Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Senang, bermain dengan orang gendeng

Jack lesmana merekrut teman-teman lamanya sesama musisi jazz, lalu mengadakan pertunjukan antar bangsa di teater terbuka tim. 8 musisi pribumi bergabung dengan 6 musisi asing selama 2 malam dan sukses. (ms)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH beberapa kali pertunjukan disekap di Teater Besar, Jack Lesmana kali ini turun kembali ke Teater Terbuka TIM. Selama dua malam, 27 dan 28 Mei, ia tampil didampingi muka-muka baru. Ada yang berambut pirang, ada juga yang berambut hitam bukan orang Indonesia. Untuk itu ia mengambil nama pertunjukan -- seperti yang selalu dituntut partnernya, TIM -- 'Jack Lesmana Connection'. Lima bendera asing ukuran besar: Amerika, Jerman Barat, Jepang, Australia dan Singapura, digantung di latar belakang pentas. Merah-putihnya, dalam bentuk ikatan bendera-bendera kecil, diletakkan di sayap kiri dan kanan panggung. Penulis folder pertunjukan, Arthur John Horoni, menyebut penampilan itu sebagai "persobatan antara bangsa." Jack memang punya kepandaian dalam merekrut musisi jazz. "Hanya itu kelebihan saya. Punya banyak kawan. Tapi materi saya tidak," kata Jack. Delapan musisi pribumi bergabung dengan 6 musisi asing yang diwakili bendera negara masing-masing, membuka pertunjukan lewat lagu Duke Ellington Take The A Train. (Memang begitu tertulis). Sedap juga mendengar sajian awal ini diberikan dalam bunyi pilihan yang kompak. Satu-satu, dalam kesempatan solo, Jack memperkenalkan para tamunya Peter Wolf (Jerman Barat), Chris Blenkinsop (Australia), Nero dan Eddi Lunggo (Indonesia) -- keempatnya peniup trombon. Ada juga Greg Gibson (diplomat Australia), klarinet. Ed van Ness (Amerika), biola. Louis Tan (Singapura), perkusi. Dan tak ketinggalan biang jazz dari Surabaya Buby Chen yang nangkring di belakang piano, didukung Embong flut dan sax), Perry Patiselano (bas), Benny Mustafa (drum) -- sementara Indra Lesmana (anak Jack) pada piano listrik. Kuat bukan tim ini? Berlian dan Kamiyama Dari sini Jack menyerahkan mik kepada seorang tamunya yang lain, Kamiyama. Air mukanya tenang. Sambil merokok pengusaha muda Jepang ini (mewakili sebuah perusahaan gas di Jakarta) mulai menarik I can't give you: anything but love. Boleh juga suaranya serak-serak berat, salah dengar sedikit tanpa melihat sosoknya, eh, Frank Sinatra, bukan? Ia yang kabarnya pernah bcrgabung dengan beberapa kelompok jazz kenamaan di Jepang, 'diketemukan' Nien Lesmana (isteri Jack) 5 hari sebelum pertunjukan secara kebetulan. Bekas langganan salon kecantikan Nien ternyata punya bos yang menyenangi jazz -- ia hanya kenal nama Jack di Indonesia. Sebagai peminat jazz Kamiyama menyatakan kepada Nien ingin bergabung. "Dia senangnya bukan main. Kayaknya kita sudah berteman lama," Nien menceritakan. Kamiyama yang dalam seloroh menyebut Hinomaru sebagai bloody Japan, menutup penampilannya dengan Undecided (Duke Ellington). Dari muka baru tamu Jack kemudian memberi waktu kepada muka baru jazz pribumi -- tapi sudah dikenal di musik pop -- Berlian Hutauruk. Mengenakan baju model Abunawas warna biru, ia memang tampak lebih siap membawakan lagu pop. Benar juga. Hello Dolly (Barbara Streissand) diselesaikan dengan nafas ngos-ngosan Berlian seolah adu balap dengan iringan musik yang jungkir balik menguntitnya. Hidung Jack, untuk soal begitu, tajam. Malam kedua Hello Dolly yang merepotkan kedua pihak yang harus bahu-membahu itu, digeser. Juga busananya -- meskipun pada babak berikutnya Berlian keluar lagi dengan model Abunawas yang kurang sreg. "Untuk jazz ini saya baru belajar luar dalam. Jangan galak-galak menuntut ah," kata cewek Batak yang tengah sengketa soal kaset Badai Pasti Berlalu ini. Jack memang membutuhkan kehadiran Berlian. Terutama dalam membawakan lagu Musician (Chick Corea): "dibutuhkan seorang penyanyi yang bersuara tinggi. Meskipun instrumen bisa menggantikan peran vokal, tapi dalam aransemen hal itu riskan sekali," kata Jack. Berlian menyelesaikan tugas dalam dua kali permainan yang menarik. Malam pertama ia lebih segar dan konsisten dibanding malam kedua dalam mengimbangi permainan orkestra. Tapi memang dalam kesempatan solo, denan mengandalkan bas, piano dan biola yang kuat, komposisi ini selain melodious juga rumit. Berlian bclum sekuat Mona Sitompul atau Margie Segers. Namun usaha Jack menggaet muka baru ini tampaknya memberi peluang baik. Louis, Ed, Greg dan Buby Yang mungkin mcngejutkan adalah bintang tamu dari Singapura, Louis Soliano Tan. Penabuh dram yang dalam gladi resik kelihatan galak terhadap Buby ini, bertubuh pendek, ternyata bukan orang sembarangan. Duduk di belakang set dram yang nyaris menenggelamkan tubuhnya, ia mendemonstrasikan ketrampilan berikut stamina ototnya lewat beberapa lagu -- terutama dalam komposisi Lisa. Menggebrak ke sana ke mari, menginjak pemukul beduk, eh si Louis masih sempat juga melempar stick ke udara lalu memutar-mutarnya. Bahkan dalam kesempatan melakukan duo dengan Benny Mustafa, ia berani meladeni pemain dram terbaik di Indonesia ini dengan alat musik tradisi yang baru dikenalnya gondang Batak. Sementara Benny mencoba memberikan pukulan-pukulan musik tradisi, seperti bunyi gong dan gamelan Jawa, Louis menyambutnya dengan Improvisasi pukulan eksklusif. Tak heran kalau penonton memberikan tepuk hangat. Dan seorang lelaki yang mempunyai anak penabuh dram dari sebuah kelompok band, malam itu juga menguber Louis ini untuk diminta memberikan kursus kilat. Belum habis orang terkejut, tahu-tahu dengan ikat kepala seutas kain Louis meraih mikrofon. Ia mulai cas-cus sebentar: eee, dari mulutnya meluncur lagu Bluesette (Billy Paul) -- yang didukung Buby (piano), Benny (dram), Perry (bas) dan Jack (gitar). Bagus juga suara dan cara berkomunikasinya dengan penonton -- diselingi dagelan-dagelan pendek. Louis ternyata seorang penghibur. Teman lama Jack ini memang bekerja sebagai penghibur di Hilton Hotel Singapura. Ia membalas jasa baik Jack yang pernah memberikan lokakarya dan menyumbang tampil bersama kelompok Louis. "Dia tidak minta apa-apa dari saya. Hanya tiket pesawat dan hotel yang diminta," kata Jack. "Senang, senang sekali bermain dengan Jack," sambut Louis. Yang tak kurang mencengkam adalah permainan biola dosen Akademi Musik Yogya, Ed van Ness -- didukung Chris, Ron, dan Eddi pada perkusi, serta Karim (bongo), membentuk New Country (Jean Luc Ponti). Dalam tempo permainan yang dinamik, di sela bunyi peluit dan gencring logam-logam kecil, Ed menyemburkan nafas Amerika Latin ke dalamnya, dan samar-samar pula musik Gipsy menyusup. Dari Ed yang kuat dengan dawai biola, perhatian tidak akan lengkap kalau profil diplomat -- Greg Gibson -- yang selalu menyulut ujung klarinet di bibirnya tidak diketengahkan. Dengan gaya tiupannya yang konsisten, dengan cengkoknya yang lugas, ia selalu menyelesaikan permainan dengan bersih. Dalam komposisi It happened in Monterey dan Sweet Georgia brown, ia tampil sebagai peniup klarinet yang tangguh. Seperti juga Buby Chen yang semakin tegar dari malam ke malam. Bersih, konsisten, dengan improvisasi yang berkembang dalam beberapa variasi permainan mengikuti periode jazz. Kemudian melompat dari zaman swing, cool, dan bebop. Lalu tempo permainan keras ke era jazz rock -- itu yang muncul ketika ia menyelesaikan komposisi St Louis for Jarreth -- dalam permainan solo. Yang mengikuti dengan ketat permainan emas para biang jazz tadi adalah Embong. Meskipun masih belum stabil, tiupan pemuda ceking ini pada flut (terutama) dan sax tidak bisa diabaikan. Ia memberi nafas segar untuk menyempurnakan komposisi Terharu yang diciptakan Indra. Sementara anak Jack yang bungsu berumur 12 tahun, kelas VI SD ini, pijitan bernasnya mulai bermunculan. Rasanya tidak akan meriah kalau tidak menyebut 2 peniup trombon, Nero dan Peter Wolf. Yang terakhir adalah seorang teknikus sebuah perusahaan mobil, yang selalu membawa trombonnya di mobil sekalipun tidak untuk ditiup. Dia juga teman lama Jack. Tapi inilah konser terakhir Greg di Indonesia, sebelum ia kembali ke Australia untuk memangku jabatan baru. Jack dan penggemar jazz tentu akan kehilangan seoran pencinta. Sebab Greg Gibson, seperti juga tamu-tamu Jack tadi, tidak mengharap imbalan apa-apa dari pertunjukannya. "Dengan koneksi kali ini saya puas sekali. Bisa bermain dengan orang-orang gendeng ("gila"), macam Louis itu," ungkap Jack.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus