Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Sinyal Bahaya dari Kampus

Keputusan pemerintah tetap melantik rektor universitas yang bermasalah mengirimkan pesan keliru kepada publik. Kualitas hasil riset menjadi taruhan.

30 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH kasus penjiplakan karya ilmiah oleh pimpinan perguruan tinggi belum lama ini menunjukkan ada kekeliruan mendasar dalam sistem pengelolaan kampus di Indonesia. Jika dibiarkan, kualitas akademik dan kejujuran intelektual para sarjana di negeri ini bisa terus merosot. Bukan hanya mutu lulusan perguruan tinggi yang dipertaruhkan, tapi juga kredibilitas ilmu pengetahuan yang dihasilkan universitas kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelantikan Muryanto Amin sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) adalah contoh nyata kesalahan pemerintah tersebut. Dengan berkeras melantik Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jelas-jelas mengabaikan keputusan Dewan Guru Besar USU yang menyatakan Muryanto terbukti melanggar etika akademik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelanggaran itu sendiri terjadi ketika Muryanto mengirimkan karya ilmiahnya yang berjudul “Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara” ke tiga jurnal akademik berbahasa Inggris pada 2017-2018. Dia tidak mencantumkan keterangan bahwa riset itu sudah pernah dimuat utuh di sebuah jurnal lokal tiga tahun sebelumnya.

Plagiarisme—mengutip sebagian atau seluruh tulisan lain tanpa menyebutkan sumber aslinya—entah itu karya orang lain entah karya sendiri, merupakan kejahatan akademik. Dalih Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nizam, yang mengatakan Muryanto tidak melakukan pelanggaran karena aksi self-plagiarism atau menjiplak karya sendiri tidak diatur secara spesifik sungguh mengherankan. Sistem akses terbuka pun—seperti pada creative common rintisan Profesor Lawrence Lessig dari Harvard University, Amerika Serikat—menuntut penulis jujur mencantumkan di mana artikelnya pernah terbit.

Yang mengkhawatirkan, pembiaran terhadap pelaku plagiarisme seperti dalam kasus Muryanto bukan yang pertama kali terjadi. Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman juga terus bercokol di kursinya hingga sekarang meski sudah dinyatakan terbukti mencatut tulisan mahasiswanya dalam disertasi S-3 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sungguh disayangkan keputusan Dewan Kehormatan UGM dalam kasus ini tak disusul dengan sanksi pencabutan gelar doktoral Fathur.

Tiga tahun lalu, Kementerian Pendidikan juga tetap memaksa melantik Muhammad Zamrun Firihu sebagai Rektor Universitas Halu Oleo, Kendari. Padahal dewan guru besar kampus itu juga menyatakan dia terbukti melakukan penjiplakan. Seperti ikan yang membusuk dari kepala, pembiaran atas kasus-kasus penjiplakan karya ilmiah ini membuat mutu perguruan tinggi kian terjerembap.

Apalagi sejumlah kasus penjiplakan ini sebenarnya merupakan puncak gunung es. Pokok masalahnya adalah penekanan yang berlebihan pada kuantitas pemuatan tulisan di jurnal ilmiah dan jumlah sitasi sebagai prasyarat mendapatkan tunjangan dan kenaikan pangkat di perguruan tinggi. Aturan ini mendorong akademikus untuk berbohong dan memanfaatkan jurnal abal-abal. Semestinya insentif diberikan berdasarkan kualitas karya dan manfaat penelitian, bukan semata pada jumlah tulisan di jurnal dan banyak-sedikitnya sitasi.

Selain itu, sistem pemilihan petinggi kampus yang memberikan ruang terlalu besar kepada pemerintah membuka peluang bagi calon rektor yang pandai menjilat penguasa. Kompetensi personal dan integritas akademik tidak lagi menjadi faktor utama dalam penentuan pejabat perguruan tinggi.

Sudah saatnya situasi ini diperbaiki. Kementerian Pendidikan harus bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi bidang keilmuan memperbaiki sistem penilaian para peneliti. Pengakuan obyektif dan rekomendasi kolega (peer review) yang profesional seharusnya dikedepankan, bukan sebatas pemuatan dan sitasi di jurnal-jurnal antah-berantah.

Asosiasi para pakar di setiap bidang keilmuan juga bisa berperan lebih besar dalam memberantas keberadaan jurnal predator. Tak boleh lagi ada jurnal yang bersedia memuat tulisan siapa saja tanpa mempedulikan mutunya, asalkan berani membayar. Sistem disinsentif juga perlu diterapkan dengan konsisten. Jika terbukti menjiplak karya tulis seseorang atau tak rutin menulis karya ilmiah, gelar dan pangkat peneliti, bahkan guru besar, bisa dicabut.

Tanpa koreksi mendasar, perguruan tinggi tak akan bisa menjadi center of excellence dan sumber ilmu pengetahuan. Peran kampus sebagai pusat rujukan dan lembaga kajian bagi perumusan kebijakan publik juga bakal tergerus. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim harus segera membenahi ketidakberesan ini. Jangan lagi ada pembiaran, apalagi sikap masa bodoh.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus