Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda jika Gubernur Yogyakarta tidak lagi otomatis dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono, namun dipilih melalui pemilihan kepala daerah?
(1-8 Desember 2010) |
||
Ya | ||
29,78% | 808 | |
Tidak | ||
67,93% | 1.843 | |
Tidak Tahu | ||
2,29% | 62 | |
Total | 100% | 2.713 |
KEMENTERIAN Dalam Negeri masih terus menggodok Rancangan Undang-Undang Keisti mewaan Yogyakarta. Pekan ini rencananya rancangan itu diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan. Namun pembahasan tampaknya masih akan alot. Sikap fraksi-fraksi di parlemen masih terbelah. Sebagian setuju Sultan Yogyakarta otomatis menjadi gubernur, yang la in minta pemilihan yang demokratis.
Perdebatan soal rancangan aturan ini makin panas oleh urusan politik. Posisi Sultan Hamengku Buwono X sebagai politikus Partai Golkar kini dipersoalkan. Sejumlah tokoh politik min ta dia keluar dari Partai Beringin jika ingin terus menjadi sultan sekali gus gubernur. Perannya sebagai calon presiden dalam pemilihan 2009 juga disebut-sebut menjadi salah satu alasan untuk membatasi peran politik Sultan. Terakhir, adik Sultan, Gusti Prabukusumo, memilih mundur dari Partai Demokrat.
Bagaimana pembaca Tempo Interak tif menyikapi ribut-ribut ini? Nur Choiron mengirim surat elektronik yang mendukung pelaksanaan refe rendum di provinsi gudeg itu. ”Pen dapat rakyat Yogya harus didengar. Merekalah inti dari keistimewaan Yogyakarta,” tulisnya. Sedangkan pembaca lain dengan nama pena Azazelium, dengan sinis, menuding demokrasi tidak identik dengan kesejahteraan. Dia minta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mengusik-usik status istimewa kepala daerah di Yogyakarta. ”Biarkan Yogya seperti ini,” tulisnya. Sepekan jajak pendapat elektronik di situs ini menghimpun 2.713 pendapat. Sebagian besar menolak pemilihan demokratis untuk menentukan Gubernur Yogyakarta.
Indikator Pekan Depan MULAI Januari 2011, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberlakukan tarif pajak progresif untuk kendaraan roda empat. Gagasan ini diharapkan bisa mendatangkan pemasukan yang lumayan untuk menambah pundi-pundi daerah. Pajak progresif ini juga dinilai adil karena menyasar warga Ibu Kota yang memiliki lebih dari satu mobil. Namun ada satu lagi motif pemerintah Jakarta memberlakukan pajak ini: mengurangi kemacetan. Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak Jakarta Arif Susilo mengaku yakin adanya pajak ini akan membuat orang berpikir dua kali sebelum membeli mobil lebih dari satu. Tak semua orang setuju. Mereka menilai pemberlakuan pajak ini tidak efektif untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Ketua Asosiasi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Jongky Sugiarto bahkan berani bertaruh: adanya pajak progresif tak akan mengerem nafsu orang membeli mobil kedua, ketiga, dan seterusnya. Menurut Anda, apakah penerapan pajak progresif bagi pemilik mobil di Jakarta bisa mengurangi kemacetan? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo