TAK banyak yang menarik di pedalaman Bengkulu. Yang pasti
desa-desa bertebaran di sela-sela hutan perawan. Tak kurang
pasti pula kebanyakan dari desa-desa itu terpencil, terkurung
karena banyak jalan belum rapi, orang-orang kota tentu enggan
berkunjung. Paling-paling jika musim duren, barulah pedalaman
banyak dikunjungi orang, semata-mata karena harga buah itu lebih
murah dibanding di kota.
Di Kabupaten Bengkulu Selatan, ada sebuah marga bernama Marga
Andalas. Di antara desa yang dibawahinya tersebutlah desa-desa
Talang Benuang dan Talang Giring. Pada suatu malam di bulan
April 1975 lampau, hujan badai telah memusnahkan 3 kepala
keluarga (9 jiwa) penghuni kedua desa itu. Keluarga-keluarga
yang naas itu mendiami rumah mereka di lereng Bukit Benuang.
Karena tanah bukit longsor rumah-rumah mereka jatuh ke danau di
bawah dan hanyut.
Tak lama berfikir, nasib 50 KK kedua desa tadi segera menjadi
perhatian pihak Pemerintah Daerah Bengkulu. Maka diputuskanlah?
penghuni desa-desa itu harus dicarikan tempat pemukiman baru, di
Sukaraja, masih terbilang Marga Andalas juga - kurang lebih 30
km dari kta Bengkulu. Pihak Direktorat PMD Bengkulu juga dengan
cekatan membangun 50 buah rumah untuk penghuni pindahan itu.
Sebuah pemborong untuk mendirikan rumah-rumah itupun dengan
cepat ditunjuk.
Jenderal
Tapi entah mengapa, ketika tiba saatnya, penghuni-penghuni baru
itu harus pundah, hanya 20 buah rumah yang siap. Lalu
dipindahkanlah 20 KK. Dan selebihnya hingga akhir bulan lalu tak
ketahuan nasibnya. Tapi yang pasti kerangka-kerangka bangunan
rumah yang belum jadi itu sudah lapuk dimakan waktu. Ada juga
penghuni baru yang menyusul pindah meskipun dengan susah payah
menyelesaikan sendiri rumah yang tak rampung itu. Namun agak
lucu juga, bahwa di antara penghuni di proyek desa Sukaraja itu
terdapat juga mereka yang bukan berasal dari Talang Benuang dan
Talang Giring.
Drs. Aminuddin Malintak, selaku pimpinan proyek pemukiman itu,
maupun beberapa pejabat di kantor Gubernur Bengkulu,mencoba
mengelak ketika ditanyakan mengenvai terlantarnya proyek
Sukaraja itu. Tapi setelah menyebut-nyebut nama beberapa
jenderal di Jakarta sebagai pelindungnya, akhirnya Aminuddin
mengatakan bahwa terlantarnya proyek tersebut antara lain karena
perubahan DIP (Dafar Isian Proyek). Misalnya, begitu tambah
Aminuddin, biaya pembuatan rumah untuk proyek itu jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan ongkos pembangunan rumah di
proyek transrmigrasi. Tapi diungkapkannya juga kesulitan
mendapatkan kayu/papan dan mencari tenaga kerja, tanpa menyebut
tanggungjawab pemborong yang telah ditunjuk untuk
menyelesaikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini