar dia dari RS, secara sembunyi-sembunyi para anggota NSI itu bergantian selalu menghubungi adik saya. Tak lama kemudian adik saya kembali diopname- kali ini di RS Husada Bagian Penyakit Jiwa & Saraf. Juga selama tiga bulan. Para dokter menganjurkan agar adik saya dibawa keluar Jakarta. Demi masa depannya, saya membawa adik saya ke Medan, dengan harapan saya dapat mengawasi dia dan menjauhkan dia dari kawan-kawan NSI-nya. Selama beberapa bulan dia tinggal di Medan, dia kelihatan baik dan normal. Namun, suatu saat, dia kembali berjumpa dengan seoran gadis tua anggota NSI Cabang Medan. Secara sembunyi-sembunyi, adik saya mengikuti pertemuan sembahyangan Gohonzon di Jalan Madong Lubis, Medan. Akibatnya selama setahun di Kota Medan, adik saya telah dua kali opname di RS jiwa, Jalan H.O.S. Cokroaminoto Medan dan dua kali di RS jiwa Tuntungan, Medan. Kesimpulan para ahli medis di Jakarta dan Medan menyatakan, penyakit adik saya akan sembuh bila tidak terbayang ajaran Gohonzon itu. Sedangkan obat sekadar membantu memberikan ketenangan pikiran belaka (narkose). Semua itu, bagi saya, selain menghabiskan uan cukup banyak, juga menimbulkan gejolak, baik di dalam rumah tangBa saya sendiri maupun di lingkungan tempat saya tinggal, karena ulah adik saya dan para anggota NSI itu. Setelah menahan sabar sekian lama, saya akhirnya berkesimpulan bahwa ajaran Gohonzon sesungguhnya menyesatkan orang. Dan, akibat paling buruk bagi masyarakat, para anggota NSI itu bercerita dan berupaya mempengaruhi orang lain agar mengikuti ajaran Gohonzon itu. Di samping itu, para ketua cabang atau rantingnya senantiasa terdiri dari para manusia berpandangan picik, penipu dalam dunia dagang, atau pemaras (penganggur intelek). Saya berani berkata demikian, karena saya telah memperhatikan secara seksama para pemimpin cabang atau ranting itu dalam skala 9 ibu kota provinsi dan 21 ibu kota kabupaten di Indonesia. Saya menulis ini dengan hati nurani yang jujur serta di bawah pertanggungjawaban penuh (bersedia dituntut oleh hukum), karena apa yang tertulis ini betul-betul terjadi pada keluarga saya. Dan saya mengimbau Bapak Drs. I Gusti Agung Gde Putra, dan Bapak-bapak Walubi dapat meluangkan waktu mengecek kebenaran tulisan ini. HERIANSYAH YASADIPURA Jalan Ibus Raya 26 Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus