Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI tersangkut dugaan plagiat karya ilmiah untuk syarat memperoleh titel guru besar, Muryanto Amin dijadwalkan tetap dilantik sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara pada Kamis, 28 Januari 2021. Muryanto terpilih sebagai rektor menggantikan Runtung Sitepu.
Menurut Runtung, dugaan plagiarisme oleh Muryanto bermula dari laporan seseorang kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Muryanto ditengarai melakukan plagiarisme terhadap karya berjudul “A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra”, yang dipublikasikan di jurnal Man in India pada September 2017. “Terbukti secara sah melakukan plagiarisme,” ujar Runtung.
Plagiarisme karya ilmiah di kampus sudah menjadi hal lumrah. Dua dekade lalu, majalah Tempo mengulas praktik itu lewat artikel berjudul “Penjiplakan Karya Berkobar-kobar” pada edisi 17 Desember 1988.
Jiplak-menjiplak karya ilmiah di perguruan tinggi Indonesia, sepanjang sepuluh tahun terakhir ini, menggelinding sentosa. Bukan hanya mahasiswa menyontek mahasiswa dan dosen mencuri milik dosen lain, tapi juga dosen mencopet karya mahasiswanya. Yang merupakan aib besar, ada dosen tak merasa malu lagi terang-terangan meminta agar mahasiswanya membuatkan karya untuk kepentingan dan atas nama sang suhu.
Sedih, memang. Apalagi mengingat kebanyakan skandal itu dilakukan sekadar untuk memburu kenaikan pangkat. Belakangan ini, permainan itu berkobar santer di Universitas Airlangga, Surabaya. Tapi, seperti diungkapkan sebelumnya, hal ini berlangsung aman. Tak ada gejolak, tidak ada masalah, semua tetap diselesaikan secara musyawarah. Kita memang sejenis manusia yang suka damai.
Moh. Koesnoe, bekas guru besar Unair, meratapi keadaan yang sudah demikian menyedihkan itu. “Saya lihat sudah kian menjadi tradisi,” ucapnya. Ia sendiri tak urung menjadi pecundang. Beberapa buah karyanya dipakai orang. Ia mencoba main tabok lewat pengadilan, tapi terhenti. Yang dituduhnya menjiplak kini hidup tenang-tenang saja.
Terakhir ini I.A. Ferdinandus, Kepala Seksi Histologi Laboratorium Anatomi dan Histologi di Fakultas Kedokteran Unair, diisukan menjiplak skripsi I Ketut Puja, mahasiswanya sendiri. Tapi Ferdinandus membantah keras. Kebetulan Ferdinandus juga Kepala Laboratorium Histologi Kedokteran Hewan Unair, tempat Ketut Puja, yang ia bimbing itu, melakukan penelitian.
Tahun lalu, Ketut Puja meneliti pengaruh tepung biji lamtoro gung terhadap histologi kelenjar pankreas ayam pedaging. Rupanya, sebagai pembimbing, Ferdinandus tergugah untuk meneliti hal itu pula. Kebetulan ia terdesak untuk melakukan penelitian sebagai syarat kenaikan pangkat. Lalu dibuatlah kesepakatan. Puja meneliti eksokrin pankreas dan Ferdinandus mencari endokrinnya.
Nah, di lapangan, “Yang menyiapkan makannya dia, tapi yang menyediakan sampai membuat sediaan ini saya,” ucap Ferdinandus. Jadi, jelas berbeda. Pengukurannya tidak sama dan jalannya pun lain. Kemudian Ferdinandus menyusun makalah tentang perubahan kelenjar eksokrin pankreas ayam setelah pemberian tepung biji lamtoro gung.
Karya ini kemudian dipresentasikan di depan Kongres Anatomi di Bandung pada 1987. Berangkat dari soal itulah isu plagiat muncul dan menyebar dengan cepat seperti kutu loncat. “Kan, itu tidak benar,” ujarnya, mengeluh. “Tapi, ya, begitulah kalau orang ingin menjatuhkan,” tuturnya. Akhirnya, daripada menjadi ramai, “Saya tarik sajalah makalahnya,” ucap Ferdinandus.
Ia tak jadi mengajukannya sebagai syarat kenaikan pangkat agar beroleh gelar profesor. Tapi kali ini Ferdinandus kian menyesali diri karena isu yang berkembang menjadi lain. Ada yang beranggapan bahwa paper itu ditarik karena berindikasi penjiplakan. Ferdinandus terpaksa melakukan langkah-langkah penyelamatan. “Soalnya ini menyangkut nama baik saya,” katanya.
Ia meminta keterangan tertulis dari Ketut Puja dan pembimbing Sarmanu M.S., yang menyebutkan bahwa karya Ferdinandus bukan plagiat. Dan Ketut Puja, memang, dalam suratnya menyebut bahwa masalah itu sesuai dengan kesepakatan bersama. Penelitian itu merupakan kegiatan ilmiah bersama dan bukan penjiplakan. “It's all in the game,” ujar Ferdinandus. “Dan untuk itu, saya kira, saya sudah bermain dengan baik, dengan jujur.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo