Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA antropologi Indonesia kehilangan ilmuwan terbaiknya. Pelopor antropologi di Indonesia, Prof. Dr. Koentjaraningrat, meninggal dunia dalam usia 76 tahun di Rumah Sakit Kramat, Jakarta Pusat. Almarhum yang biasa dipanggil Pak Koen ini meninggal Selasa, 23 Maret 1999, pukul 16.25 WIB, akibat terkena stroke dan penyakit gula.
Sehari sebelumnya, Pak Koen dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Menurut istrinya, Kustiani, 65 tahun, bapak tiga orang anak dan kakek empat cucu ini kerap terkena stroke. "Setidaknya sudah sepuluh kali," ujarnya.
Sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat, jenazah almarhum disemayamkan di rumah duka di Jalan Daksinapati Timur, Kompleks IKIP Rawamangun, Jakarta. Tampak melayat sahabat beliau, di antaranya Toety Herati, Fuad Hassan, serta sosiolog Sardjono Jatiman.
Lahir di Yogyakarta, 15 Juni 1923, Pak Koen adalah putra tunggal R.M.E. Brotokoesoemo. Masa sekolahnya dari SD hingga sarjana muda diselesaikan di Kota Gudeg itu. Selanjutnya, ia merampungkan pendidikan sarjana sastra di Universitas Indonesia pada 1950. Studinya diteruskan dengan mendalami antropologi di Universitas Yale, Amerika Serikat, pada 1956, hingga meraih gelar master. Universitas Utrecht, Belanda, memberikan gelar honoris causa kepada Koentjaraningrat pada 1976.
Pak Koen tertarik dengan antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held, guru besar antropologi UI yang mengadakan penelitian di Sumbawa. Perhatiannya pada pendidikan antropologi juga besar. Karena itu, ia bertekad mendirikan fakultas antropologi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Karya tulisnya pun sangat banyak. Lebih dari seratus buku telah dihasilkannya dan sebagian menjadi bacaan wajib mahasiswa antropologi. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1974). Isinya antara lain menjawab anggapan orang bahwa antropologi identik dengan kajian terhadap suku bangsa primitif dan terasing.
Perhatiannya terhadap perkembangan budaya suku bangsa di Indonesia, terutama di Indonesia timur, juga besar. "Jika Indonesia ingin serius membangun Irianjaya menjadi kediaman yang nyaman dan makmur bagi suku bangsa Irianjaya, kepemimpinan dalam sektor ekonomi, politik, dan pemerintahan harus di tangan putra dan putri Irianjaya," katanya dalam sebuah seminar pada 1984.
Sejak pensiun dari perguruan tinggi pada 1988, ia menyibukkan diri dengan melukis. Setidaknya 56 lukisannya pernah dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dan juga di Paris, Prancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo