Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA polisi sontoloyo penilap duit narkotik, psikotropika, dan obat terlarang (narkoba) di Surabaya pada Oktober tahun lalu sudah sewajarnya dihukum berat. Ditugasi di Badan Narkotika Nasional, mereka menggangsir uang sitaan dari pemilik gerai valuta asing yang diduga melakukan pencucian uang milik gembong narkotik Cristian Jaya Kusuma alias Sancai. Perbuatan keduanya belakangan dilaporkan kepada Presiden dan sejumlah lembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini memang bukan praktik baru. Pada 2016, Direktur Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Bali Komisaris Besar Franky Haryanto Parapat dicopot karena memeras tersangka narkoba. Pemerasan dan kongkalikong itu merusak hukum: setelah diberi rasuah, polisi akan menghapus kasus atau setidaknya mengendurkan penyidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duit narkoba memang alang kepalang banyaknya. Setahun lebih dari Rp 300 triliun, setara dengan 3,5 kali anggaran di Ibu Kota, beredar dalam bisnis itu. Pemain narkoba bisa terus beroperasi karena yakin hukum bisa mereka tekuk.
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, polisi pun telah menjadi bagian dari jaringan peredaran narkotik, misalnya menjadi beking para bandar. Survei yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan hampir separuh polisi (42,3 persen) dipercaya responden menjadi beking narkoba dan perjudian. Survei yang digelar 14 tahun lalu di Malang dan Surabaya, lokasi pemerasan teranyar, tetap relevan sepanjang masalah ini tak kunjung dibereskan—betapapun setiap Kepala Kepolisian RI selalu berjanji menertibkan jajarannya dalam perkara narkotik.
Lubang yang kerap dipakai polisi dan aparat BNN untuk bermain culas adalah dalam penetapan seseorang sebagai pengedar atau pengguna. Kewenangan ini sepenuhnya berada di tangan aparat tanpa rambu yang jelas. Ketidakjelasan itu dapat dipakai untuk memeras tersangka. Jamak terdengar, mereka yang bisa membayar bakal dinyatakan sebagai pengguna sehingga hanya diwajibkan menjalani rehabilitasi. Adapun mereka yang miskin diseret ke penjara sebagai pengedar.
Hukum yang bisa dibeli berakibat fatal: para pengedar dapat terus beraksi, sementara para pengguna membusuk di penjara. Saat ini separuh bui diisi oleh para penjahat narkoba, umumnya para pemakai kelas teri—kelompok yang semestinya dirawat lewat program rehabilitasi.
Polisi dan BNN hendaknya bisa belajar dari Belanda dan Portugal. Di sana dilakukan program dekriminalisasi terhadap pemakai narkotik. Kebijakan ini efektif menekan jumlah pengguna pemula, menurunkan peredaran narkotik, serta mengurangi kasus positif HIV dan hepatitis.
BNN dan kepolisian harus menjamin petugasnya tak bermain mata dengan jaringan pengedar narkotik. Tak perlu ragu memecat petugas yang mengambil keuntungan pribadi.
Kepala Kepolisian dan jajarannya hendaknya menempatkan polisi jujur dan profesional di BNN dan Direktorat Narkoba. Kedua posisi itu hendaknya tidak dijadikan alat tawar dalam penempatan perwira—sesuatu yang kerap dilakukan untuk merangkul dan memukul dalam politik perkoncoan internal Kepolisian.
Tanpa sikap profesional itu, narkoba tak bisa diberantas. Para pengedar akan terus mengembangkan bisnisnya, para pengguna masuk penjara. Sementara itu, polisi busuk berfoya-foya dengan uang haram narkoba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo