DOKTER-DOKTER Indonesia di Jerman Barat akan pulang, walaupun
bukan karena kemauan sendiri. 289 orang jumlah mereka, sebagian
besar sedang menyelesaikan pendidikan spesialis.
Mendalami sesuanl bidang keahlian bagi orang asing di Jerman
sekarang ini, mungkin tidak menjadi soal. Yang jadi bahan
fikiran pemerintah di sana adalah lapangan kerja yang jadi
sempit buat anak negeri sendiri. Sebab ternyata dokter-dokter
kita itu memang bekerja di sana. Di berbagai rumahsakit --
sekalipun tarifnya lebih murah dari dokter Jerman sendiri.
Pemulangan dokter Indonesia itu kelihatannya sebagai persiapan
dalam rangka usaha pemerintah Jerman untuk membatasi kesempatan
kerja bagi orang asing. Sebagaimana dirancang dalam
undang-undang tenaga kerja yang diharapkan akan berlaku Oktober
tahun depan. Meskipun terkadang dalam berbagai pertemuan dengan
pejabat-pejabat Indonesia, seperti Sekretaris Jenderal
Departemen Kesehatan, dr Djaka Sutadiwiria akhir tahun 1977,
orang-orang Jerman juga mengetengahkan alasan lain: kecemasan
tentang terserapnya ahli-ahli dari negara berkembang ke negara
maju. Ini juga yang dikhawatirkan oleh WHO.
Di samping tenaga dokter, jumlah mahasiswa kedokteran Indonesia
yang sedang menuntut ilmu di Jerman memang cukup besar. 657
orang. Ini merupakan jumlah mahasiswa asing terbesar yang berada
di seluruh Republik Federasi Jerman. Mereka membanjir ke sana
sekitar tahun 60-an, ketika menjadi calon mahasiswa kedokteran
di fakultas kedokteran di Indonesia begitu sulit. Waktu itu di
Jerman kesempatan untuk jadi mahasiswa kedokteran memang
terbuka, ditambah pula dengan kesempatan kerja, sekalipun kerja
kasar.
Pemerintah Jerman rupanya ketika itu belum melihat lapangan
kerja yang jadi menyempit untuk angkatan kerjanya sendiri, dan
baru menyadari ancaman dari tenaga asing tersebut sejak krisis
enerji tahun 1974.
Pemerintah Indonesia yang memang memerlukan lebih banyak dokter
untuk menolong rakyat, menyambut kepulangan para dokter dari
Jerman itu. Apalagi pemerintah Jerman sudah menyatakan kesediaan
untuk menanggung 80% dari ongkos pulang para dokter tadi.
Malahan mereka dapat uang saku lagi. Yang masih bujangan
dijanjikan bantuan DM 500 dan yang berkeluarga DM 800.
Tetapi kedatangan mereka tidak bisa begitu saja langsung
berpraktek. Harus menjalani masa adaptasi seperti yang sudah
ditentukan oleh Departemen Kesehatan dan P&K. Di samping itu,
ijazah mereka akan diteliti kembali oleh Panitia Penilaian
Ijazah luar negeri.
Masa adaptasi tersebut memakan waktu setahun untuk dokter umum
dan setengah tahun untuk dokter ahli. "Adaptasi ini bukan untuk
membantah ilmunya. Tapi untuk menilai relevansi antara ilmu yang
mereka pelajari di Jerman dengan kebutuhan Indonesia," kata
Menteri P&K Daoed Joesoef.
Otak Dan Jantung
Mahasiswa yang dididik di Jerman, kata Daoed Joesoef, tentu saja
dipersiapkan untuk bekerja di sana. Maka bisa terjadi perbedaan
syllabus antara fakultas kedokteran di Jerman dengan di
Indonesia. Meskipun tidak semua mata kuliah berbeda dengan yang
di Indonesia. "Misalnya letak otak dan jantung. Di Jerman dan di
Indonesia 'kan sama." katanya berseloroh.
Masa adaptasi tersebut menjadi cukup penting mengingat mata
kuliah kedokteran di Jerman tidak mempelajari penyakit tropis,
seperti patek, cacing atau kekurangan gizi. "Memang lucu juga
nantinya kalau mereka sudah praktek di Indonesia tapi tak tahu
tentang penyakit tropis," kata Max Hendrawan, 30 tahun,
mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Johannes Gutenberg
Universitat-Mainz. Ia sedang dalam perjalanan libur bersama 80
temannya dalam rombongan Perhimpunan Pelajar Indonesia Jerman
Barat, Agustus yang lalu.
Untuk mengatasi kekurangan dokter lulusan Jerman itu, pemerintah
RFD yang paling berkepentingan dalam pemulangan tersebut, memang
akan membekali para dokter tadi dengan ilmu kedokteran tropis.
"llmu penyakit tropis tersebut akan diberikan oleh tenaga ahli
dari Wl 1o. Dengan demikian para dokter tersebut tidak akan
mengalami banyak kesulitan setibanya di Indonesia," urai Helge
Muhl.
Nyonya dari Jerman ini sengaja datang ke Indonesia Agustus lalu
untuk mengurus kepulangan dokter-dokter tadi. Ia adalah salah
seorang pimpinan dari Friedrich Thieding Stiftung/Hartmannbund,
sebuah yayasan yang ditunjuk pemerintah Jerman untuk mengurus
kepulangan dokter Indonesia.
Masa adaptasi yang setahun untuk dokter umum dan setengah tahun
untuk dokter ahli bisa saja diperpanjang. "Kalau di salah satu
bidang dokter lulusan Jerman ini dinilai kurang, maka masa
adaptasinya harus diperpanjang," kata Prof. Adri Rasad, ketua
panitia adaptasi luar negeri. Dan kalaupun terjadi masa
perpanjangan adaptasi tersebut, biasanya dokter Jerman itu tidak
keberatan. "Biasanya mereka kurang dalam ilmu kesehatan
masyarakat," kata Prof Adri lagi. Kenyataan tersebut rupanya dia
tarik dari pengalaman adaptasi 7 dari 21 dokter yang datang dari
RFD.
Dokter Lokal
Meskipun mereka harus menjalani masa adaptasi, nasib dokter dari
Jerman ini memang mujur dibandingkan dengan calon-calon dokter
dari fakultas swasta yang ada di sini. Sebab sekalipun mereka
telah lulus dari universitas yang bersangkutan, mereka harus
berhadapan dengan ujian yang diselenggarakan oleh Consortium of
Medical Sciences. Tanpa tanda lulus dari ujian CMS tersebut tak
seorang lulusan fakultas swasta yang sah gelar dokternya.
Untuk mahasiswa kedokteran swasta ujian tersebut sangat berat.
"Andainya anak FKUI pun mungkin tak bisa lulus," kata seorang
mahasiswa kedokteran Trisakti. Malahan kabarnya ada seorang
mahasiswa kedokteran swasta tingkat akhir yang putar haluan
masuk ke Fakultas Ekonomi UI, gara-gara tak lulus dari ujian
CMS. Padahal, dokter dari Jerman itu bebas dari ujian serupa.
Maka tidak heran kalau dr Tony Setiabudhi, Ketua Kelompok
IDI-Trisaksi menulis surat ke harian Kompas pekan lahn "Sampai
saat ini masih tertumpuk ratusan dokter-dokter lokal yang sebe
narnya telah lulus ujian di fakultas kedokteran swasta, yang
nota bene diuji oleh staf pengajar negeri. Mereka sedang
menunggu nasib.... Apakah mereka itu pun tidak berhak dijadikan
dokter dalam waktu yang pantas?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini