Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Perlu Adaptasi, Tapi Masih Mujur

Pemulangan dokter-dokter Indonesia yang belajar & bekerja di Jerman Barat harus menjalani masa adaptasi yang sudah ditentukan oleh Dep. Kesehatan dan P & K. Untuk menilai relevansinya dengan kebutuhan Indonesia. (pdk)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER-DOKTER Indonesia di Jerman Barat akan pulang, walaupun bukan karena kemauan sendiri. 289 orang jumlah mereka, sebagian besar sedang menyelesaikan pendidikan spesialis. Mendalami sesuanl bidang keahlian bagi orang asing di Jerman sekarang ini, mungkin tidak menjadi soal. Yang jadi bahan fikiran pemerintah di sana adalah lapangan kerja yang jadi sempit buat anak negeri sendiri. Sebab ternyata dokter-dokter kita itu memang bekerja di sana. Di berbagai rumahsakit -- sekalipun tarifnya lebih murah dari dokter Jerman sendiri. Pemulangan dokter Indonesia itu kelihatannya sebagai persiapan dalam rangka usaha pemerintah Jerman untuk membatasi kesempatan kerja bagi orang asing. Sebagaimana dirancang dalam undang-undang tenaga kerja yang diharapkan akan berlaku Oktober tahun depan. Meskipun terkadang dalam berbagai pertemuan dengan pejabat-pejabat Indonesia, seperti Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan, dr Djaka Sutadiwiria akhir tahun 1977, orang-orang Jerman juga mengetengahkan alasan lain: kecemasan tentang terserapnya ahli-ahli dari negara berkembang ke negara maju. Ini juga yang dikhawatirkan oleh WHO. Di samping tenaga dokter, jumlah mahasiswa kedokteran Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Jerman memang cukup besar. 657 orang. Ini merupakan jumlah mahasiswa asing terbesar yang berada di seluruh Republik Federasi Jerman. Mereka membanjir ke sana sekitar tahun 60-an, ketika menjadi calon mahasiswa kedokteran di fakultas kedokteran di Indonesia begitu sulit. Waktu itu di Jerman kesempatan untuk jadi mahasiswa kedokteran memang terbuka, ditambah pula dengan kesempatan kerja, sekalipun kerja kasar. Pemerintah Jerman rupanya ketika itu belum melihat lapangan kerja yang jadi menyempit untuk angkatan kerjanya sendiri, dan baru menyadari ancaman dari tenaga asing tersebut sejak krisis enerji tahun 1974. Pemerintah Indonesia yang memang memerlukan lebih banyak dokter untuk menolong rakyat, menyambut kepulangan para dokter dari Jerman itu. Apalagi pemerintah Jerman sudah menyatakan kesediaan untuk menanggung 80% dari ongkos pulang para dokter tadi. Malahan mereka dapat uang saku lagi. Yang masih bujangan dijanjikan bantuan DM 500 dan yang berkeluarga DM 800. Tetapi kedatangan mereka tidak bisa begitu saja langsung berpraktek. Harus menjalani masa adaptasi seperti yang sudah ditentukan oleh Departemen Kesehatan dan P&K. Di samping itu, ijazah mereka akan diteliti kembali oleh Panitia Penilaian Ijazah luar negeri. Masa adaptasi tersebut memakan waktu setahun untuk dokter umum dan setengah tahun untuk dokter ahli. "Adaptasi ini bukan untuk membantah ilmunya. Tapi untuk menilai relevansi antara ilmu yang mereka pelajari di Jerman dengan kebutuhan Indonesia," kata Menteri P&K Daoed Joesoef. Otak Dan Jantung Mahasiswa yang dididik di Jerman, kata Daoed Joesoef, tentu saja dipersiapkan untuk bekerja di sana. Maka bisa terjadi perbedaan syllabus antara fakultas kedokteran di Jerman dengan di Indonesia. Meskipun tidak semua mata kuliah berbeda dengan yang di Indonesia. "Misalnya letak otak dan jantung. Di Jerman dan di Indonesia 'kan sama." katanya berseloroh. Masa adaptasi tersebut menjadi cukup penting mengingat mata kuliah kedokteran di Jerman tidak mempelajari penyakit tropis, seperti patek, cacing atau kekurangan gizi. "Memang lucu juga nantinya kalau mereka sudah praktek di Indonesia tapi tak tahu tentang penyakit tropis," kata Max Hendrawan, 30 tahun, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Johannes Gutenberg Universitat-Mainz. Ia sedang dalam perjalanan libur bersama 80 temannya dalam rombongan Perhimpunan Pelajar Indonesia Jerman Barat, Agustus yang lalu. Untuk mengatasi kekurangan dokter lulusan Jerman itu, pemerintah RFD yang paling berkepentingan dalam pemulangan tersebut, memang akan membekali para dokter tadi dengan ilmu kedokteran tropis. "llmu penyakit tropis tersebut akan diberikan oleh tenaga ahli dari Wl 1o. Dengan demikian para dokter tersebut tidak akan mengalami banyak kesulitan setibanya di Indonesia," urai Helge Muhl. Nyonya dari Jerman ini sengaja datang ke Indonesia Agustus lalu untuk mengurus kepulangan dokter-dokter tadi. Ia adalah salah seorang pimpinan dari Friedrich Thieding Stiftung/Hartmannbund, sebuah yayasan yang ditunjuk pemerintah Jerman untuk mengurus kepulangan dokter Indonesia. Masa adaptasi yang setahun untuk dokter umum dan setengah tahun untuk dokter ahli bisa saja diperpanjang. "Kalau di salah satu bidang dokter lulusan Jerman ini dinilai kurang, maka masa adaptasinya harus diperpanjang," kata Prof. Adri Rasad, ketua panitia adaptasi luar negeri. Dan kalaupun terjadi masa perpanjangan adaptasi tersebut, biasanya dokter Jerman itu tidak keberatan. "Biasanya mereka kurang dalam ilmu kesehatan masyarakat," kata Prof Adri lagi. Kenyataan tersebut rupanya dia tarik dari pengalaman adaptasi 7 dari 21 dokter yang datang dari RFD. Dokter Lokal Meskipun mereka harus menjalani masa adaptasi, nasib dokter dari Jerman ini memang mujur dibandingkan dengan calon-calon dokter dari fakultas swasta yang ada di sini. Sebab sekalipun mereka telah lulus dari universitas yang bersangkutan, mereka harus berhadapan dengan ujian yang diselenggarakan oleh Consortium of Medical Sciences. Tanpa tanda lulus dari ujian CMS tersebut tak seorang lulusan fakultas swasta yang sah gelar dokternya. Untuk mahasiswa kedokteran swasta ujian tersebut sangat berat. "Andainya anak FKUI pun mungkin tak bisa lulus," kata seorang mahasiswa kedokteran Trisakti. Malahan kabarnya ada seorang mahasiswa kedokteran swasta tingkat akhir yang putar haluan masuk ke Fakultas Ekonomi UI, gara-gara tak lulus dari ujian CMS. Padahal, dokter dari Jerman itu bebas dari ujian serupa. Maka tidak heran kalau dr Tony Setiabudhi, Ketua Kelompok IDI-Trisaksi menulis surat ke harian Kompas pekan lahn "Sampai saat ini masih tertumpuk ratusan dokter-dokter lokal yang sebe narnya telah lulus ujian di fakultas kedokteran swasta, yang nota bene diuji oleh staf pengajar negeri. Mereka sedang menunggu nasib.... Apakah mereka itu pun tidak berhak dijadikan dokter dalam waktu yang pantas?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus