Saya ingin menanggapai surat H. Yulianto, mahasiswa Universitas Persada Indonesia (YAI) yang dimuat di TEMPO edisi 1-7 Desember 1998, tentang Rhoma Irama. Ia menilai bahwa pengunduran diri Rhoma Irama dari Golkar dan mau bergabung dengan partai-partai Islam telah menyakiti hati umat Islam.
Perlu ditekankan, tokoh yang Anda protes itu kurang Anda pelajari. Anda melihat Rhoma Irama dari sisi negatifnya saja. Memandang Rhoma harus utuh sebagaimana kita memandang tokoh lainnya yang mempunyai "jam terbang" tinggi. Ini penting agar obyektivitas tetap terjaga, apalagi tokoh yang Anda maksud mempunyai "sejarah" tersendiri di percaturan politik Indonesia.
Menururt saya, Rhoma Irama keluar dari Golkar atas inisiatifnya sendiri, karena berdirinya banyak partai semakin membingungkan rakyat, terutama umat Islam. Partai-partai Islam dikhawatirkan mengganggu ukhuwah Islamiyah, mengancam perpecahan. Atas dasar itu, ia ingin berdiri "netral", tidak memihak, demi persatuan dan kesatuan.
Saya menilai langkah "Si Raja Dangdut" cukup beralasan, mengingat ia pernah dicekal dan dizalimi rezim Orde Baru selama 11 tahun (1977-1988). Dengan begitu ia bisa bebas berdakwah dan bernyanyi kembali untuk umat Islam dan penggemarnya. Seandainya Rhoma ingin kembali ke partai berasaskan Islam, itu adalah haknya. Kita hanya menekankan agar ia tetap berpihak kepada rakyat kecil dan melanjutkan perjuangan mahasiswa dan masyarakat yang menggulirkan reformasi.
M. Soleh
Jalan Kebonkelapa 17
Utankayu Selatan, Jakarta 13120
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini