BANJIR telah berlalu. Tapi sisa-sisanya semakin nyata di hampir
seluruh Kabupaten Aceh Barat (TEMPO 3 Juni -- Daerah). Dari
udara masih jelas terlihat kawasan Sungai Woyla dan Sungai
Meureubo meninggalkan bekas delta yang luas. Desa-desa tak
berbentuk lagi, kecuali lebih banyak berupa puing-puing
berpencar. Sekitar 27.000 hektar sawah musnah, sementara irigasi
persawahan tak berbekas lagi.
Di Desa Ujung Blang, Kecamatan Sungai Mas, di mana pernah
berdiri sebanyak 276 buah rumah, seluruhnya musnah. Di Kampung
Babah Krueng Telep (Kecamatan Kawai XIV), dari 38 buah rumah
yang ada 17 di antaranya hancur. Penduduknya untung semua
selamat karena sempat memanjat pohon atau atap-atap rumah beton.
"Setelah 34 tahun berada di Meulaboh, belum pernah saya
mengalami banjir sehebat ini," kata Soetan Noerdin Pasariboe,
64, ketika menuturkan banjir dan topan pertengahan bulan lalu
kepada Zakaria M Passe dan Darmansyah dari TEMPO. Pada saat
musibah itu terjadi di beberapa tempat luapan air ke tempat
pemukiman penduduk ada yang mencapai tinggi 5 meter.
Di beberapa tempat terlihat penduduk membenahi barang-barang
mereka yang basah atau rusak kena rendaman air. Ada buku-buku
tua, qur'an-qur'an lama yang menguning dijemur di bekas halaman
rumah.
Dari 14 kecamatan yang ada di Aceh Barat, 9 buah di antaranya
disapu banjir. Dan 4 buah kecamatan dinyatakan paling menderita.
Yaitu Kecamatan Kawai XVI, Woyla, Sungai Mas dan Darul Makmur
dekat perbatasan dengan Aceh Selatan yang selama ini dikenal
sebagai lumbung beras bagi Aceh Barat. Kawasan Kecamatan Kawai
XVI hampir seluruhnya hancur. Di sini juga korban manusia paling
banyak, 10 orang.
Rp 7,8 milyar
Hingga akhir Mei lalu belum terdapat angka pasti berapa jumlah
kerugian. Tapi Saladi Trisnosiswojo dari Tim Kordinasi
Penanggulangan Bencana Alam Aceh Barat menghitung, "setelah
diadakan penataan kembali untuk sementara diketahui jumlah
kerugian mencapai Rp 7,8 milyar." Maksud Saladi yang juga kepala
BRI Cabang Meulaboh itu, masih diharapkan angka-angka pasti dari
daerah-daerah terpencil yang selama ini belum mampu dicapai oleh
tim.
Dari 40.000 orang pengungsi, diperkirakan sekitar ¬ di antaranya
sekarang dalam keadaan terancam. Terutama dalam hal makanan
mereka. Menurut Bupati T. Usman Mahmud yang baru-baru ini
meninjau pelosok pedalaman yang lebih banyak dilakukan dengan
berjalan kaki (karena tak ada sarana perhubungan) persoalan
paling sulit yang dihadapi daerah itu adalah menyampaikan
bantuan bahan pangan bagi penduduk di pelosok-pelosok itu.
Bahkan angka-angka pasti tentang jumlah mereka yang perlu
mendapat bantuan belum diketahui, karena camat setempat belum
berhasil menembus tempat kediaman mereka. Sumber TEMPO di
Kantor Bupati Aceh Barat mengungkapkan kekhawatirannya akan
munculnya bahaya kelaparan dalam beberapa hari ini dan
berkembangnya busung lapar. Indikasi busung lapar mulai
memperlihatkan tanda-tanda antara lain di Desa Kelembah,
Kecamatan Woyla.
Bantuan uang, bahan makanan serta obat-obatan memang sudah
mengalir ke Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat. Berasal dari
berbagai pihak. Di antaranya dari Menteri Sosial dan Menteri PU
di samping Gubcrnur Aceh sendiri. Tapi persoalannya tinggal,
bagaimana menyampaikan bantuan-bantuan itu hingga diterima
langsung oleh mereka yang betul-betul mengharapkannya. Bupati
Usman Mahmud pekan lalu mengungkapkan usaha helikopter Pertamina
untuk mendrop bantuan-bantuan tadi ke dareah-daerah terpencil.
Tapi cara ini rupanya tak cukup cekatan, terutama karena luasnya
daerah yang harus dicapai dan persediaan bahan bakar yang harus
didatangkan dari Polonia Medan.
Usaha bantuan melalui jalan darat ternyata tak banyak memberi
harapan. Langoo, sebuah desa paling menderita di Kccamatan Kawai
XIV misalnya, sampai Senen pekan lalu masih belum dapat ditembus
lewat jalan darat. Daerah-daerah lain sedapat mungkin dicapai
dengan cara estapet. Gagal dengan mobil, dilanjutkan dengan
sepeda motor dengan rakit dan lalu berjalan kaki. Tapi artinya
jumlah bantuan yang dibawa sangat sedikit, belum lagi waktu
terbuang berhari-hari. Ditambah lagi 14 buah rakit desa yang ada
selama ini dan berasal dari dana PMD ikut hanyut dibawa air.
"Padahal rakit-rakit itu merupakan alat perhubungan utama bagi
kami di Aceh Barat ini, tambah Bupati Usman.
Bukan saja upaya agar semua bantuan diterima oleh warga yang
membutuhkan, tapi Juga Bupati Usman mulai menggugah semangat
warganya yang lesu akibat musibah tadi. Karena "ada yang
menyangka kita akan memberi bantuan setiap hari," ucap sang
bupati. Meskipun demikian ada pula penduduk yang tampak
biasa-biasa saja. Warga Kampung Tegalsari di Kecamatan Kawai
XVI, 30 km dari Meulaboh, misalnya, seperti tak hirau akan
kejadian yang baru saja lewat "setiap hari mereka tetap bekerja
di ladang atau sawah, tak hanya menunggu bantuan datang."
Selain itu sebagai Ketua Tim Kordinasi Penanggulangan Bencana
Banjir Aceh Barat, Usman Mahmud dalam kunjungannya ke pelosok
baru-baru ini telah menjewer camat-camat yang lambat mengirim
data bencana di daerahnya. Malahan ada camat yang baru muncul di
desa yang hancur bersamaan ketika rombongan bati sampai di
tempat itu. Dan ia sendiri harus tingak-tinguk menanyakan
angka-angka kerugian kepada penduduk begitu bupati memintanya.
Kepada aparat-aparat pemerintah tingkat bawah ini juga baik
Bupati Usman maupun Danres Aceh Barat mengingatkan agar jangan
sampai mempermainkan bantuan. "Saya tidak menghendaki ada
hal-hal memalukan di daerah saudara," kata Letkol Polisi drs.
Utoro kepada para bawahannya di pedalaman-pedalaman.
Tapi lebih dari semua itu, adalah rencana menyeluruh yang harus
segera dilaksanakan untuk memulihkan daerah bencana itu. Wajah
yang rusak itu harus segera ditata kembali. Bagaimana? "Tunggu
dulu, sedang kami fikirkan," kata Bupati Usman Mahmud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini