BULAN lalu, Gedung Kebangkitan Nasional (Jakarta) penuh hingar
oleh teriakan lebih dari 100 orang "tukang pidato". Ada 128
peminat untuk memeriahkan Pekan Pidato Kesadaran Nasional ke-II,
6 orang di antaranya diminta untuk "memperbaiki" naskah yang
mereka serahkan kepada panitya. Hanya 2 orang yang memenuhi
permintaan tersebut dan 4 lainnya, enggan memenuhinya. Artinya
yang 4 ini di-w.o., kalau seumpamanya dia mau bertanding tinju.
Naskah-naskah yang dianggap tidak memenuhi syarat itu dianggap
"menyimpang dari thema yang ditentukan panitya." Empat naskah
yang pembuatnya tidak muncul lagi misalnya, penuh berisi nada
putus asa akan keadaan dewasa ini dan juga dikarenakan mereka
ini tidak setuju kalau generasi muda harus mewarisi nilai-nilai
perjoangan '45, "karena generasi pewarisnya sudah bobrok."
Wakil Presiden Adam Malik yang membuka Pekan Lomba Pidato ini
memang ada menandaskan bahwa "tidak semua pidato bermanfaat bagi
masyarakat." Tambahnya lagi, pidato yang berguna ialah yang
berisi pandangan baru bagi pendengarnya dan jelas ada
hubungannya dengan masalah yang sedang hidup dalam masyarakat.
Namun hegitu, lomba pidato di Gedung Kebangkitan Nasional memang
tidak sama dengan salah satu sudut di Hyde Park, Kota London, di
mana orang bebas berbicara apa saja. Di sana modalnya cuma
sebuah kotak sabun untuk dijadikan podium, suara lantang dan
penonton (kalau ada), siapapun boleh memaki-maki Perdana Menteri
atau anggota Parlemen yang mana saja.
Tukang Jual Obat
Peserta yang mempunyai nyali memamerkan lagak dan suaranya di
Gedung Kebangkitan Nasional ini, terdiri dari berbagai profesi.
Juga beragam usia. Ada karyawan sebuah departemen, pembawa acara
sebuah klab malam, sampai yang jadi dokterpun ingin menguji
kebolehannya dalam hal berpidato. Lebih dari 60% peserta secara
berapi-api mengenang Hari Kebangkitan Nasional dan organisasi
politik lainnya sampai masa Indonesia merdeka, 1945. Sedikit
saja yang bicara soal masa kini dan masa mendatang.
Dari 124 orang peserta, 14 orang dinyatakan gugur dalam babak
penyisihan. Sebabnya, sepele saja. Yaitu, ketika tiba pada
giliran, orangnya tak muncul ketika dipanggil. Mungkin
berhalangan, mungkin pula nyalinya jadi ciut. Salah seorang dari
yang 14 orang itu misalnya, Christianto Wibisono, penulis buku
"Wawancara imajiner dengan Bung Karno," buku mana kemudian
dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Menurut salah seorang
panitya, mundurnya Chris ini karena "dia merasa rendah diri
melihat penampilan peserta terdahulu.
Tahun ini adalah tahun kedua untuk lomba-lomba macam beginian.
Perlombaan pertama diadakan tahun 1976. Kemungkinan besar karena
masalah keuangan yang tipis, maka lomba pidato tidak ada di
tahun 1977. Atau juga karena menjelang Pemilu, sehingga tidak
patut kalau ada juga lomba pidato di dalam gedung bersejarah
ini, sementara di luar tidak kurang orang berpidato sungguhan.
Gagasan Pekan Pidato itu sendiri, muncul ketika Armein Kelana
(salah seorang Wakil Ketua Badan Pelaksana) nonton tukang jual
obat di sekitar daerah Senen. Ini terjadi setelah peristiwa 15
Januari 1974. Kemudian diikuti larangan untuk mengadakan
demonstrasi, sementara Pemerintah menghendaki adanya komunikasi
dua arah. Larangan ini mengakibatkan masyarakat (muda) tidak
bisa menyatakan sikapnya di tempat-tempat tertentu. Nah,
diperkirakan Pekan Pidato-lah yang akan menampung aspirasi model
beginian.
Tahun 1976 peserta masih terbatas dari Jakarta saja. Waktu itu,
ada 124 orang pendaftar, tapi yang sanggup turut berlomba cuma
67 orang. Tahun ini lebih banyak. Juga ada beberapa peserta dari
luar Jakarta. Bahkan tahun ini, lebih gagah lagi rasanya. Dibuka
oleh Wakil Presiden Adam Malik dan ditutup Menteri Penerangan
Ali Murtopo. Yang terakhir ini bahkan menganjurkan agar panitya
atau badan yang selama ini menyelenggarakan Pekan Pidato ini
dilembagakan saja. Ini memang lebih resmi dan juga lebih mudah
untuk menggali sumber-sumber biaya.
Armein Kelana sendiri menyatakan bahwa dirinya belum puas dengan
juri dan peserta. Tahun 1976 para juri diambil dari kategori
"seluruh unsur masyarakat." Kali ini 70% juri adalah orang
Pemerintah. Ketua juri bahkan dipimpin oleh Letkol. Anas Malik
dari Kodam V Jaya.
Tentang para peserta, Armein mengeluh bahwa sebagian besar
peserta hanya berceritera soal nostalgia. Sebegitu jauh, belum
ada peserta yang mengajukan halhal baru, nilai-nilai baru yang
menyegarkan. Bahkan tidak jarang, mendengar lomba pidato di
Gedung Kebangkitan Nasional ini banyak yang menyangka bahwa
mereka -- para peserta -- adalah calon-calon pengkhotbah Jum'at.
Gayanya, ceriteranya atau memang mereka keluaran dari madrasah.
Tapi semuanya memang serba sulit. Isi pidato tidak bebas. Juga
tidak boleh menyinggung dan menghina agama, kehormatan,
kepercayaan seorang, suku, golongan dan tidak mengganggu
kepentingan umum. Lantas kalau sudah sebegitu banyak jumlah
"tidak boleh", jalan terpendek ialah berpidato mengenai moral!
Juri menilai penampilan tiap peserta dengan meneliti sikap,
gaya, suara dan penguasaan massa, isi pidato dan bahasa. Panjang
pidato dibatasi hanya 10 menit dan harus dibaca tanpa teks. Teks
ada di tangan juri. Begitu lampu menyala kuning, itu adalah
tanda bahwa waktunya hampir habis. Lampu merah berarti dia sudah
harus setop. Penguasaan massa di sini perlu, karena penonton
terdiri dari unsur masyarakat mana saja. Ada orang yang
kebetulan lewat di dekat ruang pidato, terus menonton. Ada
pengikut dari orang yang sedang berpidato. Atau mereka yang
memang dengan tekun duduk di situ karena senang melihat lomba
macam ini. Penontonpun ada yang sering keplok tangan. Dan ini
jangan diartikan keplok tangan karena si pembicara memang
jagoan. Ada tepuk tangan yang kalau dalam istilah Jakarta
berarti ngeledek, atau supaya bikin keder si pembicara. Kalau
dia tidak bisa menguasai massa, kalimat-kalimat si pembicara
lantas tidak karuan biarpun semangat kemudian jadi meninggi!
Tanya jawab antara juri dan peserta perlu diadakan seusai
pidato, sekedar untuk mengetahui siapa pembuat pidato tersebut.
Sering pula, teks pidato sama sekali lain dengan kata-kata yang
diucapkan di atas mimbar. Ada pula yang terus kacau susunan
kalimatnya. Isi pidato jadi tidak karuan. Cuma ada seorang
wanita yang begitu pas antara teks dan kata-kata yang diucapkan
dan untuk hal ini, panitya sampai menyatakan kekagumannya karena
daya ingat yang kuat. Peserta yang lain, berkali-kali me nyebut
kata Srikandi Indonesia dalam pidatonya. Ketika\juri menanyakan
siapa Srikandi pertama yang diterjunkan di Irian Barat, dia
tidak bisa menjawab.
Berjiwa Tempe
Pemenang I wanita untuk tahun ini, Ika Mustikawati Masyrab. Dia
ini pernah menang dalam Lomba Pidato di tahun 1976. Di hari
pembukaan, Ika telah tampil sebagai "contoh dan gong" bahwa
Pekan Lomba Pidato dibuka. Mengenakan kain kebaya dan
berkerudung, suara Ika lantang dan penuh semangat. Ia mengajak
generasi muda untuk maju terus dan pantang mundur. "Wahai
generasi muda, janganlah berjiwa tempe!", katanya. Di mukanya,
keringat bercucuran.
Pemegang piala Rasuna Said ini konon sejak usia 9 tahun sudah
gemar pidato, demikian keterangan orangtuanya. Lomba deklamasi,
puisi, selalu Ika menang. Ditambah lagi dia duduk di SMA
Attahiriyah, Kampung Melayu Ika bisa digembleng jadi tokoh
dakwah. Dengan kebolehannya itu, Ika sering keliling Jawa Barat
memberikan ceramah agama, biarpun sebetulnya Ika tidak senang
duduk di sekolah yang agak mengkhususkan agama. Beberapa kali
sudah, Ika muncul di teve dalam acara pengajian malam Jum'at.
Kini gadis yang bermuka manis ini berusia 20 tahun. Dia sekarang
karyawan Perpustakaan Yayasan Idayu. Ika bahkan hcrkata bahwa
Mas Agung telah memberinya pinjaman uang untuk uang kuliahnya di
Perguruan Tinggi Publisistik. Cita-citanya yang lain ialah ingin
jadi wartawan. Semangatnya untuk tetap menahan piala bergilir
Rasuna Said, cukup besar. Sebab adik-adiknya kini telah
dibimbingnya untuk turut dalam perlombaan tahun mendatang. Yang
membimbing Ika sendiri malahan kakeknya, Mualim Ahmad, pendekar
dari Banten. Tokoh yang dikagumi Ika ialah Bung Karno.
Untuk pihak pria, M. Nur Amin berhasil meraih juara I piala Dr.
Sutomo. Seperti Ika, sejak duduk di sekolah dasar Nur Amin sudah
senang berpidato. Bahkan dia sering jadi khotib sholat Jum'at.
Pidato dianggapnya sebagai media yang paling efektif, ukuran
minimal bila dibandingkan dengan media tulis. Pernah jadi
Pelajar Teladan se-Jakarta, Nur Amin kini duduk di tingkat III
Fakultas Hukum Ibnu Chaldun. Dalam usianya yang 25 tahun, Nur
Amin sebetulnya ingin bekerja. "Sudah saya perjoangkan masuk ke
Kanwil P & K, tapi hingga kini belum berhasil," ujarnya.
Pengagum tokoh Bung Karno dan Napoleon ini pernah turut dalam
rombongan Pemuda Asean ke Jepang.
Juara II wanita, Zulaiha dan juara III wanita Nur'aini. Pemenang
Harapan wanita: Turfah dan Butet Delima. Juara II pria: Asmat
Sumarsido, juara III Kemas Anwar Agus. Kemas ini kerja
sehari-harinya memang seorang pembawa acara di sebuah klab
malam. Juara Harapan pria ialah Achmad Astamar dan dr. M.R.S.
Depari, SKM.
Selain itl, panitya juga menilai siapa-siapa yang muncul dengan
penampilan terbaik (Kemas Anwar Agus), isi pidato terbaik
(Asmat Sumarsido), yang mempunyai bahasa pidato terbaik (Butet
Delima) dan penampilan simpatik (Turfah). Turfah adalah seorang
pelajar SMP kelas I, Butet Delima mahasiswa Fakultas Sastra UI
dan Asmat Sumarsido mengaku sebagai seniman, tapi dalam
pidatonya dia mengajukan persoalan pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini