DESEMBER yang akan datang, Kota Sibolga akan punya mesjid agung
yang baru. Meski kini sudah digunakan untuk shalat jemaah, tapi
belum semua rampung dikerjakan. Menara setinggi 25 meter
misalnya, juga perpustakaan dan taman, masih terus digarap.
Mesjid itu mulanya Mesjid Agung Sibolga yang dirubah--atas
prakarsa Walikotamadya Haji Pandapotan Nasution SH, sejak Juni
tahun lalu. Kalau dulu kubahnya yang sudah laFuk dan kusam
berjumlah lima buah (dengan kubah induk di tengah), kini hanya
satu kubah besar yang kokoh seperti halnya mesjid model
sekarang. Tiang-tiang dalam mesjid pun dipersedikit sampai hanya
tinggal sebuah, sehingga ruangan terasa lebih lapang.
Memang, puluhan rahun sejak didirikan oleh muslimin Sibolga di
bawah pimpinan Haji Jamaluddin, mesjid ini tak pernah mengalami
perobahan yang berarti - sehingga tampak bagai si tua yang
menunggu sisa usia. Dan bila kini dipergunakan dana sebesar Rp
10 junl dari Gubernur Sumatera Utara, Rp 20 juta dari Presiden,
selain Rp 20 juta dari Pemda Kotamadya sendiri ditambah wakaf
kaum muslimin. maka yang sedang diperbuat sebenarnya bukanlah
memugar mesjid itu. Melainkan menggantinya dengan mesjid yang
lain di tempat yang sama.
Ali Sadikin
Itulah sebabnya terdapat rasa sayang yang besar. Terdengar
pertanyaan mengapa Pemda tidak membangun mesjid lain saja -- dan
dengan demikian menambah bangunan ibadah -- daripada "merusak"
yang lama? Seorang intelektuil di kota ini misalnya menyayangkan
tindakan Pemda yang tidak memugar mesjid itu saja, yang seperti
dikatakannya merupakan satu-satunya warisan penting masa lampau
Sibolga yang menunj.lk suatu periode sejarah. Iahan kubah yang
sudah lapuk kan bisa diganti dengan yang baru, atau dengan
kuningan tipis misalnya, sehingga kalau malam terang bulan akan
tampak seperti bulan buatan - tanpa merobah arsitektur sama
sekali?
Pentingnya aspek sejarah mesjid itu diceritakan oleh seorang
ulama di kota ini yang juga tidak mau disebut namanya, kepada
Bersihar Lubis yang mengirim laporan ini, katanya bentuk kubah
yang lima itu seperti yang juga terdapat di banyak tempat lain,
masih jelas sekali menunjukkan hubungan budaya dengan
kelenteng-kelenteng Budha. Ulama ini pernah melihat gambar
kelenteng Budha dari Muangthai atau negeri Budha lainnya --
dan memang kalau ditilik-tilik bentuknya menara-menara itu bisa
terdapat di India misalnya, bukan? Malah mimbar masjid tersebut
lebih jelas lagi dipengaruhi motif-motif kelenetng Cina.
Dengan itu sang ulama melihat sifat penyebaran Islam yang damai
dan halus yang masih terdapat tinggalannya sampai sekarang.
Lagi pula bisa diingat bahwa Sibolga adalah kota terakhir di
Lipanuli sebelum memasuki daerah hristen, yang dengan sendirinya
menunjukan pelahiran kultur yang berbeda. Sehingga "mesjid
terakhir" yang klasik lan cantik tersebut, walaupun baru
didirikan tahun 1908, sebenarnya sangat mengesankan.
Memang, Walikota sendiri sebenarnya tidak serta-merta merombak
mesjid. Jauh hari sebelumnya telah diadakan pertemuan dengan
para ulama dar tokoh-tokoh yang dianggap mewakili masyarakat.
Entah suara ketidaksetujuan dikeluarkan waktu itu atau tidak,
tapi konon semua orang mengagguk-angguk di situ.
Yang jelas, semangat rombak-merombak memang cukup besar di tanah
air ini. Beberapa waktu yang lalu misalnya seorang rekan pulang
dari Jakarta ke Pati di Jawa Tengah. Ia teringat untuk sekalian
memotret mesjid di kotanya yang antik -- namun ia kecewa. Karena
mesjid tersebut justru sedang dirombak, dijadikan "modern".
Orang juga tahu bahwa di Semarang, mesjid agung yang bersejarah
itu sekarang sulit dicari -- terselempit di belakang
gedung-gedung dan kios-kios di Kompleks Ya'ik yang penuh -- di
samping kelihatan tidak dirawat.
Untung saja mesjid tersebut tidak (atau belum?j dihabisi
riwayatnya, walaupun Gubernur Munadi dulu sudah membangun mesjid
agung lainnya (dengan arsitektur yang maunya pribumi, namun
bombastis) di Perlimaan.
Itu berbeda dengan yang terjadi di Jakarta. Di daerah Pekojan,
Jakarta Kota, ada sebuah mesjid gaya Cina dari para muslimin
Tionghoa dulu, yang sama sekali tidak dirombak. Ali Sadikin dulu
bahkan memberi biaya untuk memugar benda sejarah tersebut
menurut model semula.
Demikianlah di tanah air kita mengcnal bukan main banyaknya
mesjid-mesjid yang makin lama sebenarnya makin berharga. Di
Tuban, di Sumenep, di Yogya, Sala, Demak, Kudus, mesjid Rao Rao
di Batusangkar, mesjid Ganting di Padang, mesjid Sumanik di
Tanah Datar, mesjid Sarik di Bukittinggi, mesjid Sumpur, Minang,
mesjid di Riau, mesjid Ulheelheueyang khas, mesjid Pekalongan
yang merupakan gabungan arsitektur Mughal India dan pribumi, dan
sebagaina, dan sebagainya, yang semuanya menunjukkan betapa
Islam telah mencapai taraf orthogenetik -- telah benar-benar
menjadi budaya sendiri dengan pelahiran-pelahirannya sendiri.
Bila bangunan-bangunan itu tak dilindungi, dan semuanya akan
dirubah menjadi kubah-kubah modern bak mesjid Istiqlal atau Al
Azhar, kita boleh satu waktu nanti terbangun dalam keadaan
kehilangan. Agama Islam akan terasa ak punya bekas apa-apa
dalam perjalanan sejarah. Dan bangsa ini seakan tak punya warna
sendiri dalam arsitektur keagamaan mereka.
Siapa yang harus bertanggungjawab -- lebih-lebih bila semangat
menggusur itu tidak hanya menimpa mesjid?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini