Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Menunggu Arsip Amerika dan Inggris

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENEDICT Richard O'Gorman Anderson secara mengejutkan meninggal di Batu, Jawa Timur, Ahad dua pekan lalu. Dia datang ke Indonesia untuk meluncurkan buku terbarunya, Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial. Dua pekan lalu, dia juga sempat memberi kuliah umum di Universitas Indonesia.

Ben sudah malang-melintang di Indonesia, melakukan penelitian, sejak 1961. Namun, lantaran Cornell Paper, tulisannya bersama Ruth T. McVey, yang aslinya berjudul A Preliminary Analysis of the September Movement, sejak 1972 dia dilarang masuk ke Indonesia oleh rezim Soeharto. Tulisan yang terbit pada 1 Januari 1966 itu bercerita bahwa peristiwa G-30-S merupakan persoalan internal Angkatan Darat, dan "PKI tak terlibat".

Baru setelah Soeharto lengser, Ben boleh kembali masuk ke Indonesia. Majalah Tempo edisi 12 Desember 2010 menerbitkan wawancara dengan dia berjudul "Ben Anderson: Politik Putra Mahkota Itu Cermin Feodalisme". Waktu itu, ia mengikuti acara bedah buku karya Tan Swie Ling di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Selama wawancara, Ben berbicara lugas dengan logat yang kental. Berikut ini petikannya.

Apa yang membuat Anda konsisten membahas peristiwa 1965 dan gerakan kiri di Indonesia?

Saya tertarik pada peristiwa G-30-S sampai 1973-1974. Lalu terasa setelah reformasi bahwa hampir semua risalah dari Mahkamah Militer Luar Biasa amat kontradiktif. Kita tak tahu pasti mana yang dipaksakan polisi dan tentara atau pengakuan pelaku. Kami menunggu arsip di Inggris dan Amerika dibuka. Mungkin ada informasi dan bahan baru yang keluar setelah 30 tahun.

Apa relevansinya membahas peristiwa G-30-S dengan gerakan kiri untuk Indonesia sekarang?

Pembantaian jutaan orang itu salah satunya timbul dari kampanye pers dan televisi tentang pembunuhan jenderal. Saya sudah melakukan penelitian bahwa dalam pembunuhan jenderal itu tak ada pemotongan kemaluan, pencongkelan mata, dan sebagainya. Jadi seharusnya orang melihat mengapa begitu banyak kebohongan sejak hari pertama

Apa arti penting absennya gerakan kiri dalam politik di Indonesia?

Sangat penting. Membuat partai kiri seperti zaman dulu itu tak semudah yang dikira. Memerlukan bertahun-tahun perjuangan. Apalagi mau menarik buruh, petani, dan nelayan miskin yang begitu lama dikemplang birokrasi dan sebagainya. Saya kira perlu pimpinan yang prinsipiil, punya strategi dan taktik. Masak, pemilu bagus, tapi orang yang masuk DPR seperti itu.

Sentimen antikapitalisme biasanya memberi ruang bagi gerakan kiri. Tapi di Indonesia itu tak terjadi, mengapa?

Dalam banyak kasus, konglomerat Indonesia jauh dari cakrawala pandangan nelayan, petani, babu, dan sebagainya. Musuh mereka sehari-hari bukan orang luar negeri, melainkan orang lokal seperti polisi dan mafia. Kaum elite mengatakan bahwa semua masalah karena Yahudi dan Amerika, maksudnya supaya jangan membenci mereka. Jadi ini politik mengalihkan kemarahan masyarakat ke target luar untuk menutupi kegagalan ekonomi dalam negeri.

Apakah Anda melihat kultur politik sekarang masih seperti zaman Orde Baru?

Yang akan membantu adalah generasi anak muda yang tak mengalami dan tak begitu ingat zaman Soeharto. Tentu ada kelemahannya, tapi bukan seperti manusia Indonesia yang formasinya di zaman Soeharto adalah neofeodalisme, korupsi, dan kejam. Perubahan ini perlu waktu. Orang DPR pada umumnya merupakan hasil zaman Orde Baru. Mental politiknya persis sama.

Apa persamaan kultur politik sekarang dengan di masa Orde Baru?

Bentuknya diktator dengan sistem oligarki. Bagi-bagi lahan, tak boleh ada oposisi, dan sebagainya. Mereka tahu, asal bagi lahan dan semua diajak masuk, oligarki itu aman. Belum ada bagian dari oligarki yang berani keluar dan berbuat sesuatu. Situasi ini mungkin akan berubah kalau ada krisis ekonomi lagi.

Politikus Indonesia sekarang juga terlihat mempersiapkan keluarga dan anak untuk meneruskan kepemimpinan?

Mereka tak ada apa-apanya kecuali mendompleng nama bapak dan suami. Politik putra-putri mahkota itu cermin feodalisme dan kemauan pemimpin yang gila-gilaan seperti di Korea Utara. Negara itu komunis, tapi pemimpinnya turun-temurun sampai tiga generasi. Ketimbang membagi kekuasaan kepada orang lain, lebih baik membagi kepada anak sendiri meski berotak ayam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus