CAMBRIDGE masih dingin. Kami setengah berlari di bawah rintik - gerimis, dari stasiun keteta Harvard Square ke sebuah warung kopi. Mas Goen (Goenawan Mohamad- dan saya memesan Mocha Java -- karena sudah rindu Tanah Jawa. Rekan Mohamad Cholid dari TEMPO, yang baru datang dari tamasya ke Wall Street, memesan teh Cina. Malam sebelumnya, sebuah museum di Boston -- kota yang hanya terletak di seberang sungai dari Cambridge -- dibongkar maling. Beberapa koleksi lukisan penting, antara lain dari Renoir, digondol sang pancalongok. Obrolan di warung kopi itu mau tak mau berkisar pada masalah pencurian tersebut. Lukisan, terutama kalau sudah mempunyai tanda-tanda kepurbaan, kini makin menjadi bahan akuisisi yang menarik. Tak heran bila maling-maling elite kini berusaha keras untuk memperoleh brevet spesialisasi di bidang ini. Sotheby's dan Christie's, rumah-rumah lelang terkemuka, kini pun harus ekstra waspada, agar tak didakwa sebagai tukang tadah. Dua tahun lalu kita mendengar lukisan Irises dari Van Gogh, yang dihargai hampir Rp 100 milyar oleh seorang pembeli yang tak bersedia diungkap identitasnya. Banyak orang menduga bahwa pembelinya adalah orang Jepang. Soalnya, Sunflower dari Van Gogh juga sebelumnya dibeli oleh orang kaya dari Negeri Matahari Terbit itu. Baru awal tahun ini diketahui, Irises selama dua tahun terakhir mendekam di Australia -- di rumah Ian Bond, pengusaha real estate yang kini sedang terancam bangkrut. Ian Bond lalu berusaha melepas Irises, untuk memperoleh uang tunai yang lebih dibutuhkannya. Lukisan itu sejak beberapa minggu lalu telah menjadi tamu di Museum J. Paul Getty di Malibu, California. Museum yang didirikan raja minyak ini, konon, merupakan museum yang paling tak terbatas dananya untuk melakukan pembelian benda-benda antik dunia. Sementara transaksi Irises belum final, lukisan itu menurut tradisi memang sudah harus ditempatkan di calon "rumah" barunya. Antara lain untuk diteliti keasliannya. Siapa tahu, ada juga hal-hal metafisik yang kadang terbawa-bawa dalam urusan benda kuno. Kebangkitan kesenian memang merupakan salah satu ihwal yang kini sedang trendy. Dalam Megatrends 2000 yang baru terbit John Naisbitt dan Patricia Aburdene menujum bahwa A Renaissance in the Art merupakan satu dari sepuluh trend era 1990-2000. Naisbitt dan Aburdene menyajikan angka-angka berikut: Pada 1965 pengunjung museum rata-rata per tahun di Amerika Serikat adalah 200.000. Pada 1988 sudah mencapai 500.000. Dalam dua dasawarsa terakhir, pengunjung opera di AS meningkat tiga kali lipat. Pada 1988 orang AS membeli karcis senilai US$ 3,7 milyar untuk menonton acara kesenian, dibanding US$ 2,8 milyar untuk tontonan olahraga. Artinya, ada pergeseran dalam cara orang AS mengisi waktu luang. John Naisbitt dan Patricia Aburdene juga menunjukkan tingkat proliferasi museum yang mencolok. Di Jepang, dalam tiga dasawarsa terakhir dibangun 200 museum baru. Di Jerman Barat, dalam sepuluh tahun terakhir diresmikan 300 museum lagi. Di Inggris, setiap 18 hari terjadi peristiwa pengguntingan pita untuk sebuah museum baru. Anda pikir kejadian yang sama tak terjadi di Indonesia? Saya masih ingat, ketika dulu bisa menonton pergelaran jazz Jack Lesmana sambil tiduran, karena banyaknya bangku kosong di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Sekarang, orang harus sudah pesan tempat dua minggu sebelumnya. Lukisan Jeihan, yang sepuluh tahun lalu masih seharga puluhan ribu rupiah, sekarang sudah jutaan. Teater Koma mulai kelabakan dengan calo-calo yang memborong karcis. Sekarang sudah ada perusahaan yang mau mensponsori pembacaan sajak Rendra dan peristiwa-peristiwa budaya lainnya. Belakangan ini, trend paling mengejutkan adalah mulai gencarnya pemalsuan terhadap hasil karya beberapa pelukis besar, seperti Affandi dan Sudjojono. Sementara itu, pelbagai pameran lukisan tak henti-hentinya menyemarakkan beberapa ruang pamer dan galeri di Jakarta. Di New York, pada lelang musim semi ini, rumah-rumah lelang memperkirakan bakal terjadi transaksi senilai US$ 1 milyar -- Rp 1,8 trilyun. Sebuah besaran yang tampaknya tak masuk akal. Tetapi angka itu sungguh bukan isapan jempol. Lukisan-lukisan Van Gogh dan Renoir juga akan terjun dalam kancah lelang. Teori Abraham Maslow tentang hierarchy of needs tampaknya belum bisa dipensiun. Ketika kebutuhan dasar manusia telah terpenuhi, kebutuhan-kebutuhan -transcendence akan muncul. Dan orang mulai menemukan kepuasan, dengan menikmati karya-karya seni dan budaya. Renaissance di bidang seni dan budaya ini tentu saja tak bisa meninggalkan unsur bisnisnya. Sebuah penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa toko suvenir di museum adalah bentuk perdagangan eceran yang paling tinggi margin keuntungannya. Sebuah peluang baru, Saudara! Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini