KEPASTIAN hukum? Itulah yang sering diabaikan penegak hukum hingga menyengsarakan tersangka. Contohnya perkara Kamal, 39 tahun, dan rekannya, Bahrul Datuk Rangkayo Sampono, 34 tahun. Bayangkan, mereka diciduk polisi pada 9 November 1984, hanya berapa hari setelah anak keempat Kamal lahir. Baru pekan-pekan ini, setelah si anak duduk di kelas II SD -- dan sesudah tiga kali Kepala Kejaksaan Negeri Pariaman dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat berganti -- mereka disidangkan di Pengadilan Negeri Pariaman, Sumatera Barat. Padahal, tuduhan terhadap mereka cuma melakukan pelanggaran karena memiliki barang cetakan, yang dilarang beredar dengan ancaman hukuman maksimum setahun penjara atau denda Rp 5.000 (PNPS No. 4/1963). Karena itu, Kamal pasrah. "Apa pun keputusan hakim, akan saya terima. Yang penting, ada kepastian terhadap saya. Sudah bertahun-tahun saya dipermainkan," tutur ayah lima anak, penduduk Desa Lubuk Alung, Pariaman itu. Enam tahun silam, Kamal, yang memimpin band Kamal Group, diundang salah seorang pimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke Jakarta. Waktu itu, Kamal, lulusan STM -- yang berjasa dalam kampanye PPP pada Pemilu 1982 -- dijanjikan akan diberi dana untuk mengembangkan bandnya. Di Jakarta, Kamal bermalam di rumah seorang kenalannya di daerah Jatinegara. Waktu itulah si empunya rumah menyuguhi kaset ceramah beberapa tokoh, antara lain Tonny Ardie, -- yang sedang menghangat di Jakarta. Kamal tertarik dan membawa kaset rekaman ceramah itu ke desanya. Ketika kaset itu diputar di rumahnya, para tetangga berduyun-duyun turut menguping. Kamal sendiri mengaku tak tahu bahwa isi ceramah itu dilarang disiarkan. Yang ada di benak --- Kamal, waktu itu, cuma satu hal: kesempatan bisnis. Maka, ia pun membeli 20 kaset kosong untuk merekam ulang kaset itu dan menjualnya Rp 1.000 per kaset. Tak sia-sia, kaset itu laris. Salah seorang pembeli adalah Bahrul, Ketua Kerapatan Adat Nagari Ketaping -- 9 km dari Lubuk Alung. Bahrul, yang juga mubalig di daerahnya, merekam kembali kaset tersebut. Salah sebuah kaset buatan Bahrul sampai ke tangan pengurus masjid Ketaping, Dasmin, 42 tahun. Dasmin mengumandangkan ceramah dikaset itu di masjidnya. Sialnya, beberapa petugas dari koramil dan polsek setempat ternyata juga ikut menyimak isi ceramah itu. Buntutnya, Bahrul, Kamal, serta Dasmin pun diciduk dan sempat ditahan selama 27 hari dengan tuduhan melanggar undang-undang antisubversi. Tapi pihak kejaksaan, yang belakangan menerima perkara itu, hanya menganggap mereka melanggar ketentuan mengenai barang cetakan -- bukan subversi. Sebab itu, beberapa unsur muspida berpendapat kasus itu tak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Apalagi ketiga tersangka cukup dikenal luas di lingkungannya. Belakangan muspida setempat memutuskan kasus itu "dibekukan" dengan syarat: ketiga pesakitan hijrah ke Golkar. Kamal, yang menyanggupi syarat itu, aktif dalam kampanye Golkar pada Pemilu 198. Bahkan ia mendapat piagam penghargaan dan cincin emas dari Bupati Padang Pariaman karena jasanya memenangkan Golkar di daerah itu. Semenjak itu, kasus mereka tak diungkit-ungkit lagi. Sampai pada Juli lalu, tiba-tiba mereka -- Dasmin sudah menghilang -- dipanggil untuk diadili. "Saya jadi bingung. Mendukung PPP diperkarakan. Masuk Gokar, ternyata perkara jalan terus," kata Kamal. Direktur LBH Padang, Abdul Kadir Usman, menilai perkara itu mestinya sudah gugur demi hukum. Sebab, berdasarkan pasal 78 KUHP, perkara semacam itu dalam tempo tak lebih dari setahun harus dilimpahkan ke pengadilan. Jadi, "Penuntutan kedua orang itu kini sama artinya dengan mempermainkan hak asasi mereka," ujar Kadir Usman. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Harlianto Djosohadidjojo, mengakui agak terlambat mengajukan perkara itu ke sidang. Pertimbangannya untuk menjaga ketenangan masyarakat. "Mereka baru sekarang diadili, justru untuk memberikan kepastian hukum. Kalau tidak, masyarakat tentu menganggap perkara itu hilang di tengah jalan," kata Jaksa Syamsir Andra, yang mengajukan kedua terdakwa. Hp. S., Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini