Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mafia sepak bola sudah ada sejak dulu.
Mafia sepak bola selalu muncul tiap zaman.
Judi adalah faktor utama munculnya mafia sepak bola.
SATUAN Tugas Antimafia Bola menemukan indikasi kecurangan perekrutan pemain tim nasional Indonesia usia di bawah 20 tahun (U-20) di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI. Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono mengatakan kepolisian juga telah memetakan siapa saja yang diduga terlibat dan modus kecurangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satuan Tugas Antimafia Bola adalah satuan tugas ketiga yang dibentuk kepolisian untuk membongkar keculasan mafia bola di Indonesia. Satuan Tugas Antimafia Bola kepengurusan yang lalu sudah merampungkan masa tugasnya setelah membongkar dugaan pengaturan skor di Liga 3 antara Perses (Sumedang) dan Persikasi (Bekasi).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak dulu, PSSI seperti tidak pernah lepas dari persoalan suap dan pengaturan skor. Pada 2 April 1988, majalah Tempo membuat laporan panjang berjudul “Bandar Suap dalam Sepak Bola Kita”, yang mengulas maraknya suap yang menggerogoti kualitas sepak bola Indonesia.
Dunia sepak bola Indonesia kembali dirundung duka. Sejumlah pemain bola papan atas disebut menerima suap dari para bandar judi bola untuk pengaturan skor. Mereka antara lain Ramang, Omo, Ronny Paslah, dan Bambang Nurdiansyah. Akibatnya, lapangan bola seakan-akan menjadi panggung sandiwara yang pemenangnya sudah ditentukan sejak awal.
“Sulit diketahui kapan mereka main benar-benar dan kapan main pura-pura,” ujar Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes. “Masak, ada pemain nasional bisa jatuh ketika mau menendang bola dan bola itu pun didudukinya.”
Ada banyak contoh kasus lain. Misalnya ada seorang pemain belakang yang biasanya begitu tangguh dan selalu mengundang decak kagum penonton tiba-tiba berubah menjadi rapuh. Bahkan ia memberi peluang kepada lawan mengobrak-abrik pertahanan yang dikawalnya.
Ada pula pemain depan yang menggebu-gebu melewati beberapa pemain belakang lawan. Tapi, tiba di depan gawang musuh dan berhadapan dengan penjaga gawang yang sudah pasrah, dia justru menendang bola jauh ke atas mistar gawang.
Bahkan, pada 1984, terjadi pengaturan skor besar-besaran di kompetisi Galatama. Dalam pertandingan kompetisi klub yang disebut sebagai universitas sepak bola Indonesia itu ada pertandingan yang berakhir 3-0, 4-0, 6-0, bahkan 14-0. Belakangan, bos tim Cahaya Kita, Kaslan Rosidi, mengungkapkan ada permainan suap di belakang kekalahan-kekalahan mencolok itu. Menurut dia, pelakunya adalah Lo Bie Tek, pengusaha yang menjadi pengurus klub Cahaya Kita. Selain Lo Bie Tek, ada sosok bandar taruhan lain bernama Sun Kie. Akibatnya, pertandingan-pertandingan Galatama mulai ditinggalkan penonton sehingga banyak klub yang bangkrut, lalu bubar.
Setelah Galatama mati digerogoti, para bandar taruhan beralih menebar suap di kompetisi perserikatan. “Sekarang suap di perserikatan lebih parah, tapi mereka malah menutup-nutupi seakan-akan tak terjadi apa-apa,” kata pengurus PSSI yang tak mau disebutkan namanya.
Dua bandar taruhan di Jakarta yang ditemui Tempo mengungkapkan bahwa hubungan penyuap dengan pemain biasanya sudah terjalin lama. “Tanpa ada kompetisi pun bila pemain butuh uang selalu dibantu,” ujar seorang di antaranya. Dengan demikian, tak terlalu sulit bagi para bandar menghubungi pemain untuk mengirimkan order yang dikehendaki. Terkadang penyuap itu cukup berdiri di bagian depan tribun dan memberikan kode kepada pemain yang sedang keluar dari kamar pakaian menuju lapangan pertandingan.
Para pemain yang disuap biasanya baru menerima bayaran setelah pertandingan usai dan sang bandar menang. Soalnya, bukan tak mungkin terjadi, sekalipun para pemain sudah mengalah, sesuai dengan permintaan bandar, tim lawan tak mampu bikin gol sehingga hasil pertandingan tidak seperti yang direncanakan. Atau boleh jadi ada bandar lain yang memerintahkan pemain lawan menyerah. Bila ini yang terjadi, permainan bisa sangat menjengkelkan. Kedua tim sama-sama tak mau menyerang dan bola hanya bergulir dari kaki ke kaki di lapangan tengah.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 2 April 1988. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo