Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan harga bahan bakar minyak sejak dulu seperti melecut pacuan harga berbagai kebutuhan pokok. Soalnya sepele saja, semua barang kebutuhan masyarakat memerlukan angkutan, atau mesin produksi yang langsung atau tidak butuh minum bensin dan solar. Apalagi para pedagang tak mau rugi, banderol harga buru-buru dikerek dulu ketimbang buntung di belakang.
Itu juga terjadi ketika pemerintah mengumumkan bakal mematok kenaikan harga BBM per 1 April 1973. Harga kebutuhan rumah tangga dan tarif angkutan umum sudah lebih dulu berlari.
Daun bayam pun melonjak dari Rp 5 rupiah menjadi Rp 7,5 setiap kebat. Kentang dari Rp 60 menjadi Rp 80. Kangkung naik 150 persen. Para ibu rumah tangga pun menggerutu.
Padahal, menurut Menteri Pertambangan Profesor Sadli, kenaikan tak bakal lebih dari 5 persen. "Itu pengaruh maksimal kenaikan bahan bakar terhadap harga barang," katanya kepada Tempo edisi 5 Mei 1973.
Sadli rupanya masih berpegang data Biro Pusat Statistik tahun 1958, yang beralaskan harga 62 kebutuhan pokok, pengaruh kenaikan bahan bakar terhadap ongkos pengangkutan dan barang-barang hanya 1,5 persen. Padahal, data 1969, yang berdasar harga 100 kebutuhan pokok, pengaruhnya sudah mencapai 6 persen.
Kini, pemerintah kembali berencana menaikkan harga bahan bakar minyak mulai 1 Maret 2005. Kenaikan bahkan mencapai 29 persen. Akankah kembali bakal melambungkan harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos angkutan? Kita tunggu tanggal mainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo