Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONSERVATISME agama, dalam hal ini Islam, hari-hari ini menjadi sumber optimisme sekaligus kecemasan. Maraknya pengajian di perkantoran, penggunaan busana muslim, serta bertambahnya anggota jemaah haji dan umrah dipercaya sebagai bukti meningkatnya ibadah masyarakat--kesalehan dalam wujud yang paling lahiriah. Ibadah, ritual menyembah Sang Pencipta, diyakini merupakan sumber kebajikan: menumbuhkan kesabaran, kepekaan sosial, dan keinginan untuk berbuat baik kepada sesama.
Di sisi lain, konservatisme itu telah menjadi sumber kecemasan: ia dipercaya merupakan pintu menuju intoleransi dan radikalisme. Berawal dari pengajian rutin di sekolah, sejumlah siswa sekolah menengah atas yang menjadi responden penelitian Kementerian Agama dan Wahid Foundation diketahui mendukung konsep negara khilafah. Sebagian lain memahami jihad sebagai aksi angkat senjata melawan orang kafir. Lebih dari separuh responden menyatakan siap berperang di kawasan konflik seperti Palestina dan Suriah.
Konservatisme memang terminologi yang tak mudah. Sejumlah literatur menyebutnya sebagai paham politik yang mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial, melestarikan pranata yang sudah ada, serta menentang perubahan radikal. Dalam konteks agama, konservatisme dipahami sebagai keinginan untuk mempertahankan doktrin yang "murni"--yang berasal dan dipraktikkan pembawa ajaran beratus tahun silam. Kaum konservatif juga menginginkan ajaran agama dimanifestasikan dalam hukum negara. Di Indonesia, sikap terakhir ini terlihat dari maraknya penerapan hukum syariah.
Asal-usul konservatisme Islam di Tanah Air bisa jauh ditarik ke belakang. Namun, jika dipotret dalam kurun yang lebih pendek, menurut antropolog Belanda, Martin van Bruinessen, pandangan ini mencuat akibat memudarnya pengaruh kelompok progresif karena masuk ke politik praktis dan meninggalkan organisasi kemasyarakatan. Musabab lain adalah menguatnya pengaruh Timur Tengah dan alumnus perguruan tingginya dalam menyebarkan pemahaman keislaman di Indonesia. Analisis lain menyatakan konservatisme merupakan bagian dari eskapisme kelas menengah atau kelanjutan dari gairah keislaman yang terjadi di Indonesia pada 1980-an, ketika pemerintah Orde Baru memberi ruang politik lebih besar kepada umat Islam.
Jika dipahami sebagai "kesalehan" individual, konservatisme agama bukan sesuatu yang patut dicemaskan. Pengajian di perkantoran merupakan kegiatan yang baik sepanjang tidak mengurangi produktivitas. Tak ada yang salah dengan maraknya jumlah pengguna jilbab sepanjang itu tidak membuat pemakainya memandang rendah mereka yang tidak memakai busana tersebut.
Yang patut dikhawatirkan adalah jika yang sebaliknya terjadi: konservatisme membuat pelakunya memaksakan kehendak. Mereka yang berbeda dianggap sesat, "others" diperlakukan sebagai "si asing" yang harus diinsafkan jika bukan dibinasakan.
Konservatisme agama juga mencemaskan jika diwujudkan dalam sikap menolak ilmu pengetahuan. Tumbuhnya kelompok pengiman bumi datar atau komunitas penolak vaksin karena dianggap menentang takdir ilahi merupakan sebagian contoh. Konservatisme juga berbahaya jika melahirkan individu yang menabrak kesepakatan umum: penduduk menolak membayar pajak karena menganggap pemerintah tak islami atau dokter menampik pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial karena menganggap asuransi kesehatan itu mengandung riba.
Praktik beragama yang mementingkan kemasan dan melupakan substansi pada gilirannya membuat penganutnya mudah dimanipulasi. Berawal dari ketakutan pada aspek riba dalam sistem perbankan, dibentuklah bank syariah. Debat tentang benarkah perbankan syariah secara signifikan berbeda dengan perbankan umum belum berakhir hingga kini. Yang kemudian terjadi: perbankan syariah tumbuh seiring dengan maraknya pasar Islam tadi. Di banyak pekan dijajakan pasta gigi yang mengandung siwak--zat dari pohonsiwak (Salvadora persica),yang disebut hadis bagus digunakan untuk membersihkan gigi, gusi, dan mulut. Hotel-hotel syariah--yang menyediakan Al-Quran di kamar--diminati konsumen. Di televisi dan layar lebar kita saksikan maraknya sinetron dan film religi.
Lebih jauh, konservatisme semakin berbahaya jika ditunggangi kepentingan politik jangka pendek. Sekadar contoh: sulit dibantah aksi bela Islam 212 telah dimanfaatkan sejumlah politikus untuk kepentingan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.
Tak bisa tidak, efek negatif konservatisme hanya bisa dibendung lewat penegakan hukum. Tak ada yang salah dengan menjadi orang saleh, tapi jika "kesalehan" itu mengantarkan orang tersebut menjadi pembenci dan pelanggar hukum, ia tentu harus ditindak. Konservatisme tak boleh mengancam umat lain dan membahayakan demokrasi kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo