PESERTA finalis nomor sepuluh maju. Pasangan Hadi Subianto dan
Yoyok Sunaryo malam itu mengenakan pakaian Madura. Keduanya
memberi hormat kepada penonton yang berjubel. Kemudian mendekati
salah satu dari empat bedug yang disediakan untuk para peserta
lomba menabuh bedug itu.
Tepuk tangan paling riuh dari penonton, menyelingi duet Hadi (36
tahun, dan Yoyok (23 tahun). Kerjasama keduanya cukup kompak.
Kalau Hadi menabuh, Yoyok menyeling dengan kotekan. Dengan gaya
yang pas, keduanya bergantian menabuh bedug atau kotekan dan
melahirkan suara yang khas. Dan duet penabuh bedug ini berhasil
menang sebagai juara I Festival Bedug 10 Februari lalu di Bina
Ria, Jakarta, dalam rangka Lustrum I Pasar Seni Ancol.
"Mulanya kami deg-degan, takut ndak ada yang ikut," kata Sampan
Hismanto salah seorang pemrakarsa dan juga anggota juri
festival. Ternyata animo peserta cukup menggembirakan. Pada
babak penyisihan, tercatat 46 peserta, 5 di antaranya peserta
kelompok. Dari jumlah itu, 28 peserta terdiri orang dari Pasar
Seni sendiri, yang biasanya jadi pematung, pelukis, penjaga kios
atau yang pernah jadi dalang wayang. Bahkan ada 4 orang peserta
wanita, sayang semuanya gugur dalam tahap penyisihan. Yang
berhasil maju ke babak final cuma 10 peserta.
Panitia lustrum yang mencetuskan festival bedug ini tampaknya
masih meraba-raba. Syarat peserta biasa saja dan cuma disebut
"usia di atas 17 tahun". Dalam babak penyisihan ditentukan,
untuk perorangan diberikan waktu menabuh 5 menit dan peserta
kelompok 7,5 menit. "Eh, ternyata waktu segitu kelamaan," kata
Waluyo, anggota juri. Memang tak ada keharusan peserta memukul
bedug selama menit-menit tersebut. "Tetapi mereka gengsi to,"
kata Waluyo, "biarpun tangan yang memalu-malu bedug telah
pegal." Akibatnya, pukulan jadi kendur, bahkan terdengar
sumbang. Walhasil nilai jadi berkurang.
"Kami memang masih meraba-raba untuk menentukan nilai," kata
salah seorang panitia lustrum. Sehingga setiap ada yang tidak
pas, diubah. Demikian pula ketentuan waktu di malam final
diperpendek. Peserta kelompok boleh menghabiskan waktu 5 menit
dan peserta perseorangan 4 menit. "Ya, maklumlah, ini pengalaman
baru bagi kami," kata Danarto, salah seorang juri. Tambah
Danarto: "Menabuh bedug, bisa diarahkan pada rasa khidmad
beragama dan kesenian."
Bedug yang ditabuh disusul teriakan muazin untuk adzan, memang
mempunyai arti khidmad bagi umat Islam. Tapi lomba menabuh bedug
kali ini cenderung untuk mengingatkan peserta akan masa kecil
mereka di kampung halaman di surau. Terutama di malam-malam
bulan puasa menjelang Ramadhan. Misalnya Hadi yang juga meraih
juara II (dia turut sebagai peserta perseorangan dan peserta
kelompok) ingat masa kecilnya di sebuah surau di Probolinggo
(Ja-Tim). "Juga karena keislamannya," tambah Hadi.
Gaya Koboi
"Saya juga ingat waktu kecil suka ngadulag," kata Zen Arif (35
tahun) anak kiai asal Cianjur. Ngadulag adalah bahasa Sunda,
artinya menabuh bedug di malam-malam bulan puasa. Selama 27
tahun, Zen Arif. "kangen" akan tabuhan bedug ini dan dia cukup
gembira bisa menabuhnya kembali walaupun dia tidak menang.
Panitia juga tidak menentukan bentuk pakaian, gaya menabuh bedug
atau ketentuan lainnya. Karena itu, pakaian peserta juga
macam-macam. Ada peserta yang mengenakan celana jean belel dan
topi gaya koboi. Peserta wanita juga sebagian besar mengenakan
celana panjang. Di desa ataupun di kota-kota kecil, wanita tidak
lumrah menabuh bedug. "Tahun depan, kami akan buat lagi," kata
seorang panitia, "karena terbukti animo cukup tinggi." Tentunya,
dengan patokan-patokan yang lebih mantap dan baik. Sehingga
ragam dan langgam tabuhan akan terdengar jelas. Tidak seperti
lomba pertama ini. Ada peserta yang menabuh bedug seperti
panggilan untuk bersembahyang, ada tabuhan seperti bedug untuk
sahur. Bahkan tidak jarang, ada peserta yang menabuh bedug
seperti suara tambur pada drumband. Lebih parah lagi, ada
dugdug-tokcer seperti barongsai akan lewat. "Tapi menabuh bedug
betul-betul membangkitkan nostalgia masa kecil di surau," kata
salah seorang peserta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini