Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANITIA khusus yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum untuk menghadapi pemilu presiden dan calon anggota legislatif pada 2019. Pembahasan RUU ini berlangsung lama karena terjadi perbedaan pendapat mengenai beberapa isu krusial, seperti ambang batas parlemen dan pencalonan presiden, alokasi kursi setiap daerah pemilihan, serta sistem pemilu dan metode konversi suara ke dalam perolehan kursi.
Lewat lobi antarfraksi, Panitia Khusus bersepakat memutuskan masalah tersebut dibahas melalui sistem paket. Ketua Panitia Khusus Lukman Edy mengatakan pengambilan keputusan akan segera dilakukan secara paket. Lobi-lobi politik menjelang pemilu sudah biasa terjadi di kancah politik nasional. Majalah Tempo edisi 27 Maret 1971 dengan judul artikel "Bersatu untuk Berpisah" mengulas soal lobi-lobi politik di antara partai politik menjelang pemilu.
Mendekati Pemilu 1971, partai-partai menggelar pertemuan pada 23 Maret tahun itu. Tapi Murba tidak ikut dalam rapat tersebut. SahatNainggolan dari Fraksi Murba di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong mengatakan pertemuan itu tidak perlu. Yang menarik ialah bahwa pertemuan itu kemudian mengeluarkan pernyataan bersama untuk kemudian segera disusuloleh kritik dari peserta sendiri. "Kami datang hanya untuk tukar-menukar pendapat dan bukannya untuk mengeluarkan rilis," kataRamli Harahap, yang hadir bersama Husni Thamrin dan MeizirAchmaddin mewakili Parmusi, akhir Maret 1971.
Sabam Sirait dari Parkindo, yang memimpin sidang kala itu, sebelum pertemuan sempat berkata: "Pertemuan inidiadakan karena adanya aksi sepihak dari golongan lain."Ucapan ini agaknya alasan yang paling masuk akal. Betapapundikatakan dengan cara malu-malu dan terselubung, partai-partaiagaknya sedang merasakan betul adanya ancaman terhadapkebebasan geraknya menjelang pemilu. Dan ancaman darimana, dengan mudah dapat diduga, kalau bukan Golkar,maka seluruh kekuatan seporos pemerintah-ABRI-Golkar.
Tentang perbedaan itu, Sabam agaknya tidak keliru. Tapimasalah yang dihadapi partai-partai, diakui atau tidak diakui, sama serba sakitnya dengan yangdihadapi mereka ketika harus melahirkan Deklarasi Bogor. IkutnyaPNI dan Parmusi, betapapun yang terakhir mengeluh tentang hasilnya, tidak dapat disimpulkan lain daripada adanya kegelisahan serupa yang dirasakan oleh pengambil inisiatif, NUdan Parkindo.
Bagi PNI dan Parmusi, keadaannya mungkin lebihmengecewakan. Karena sementara Hadisubeno dan Mintaredja yangnaik dengan bantuan pemerintah sering mengucapkan cintasetianya kepada pemerintah, tapi ternyatapemerintah menyerahkan cintanya bulat-bulat kepada Golkar.Karena itu, sekalipun terdengar ketidaksepakatan redaksional,tidak ada yang mengotak-atik pernyataan bersama tersebut.
Sementara itu, Amir Machmud selaku Ketua Lembaga Pemilu pada 1971 sudahsiap dengan tata peraturan kampanye yang agaknya tidak banyakberbeda dengan peringatan Panggabean. Semua itu dirasa kian menyulitkan oleh partai-partai. "Peraturan tentang pelanggaran kampanye harusberdasarkan hukum dan bukan atas dasar perasaan pejabat," kata Sabam Sirait. Ketakutan dalam masyarakat mungkin belum terasa benar, tapi ketakutan pada partai-partai memang sedang dibuatkian sempurna. Sejumlah petugas bersenjata dari Komsekko 732telah sengaja dikirim malam itu untuk mengikuti jalannyapertemuan.
Bagaimanapun kedudukan yang tidak enak bagi partai-partai sekarang ini bukan tidak ada gunanya. Komentar seorang tokohGolkar: "Paling tidak agar partai-partai tahu diri bahwamengikuti arah angin terus-menerus sambil lalai mendewasakandiri sesungguhnya berbahaya. Tidak hanya bagi dirinya, tapi juga bagi seluruh perkembangan negara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo