Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Dari Redaksi

Napak tilas

Untuk bahan laput pahlawan proklamator, tempo napak tilas di perpustakaan, lewat buku-buku tentang bung karno dan bung hatta. wawancara dengan para janda bung karno. ditulis oleh salim said, dll. (sdr)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGERA setelah keputusan penganugerahan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta diumumkan, awal pekan lalu, perintah napak tilas rute perjuangan kedua tokoh itu segera pula dikeluarkan Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad. Itu artinya sebuah Laporan Utama tentang dwitunggal itu harus disiapkan. Tentu saja, tim Laporan Utama Pahlawan Proklamator ini, yang dikoordinasikan Redaktur Pelaksana Yusril Djalinus, tidak harus napak tilas ke daerah pengasingan mereka: Lembaga Pemasyarakatan Bantjeui, Bandung Ende Bengkulu Bangka atau sampai ke Boven Digul, Irian Jaya. Tapi tim cukup napak tilas di perpustakaan -- lewat buku-buku yang mengisahkan sepak terjang Bung Karno dan Bung Hatta di masa lalu. Ternyata, banyak kisah tentang kedua tokoh itu yang belum terekam dalam buku sejarah nasional kita. Antara lain: Betulkah Bung Karno pernah minta ampun pada pemerintah Hindia Belanda? Betulkah ia berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jepang? Betulkah ia ditodong para pemuda agar memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945? Mengapa ia tak jadi bergerilya? Mengapa Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah? Mengapa Bung Karno tidak mau membubarkan PKI setelah kudeta G-30-S gagal? Salim Said, yang telah melakukan studi mengenai hal itu untuk tesis doktor ilmu politik pada Ohio State University, Columbus, AS, menuliskannya untuk bagian pertama Laporan Utama ini. Tentu tak semua bahan diperoleh lewat napak tilas di perpustakaan. Sejumlah reporter juga dikerahkan untuk melakukan wawancara dengan para janda Bung Karno, tokoh yang mengenal maupun pernah bekerja sama dalam pemerintahan dengan Almarhum, sampai generasi yang lahir sesudah Proklamator itu meninggal pada 1970. Reporter Bunga Surawijaya, misalnya, berhasil mewawancarai Yurike Sanger, salah seorang janda Bung Karno, yang baru saja tiba dari Negeri Belanda di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Selasa pagi pekan ini. Bagian yang menampilkan gallery kawan maupun lawan politik Bung Karno ini ditulis oleh Putu Setia, yang ketika berusia 14 tahun telah mengutip ajaran Almarhum untuk pidatonya di depan anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) di Bali, tanpa paham apa isi pesan yang disampaikannya. Putu, kini 35, ketika itu menjabat sebagai Ketua GSNI Komisariat SMPN Bajera. Di Blitar, tempat Bung Karno dimakamkan, pemberian gelar Pahlawan Proklamator itu tampak mempunyai arti tersendiri bagi pengagum Almarhum. Reporter Jalil Hakim dan M. Baharun melaporkan, pada Minggu Kliwon, minggu pertama setelah penganugerahan gelar, terlihat ratusan orang melakukan tahlilan di makam Bung Karno. Di Tanah Kusir, Jakarta, tempat Bung Hatta dikuburkan, juga terlihat sejumlah orang berziarah Tari tak ceramai di Blitar, tentu. Kisah perjuangan Bung Hatta sampai konfliknya dengan Bung Karno ditulis James R. Lapian, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, yang lebih senang main musik dan film ketimbang jadi politisi sebagaimana Bung Karno dan Bung Hatta yang dikaguminya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus