Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Pada mulanya penjual obat di senen

Gagasan pekan pidato, dari nonton tukang jual obat. peserta lomba pidato ii dari berbagai profesi. persyaratan yang banyak menyebabkan isi pidato tidak bebas. pemenangnya sering berceramah agama. (ils)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN lalu, Gedung Kebangkitan Nasional (Jakarta) penuh hingar oleh teriakan lebih dari 100 orang "tukang pidato". Ada 128 peminat untuk memeriahkan Pekan Pidato Kesadaran Nasional ke-II, 6 orang di antaranya diminta untuk "memperbaiki" naskah yang mereka serahkan kepada panitya. Hanya 2 orang yang memenuhi permintaan tersebut dan 4 lainnya, enggan memenuhinya. Artinya yang 4 ini di-w.o., kalau seumpamanya dia mau bertanding tinju. Naskah-naskah yang dianggap tidak memenuhi syarat itu dianggap "menyimpang dari thema yang ditentukan panitya." Empat naskah yang pembuatnya tidak muncul lagi misalnya, penuh berisi nada putus asa akan keadaan dewasa ini dan juga dikarenakan mereka ini tidak setuju kalau generasi muda harus mewarisi nilai-nilai perjoangan '45, "karena generasi pewarisnya sudah bobrok." Wakil Presiden Adam Malik yang membuka Pekan Lomba Pidato ini memang ada menandaskan bahwa "tidak semua pidato bermanfaat bagi masyarakat." Tambahnya lagi, pidato yang berguna ialah yang berisi pandangan baru bagi pendengarnya dan jelas ada hubungannya dengan masalah yang sedang hidup dalam masyarakat. Namun hegitu, lomba pidato di Gedung Kebangkitan Nasional memang tidak sama dengan salah satu sudut di Hyde Park, Kota London, di mana orang bebas berbicara apa saja. Di sana modalnya cuma sebuah kotak sabun untuk dijadikan podium, suara lantang dan penonton (kalau ada), siapapun boleh memaki-maki Perdana Menteri atau anggota Parlemen yang mana saja. Tukang Jual Obat Peserta yang mempunyai nyali memamerkan lagak dan suaranya di Gedung Kebangkitan Nasional ini, terdiri dari berbagai profesi. Juga beragam usia. Ada karyawan sebuah departemen, pembawa acara sebuah klab malam, sampai yang jadi dokterpun ingin menguji kebolehannya dalam hal berpidato. Lebih dari 60% peserta secara berapi-api mengenang Hari Kebangkitan Nasional dan organisasi politik lainnya sampai masa Indonesia merdeka, 1945. Sedikit saja yang bicara soal masa kini dan masa mendatang. Dari 124 orang peserta, 14 orang dinyatakan gugur dalam babak penyisihan. Sebabnya, sepele saja. Yaitu, ketika tiba pada giliran, orangnya tak muncul ketika dipanggil. Mungkin berhalangan, mungkin pula nyalinya jadi ciut. Salah seorang dari yang 14 orang itu misalnya, Christianto Wibisono, penulis buku "Wawancara imajiner dengan Bung Karno," buku mana kemudian dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Menurut salah seorang panitya, mundurnya Chris ini karena "dia merasa rendah diri melihat penampilan peserta terdahulu. Tahun ini adalah tahun kedua untuk lomba-lomba macam beginian. Perlombaan pertama diadakan tahun 1976. Kemungkinan besar karena masalah keuangan yang tipis, maka lomba pidato tidak ada di tahun 1977. Atau juga karena menjelang Pemilu, sehingga tidak patut kalau ada juga lomba pidato di dalam gedung bersejarah ini, sementara di luar tidak kurang orang berpidato sungguhan. Gagasan Pekan Pidato itu sendiri, muncul ketika Armein Kelana (salah seorang Wakil Ketua Badan Pelaksana) nonton tukang jual obat di sekitar daerah Senen. Ini terjadi setelah peristiwa 15 Januari 1974. Kemudian diikuti larangan untuk mengadakan demonstrasi, sementara Pemerintah menghendaki adanya komunikasi dua arah. Larangan ini mengakibatkan masyarakat (muda) tidak bisa menyatakan sikapnya di tempat-tempat tertentu. Nah, diperkirakan Pekan Pidato-lah yang akan menampung aspirasi model beginian. Tahun 1976 peserta masih terbatas dari Jakarta saja. Waktu itu, ada 124 orang pendaftar, tapi yang sanggup turut berlomba cuma 67 orang. Tahun ini lebih banyak. Juga ada beberapa peserta dari luar Jakarta. Bahkan tahun ini, lebih gagah lagi rasanya. Dibuka oleh Wakil Presiden Adam Malik dan ditutup Menteri Penerangan Ali Murtopo. Yang terakhir ini bahkan menganjurkan agar panitya atau badan yang selama ini menyelenggarakan Pekan Pidato ini dilembagakan saja. Ini memang lebih resmi dan juga lebih mudah untuk menggali sumber-sumber biaya. Armein Kelana sendiri menyatakan bahwa dirinya belum puas dengan juri dan peserta. Tahun 1976 para juri diambil dari kategori "seluruh unsur masyarakat." Kali ini 70% juri adalah orang Pemerintah. Ketua juri bahkan dipimpin oleh Letkol. Anas Malik dari Kodam V Jaya. Tentang para peserta, Armein mengeluh bahwa sebagian besar peserta hanya berceritera soal nostalgia. Sebegitu jauh, belum ada peserta yang mengajukan halhal baru, nilai-nilai baru yang menyegarkan. Bahkan tidak jarang, mendengar lomba pidato di Gedung Kebangkitan Nasional ini banyak yang menyangka bahwa mereka -- para peserta -- adalah calon-calon pengkhotbah Jum'at. Gayanya, ceriteranya atau memang mereka keluaran dari madrasah. Tapi semuanya memang serba sulit. Isi pidato tidak bebas. Juga tidak boleh menyinggung dan menghina agama, kehormatan, kepercayaan seorang, suku, golongan dan tidak mengganggu kepentingan umum. Lantas kalau sudah sebegitu banyak jumlah "tidak boleh", jalan terpendek ialah berpidato mengenai moral! Juri menilai penampilan tiap peserta dengan meneliti sikap, gaya, suara dan penguasaan massa, isi pidato dan bahasa. Panjang pidato dibatasi hanya 10 menit dan harus dibaca tanpa teks. Teks ada di tangan juri. Begitu lampu menyala kuning, itu adalah tanda bahwa waktunya hampir habis. Lampu merah berarti dia sudah harus setop. Penguasaan massa di sini perlu, karena penonton terdiri dari unsur masyarakat mana saja. Ada orang yang kebetulan lewat di dekat ruang pidato, terus menonton. Ada pengikut dari orang yang sedang berpidato. Atau mereka yang memang dengan tekun duduk di situ karena senang melihat lomba macam ini. Penontonpun ada yang sering keplok tangan. Dan ini jangan diartikan keplok tangan karena si pembicara memang jagoan. Ada tepuk tangan yang kalau dalam istilah Jakarta berarti ngeledek, atau supaya bikin keder si pembicara. Kalau dia tidak bisa menguasai massa, kalimat-kalimat si pembicara lantas tidak karuan biarpun semangat kemudian jadi meninggi! Tanya jawab antara juri dan peserta perlu diadakan seusai pidato, sekedar untuk mengetahui siapa pembuat pidato tersebut. Sering pula, teks pidato sama sekali lain dengan kata-kata yang diucapkan di atas mimbar. Ada pula yang terus kacau susunan kalimatnya. Isi pidato jadi tidak karuan. Cuma ada seorang wanita yang begitu pas antara teks dan kata-kata yang diucapkan dan untuk hal ini, panitya sampai menyatakan kekagumannya karena daya ingat yang kuat. Peserta yang lain, berkali-kali me nyebut kata Srikandi Indonesia dalam pidatonya. Ketika\juri menanyakan siapa Srikandi pertama yang diterjunkan di Irian Barat, dia tidak bisa menjawab. Berjiwa Tempe Pemenang I wanita untuk tahun ini, Ika Mustikawati Masyrab. Dia ini pernah menang dalam Lomba Pidato di tahun 1976. Di hari pembukaan, Ika telah tampil sebagai "contoh dan gong" bahwa Pekan Lomba Pidato dibuka. Mengenakan kain kebaya dan berkerudung, suara Ika lantang dan penuh semangat. Ia mengajak generasi muda untuk maju terus dan pantang mundur. "Wahai generasi muda, janganlah berjiwa tempe!", katanya. Di mukanya, keringat bercucuran. Pemegang piala Rasuna Said ini konon sejak usia 9 tahun sudah gemar pidato, demikian keterangan orangtuanya. Lomba deklamasi, puisi, selalu Ika menang. Ditambah lagi dia duduk di SMA Attahiriyah, Kampung Melayu Ika bisa digembleng jadi tokoh dakwah. Dengan kebolehannya itu, Ika sering keliling Jawa Barat memberikan ceramah agama, biarpun sebetulnya Ika tidak senang duduk di sekolah yang agak mengkhususkan agama. Beberapa kali sudah, Ika muncul di teve dalam acara pengajian malam Jum'at. Kini gadis yang bermuka manis ini berusia 20 tahun. Dia sekarang karyawan Perpustakaan Yayasan Idayu. Ika bahkan hcrkata bahwa Mas Agung telah memberinya pinjaman uang untuk uang kuliahnya di Perguruan Tinggi Publisistik. Cita-citanya yang lain ialah ingin jadi wartawan. Semangatnya untuk tetap menahan piala bergilir Rasuna Said, cukup besar. Sebab adik-adiknya kini telah dibimbingnya untuk turut dalam perlombaan tahun mendatang. Yang membimbing Ika sendiri malahan kakeknya, Mualim Ahmad, pendekar dari Banten. Tokoh yang dikagumi Ika ialah Bung Karno. Untuk pihak pria, M. Nur Amin berhasil meraih juara I piala Dr. Sutomo. Seperti Ika, sejak duduk di sekolah dasar Nur Amin sudah senang berpidato. Bahkan dia sering jadi khotib sholat Jum'at. Pidato dianggapnya sebagai media yang paling efektif, ukuran minimal bila dibandingkan dengan media tulis. Pernah jadi Pelajar Teladan se-Jakarta, Nur Amin kini duduk di tingkat III Fakultas Hukum Ibnu Chaldun. Dalam usianya yang 25 tahun, Nur Amin sebetulnya ingin bekerja. "Sudah saya perjoangkan masuk ke Kanwil P & K, tapi hingga kini belum berhasil," ujarnya. Pengagum tokoh Bung Karno dan Napoleon ini pernah turut dalam rombongan Pemuda Asean ke Jepang. Juara II wanita, Zulaiha dan juara III wanita Nur'aini. Pemenang Harapan wanita: Turfah dan Butet Delima. Juara II pria: Asmat Sumarsido, juara III Kemas Anwar Agus. Kemas ini kerja sehari-harinya memang seorang pembawa acara di sebuah klab malam. Juara Harapan pria ialah Achmad Astamar dan dr. M.R.S. Depari, SKM. Selain itl, panitya juga menilai siapa-siapa yang muncul dengan penampilan terbaik (Kemas Anwar Agus), isi pidato terbaik (Asmat Sumarsido), yang mempunyai bahasa pidato terbaik (Butet Delima) dan penampilan simpatik (Turfah). Turfah adalah seorang pelajar SMP kelas I, Butet Delima mahasiswa Fakultas Sastra UI dan Asmat Sumarsido mengaku sebagai seniman, tapi dalam pidatonya dia mengajukan persoalan pertanian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus