Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Nostalgia di surau

Lomba diadakan di bina ria-pasar seni ancol. 10 orang finalis beradu kepandaian, penonton berjubel. soal nilai panitia masih meraba-raba.

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESERTA finalis nomor sepuluh maju. Pasangan Hadi Subianto dan Yoyok Sunaryo malam itu mengenakan pakaian Madura. Keduanya memberi hormat kepada penonton yang berjubel. Kemudian mendekati salah satu dari empat bedug yang disediakan untuk para peserta lomba menabuh bedug itu. Tepuk tangan paling riuh dari penonton, menyelingi duet Hadi (36 tahun, dan Yoyok (23 tahun). Kerjasama keduanya cukup kompak. Kalau Hadi menabuh, Yoyok menyeling dengan kotekan. Dengan gaya yang pas, keduanya bergantian menabuh bedug atau kotekan dan melahirkan suara yang khas. Dan duet penabuh bedug ini berhasil menang sebagai juara I Festival Bedug 10 Februari lalu di Bina Ria, Jakarta, dalam rangka Lustrum I Pasar Seni Ancol. "Mulanya kami deg-degan, takut ndak ada yang ikut," kata Sampan Hismanto salah seorang pemrakarsa dan juga anggota juri festival. Ternyata animo peserta cukup menggembirakan. Pada babak penyisihan, tercatat 46 peserta, 5 di antaranya peserta kelompok. Dari jumlah itu, 28 peserta terdiri orang dari Pasar Seni sendiri, yang biasanya jadi pematung, pelukis, penjaga kios atau yang pernah jadi dalang wayang. Bahkan ada 4 orang peserta wanita, sayang semuanya gugur dalam tahap penyisihan. Yang berhasil maju ke babak final cuma 10 peserta. Panitia lustrum yang mencetuskan festival bedug ini tampaknya masih meraba-raba. Syarat peserta biasa saja dan cuma disebut "usia di atas 17 tahun". Dalam babak penyisihan ditentukan, untuk perorangan diberikan waktu menabuh 5 menit dan peserta kelompok 7,5 menit. "Eh, ternyata waktu segitu kelamaan," kata Waluyo, anggota juri. Memang tak ada keharusan peserta memukul bedug selama menit-menit tersebut. "Tetapi mereka gengsi to," kata Waluyo, "biarpun tangan yang memalu-malu bedug telah pegal." Akibatnya, pukulan jadi kendur, bahkan terdengar sumbang. Walhasil nilai jadi berkurang. "Kami memang masih meraba-raba untuk menentukan nilai," kata salah seorang panitia lustrum. Sehingga setiap ada yang tidak pas, diubah. Demikian pula ketentuan waktu di malam final diperpendek. Peserta kelompok boleh menghabiskan waktu 5 menit dan peserta perseorangan 4 menit. "Ya, maklumlah, ini pengalaman baru bagi kami," kata Danarto, salah seorang juri. Tambah Danarto: "Menabuh bedug, bisa diarahkan pada rasa khidmad beragama dan kesenian." Bedug yang ditabuh disusul teriakan muazin untuk adzan, memang mempunyai arti khidmad bagi umat Islam. Tapi lomba menabuh bedug kali ini cenderung untuk mengingatkan peserta akan masa kecil mereka di kampung halaman di surau. Terutama di malam-malam bulan puasa menjelang Ramadhan. Misalnya Hadi yang juga meraih juara II (dia turut sebagai peserta perseorangan dan peserta kelompok) ingat masa kecilnya di sebuah surau di Probolinggo (Ja-Tim). "Juga karena keislamannya," tambah Hadi. Gaya Koboi "Saya juga ingat waktu kecil suka ngadulag," kata Zen Arif (35 tahun) anak kiai asal Cianjur. Ngadulag adalah bahasa Sunda, artinya menabuh bedug di malam-malam bulan puasa. Selama 27 tahun, Zen Arif. "kangen" akan tabuhan bedug ini dan dia cukup gembira bisa menabuhnya kembali walaupun dia tidak menang. Panitia juga tidak menentukan bentuk pakaian, gaya menabuh bedug atau ketentuan lainnya. Karena itu, pakaian peserta juga macam-macam. Ada peserta yang mengenakan celana jean belel dan topi gaya koboi. Peserta wanita juga sebagian besar mengenakan celana panjang. Di desa ataupun di kota-kota kecil, wanita tidak lumrah menabuh bedug. "Tahun depan, kami akan buat lagi," kata seorang panitia, "karena terbukti animo cukup tinggi." Tentunya, dengan patokan-patokan yang lebih mantap dan baik. Sehingga ragam dan langgam tabuhan akan terdengar jelas. Tidak seperti lomba pertama ini. Ada peserta yang menabuh bedug seperti panggilan untuk bersembahyang, ada tabuhan seperti bedug untuk sahur. Bahkan tidak jarang, ada peserta yang menabuh bedug seperti suara tambur pada drumband. Lebih parah lagi, ada dugdug-tokcer seperti barongsai akan lewat. "Tapi menabuh bedug betul-betul membangkitkan nostalgia masa kecil di surau," kata salah seorang peserta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus