SETELAH beberapa kali pertunjukan disekap di Teater Besar, Jack
Lesmana kali ini turun kembali ke Teater Terbuka TIM. Selama dua
malam, 27 dan 28 Mei, ia tampil didampingi muka-muka baru. Ada
yang berambut pirang, ada juga yang berambut hitam bukan orang
Indonesia. Untuk itu ia mengambil nama pertunjukan -- seperti
yang selalu dituntut partnernya, TIM -- 'Jack Lesmana
Connection'.
Lima bendera asing ukuran besar: Amerika, Jerman Barat, Jepang,
Australia dan Singapura, digantung di latar belakang pentas.
Merah-putihnya, dalam bentuk ikatan bendera-bendera kecil,
diletakkan di sayap kiri dan kanan panggung. Penulis folder
pertunjukan, Arthur John Horoni, menyebut penampilan itu sebagai
"persobatan antara bangsa." Jack memang punya kepandaian dalam
merekrut musisi jazz. "Hanya itu kelebihan saya. Punya banyak
kawan. Tapi materi saya tidak," kata Jack.
Delapan musisi pribumi bergabung dengan 6 musisi asing yang
diwakili bendera negara masing-masing, membuka pertunjukan lewat
lagu Duke Ellington Take The A Train. (Memang begitu tertulis).
Sedap juga mendengar sajian awal ini diberikan dalam bunyi
pilihan yang kompak. Satu-satu, dalam kesempatan solo, Jack
memperkenalkan para tamunya Peter Wolf (Jerman Barat), Chris
Blenkinsop (Australia), Nero dan Eddi Lunggo (Indonesia) --
keempatnya peniup trombon.
Ada juga Greg Gibson (diplomat Australia), klarinet. Ed van Ness
(Amerika), biola. Louis Tan (Singapura), perkusi. Dan tak
ketinggalan biang jazz dari Surabaya Buby Chen yang nangkring di
belakang piano, didukung Embong flut dan sax), Perry Patiselano
(bas), Benny Mustafa (drum) -- sementara Indra Lesmana (anak
Jack) pada piano listrik. Kuat bukan tim ini?
Berlian dan Kamiyama
Dari sini Jack menyerahkan mik kepada seorang tamunya yang lain,
Kamiyama. Air mukanya tenang. Sambil merokok pengusaha muda
Jepang ini (mewakili sebuah perusahaan gas di Jakarta) mulai
menarik I can't give you: anything but love.
Boleh juga suaranya serak-serak berat, salah dengar sedikit
tanpa melihat sosoknya, eh, Frank Sinatra, bukan? Ia yang
kabarnya pernah bcrgabung dengan beberapa kelompok jazz kenamaan
di Jepang, 'diketemukan' Nien Lesmana (isteri Jack) 5 hari
sebelum pertunjukan secara kebetulan. Bekas langganan salon
kecantikan Nien ternyata punya bos yang menyenangi jazz -- ia
hanya kenal nama Jack di Indonesia. Sebagai peminat jazz
Kamiyama menyatakan kepada Nien ingin bergabung.
"Dia senangnya bukan main. Kayaknya kita sudah berteman lama,"
Nien menceritakan. Kamiyama yang dalam seloroh menyebut Hinomaru
sebagai bloody Japan, menutup penampilannya dengan Undecided
(Duke Ellington).
Dari muka baru tamu Jack kemudian memberi waktu kepada muka baru
jazz pribumi -- tapi sudah dikenal di musik pop -- Berlian
Hutauruk. Mengenakan baju model Abunawas warna biru, ia memang
tampak lebih siap membawakan lagu pop. Benar juga. Hello Dolly
(Barbara Streissand) diselesaikan dengan nafas ngos-ngosan
Berlian seolah adu balap dengan iringan musik yang jungkir balik
menguntitnya.
Hidung Jack, untuk soal begitu, tajam. Malam kedua Hello Dolly
yang merepotkan kedua pihak yang harus bahu-membahu itu,
digeser. Juga busananya -- meskipun pada babak berikutnya
Berlian keluar lagi dengan model Abunawas yang kurang sreg.
"Untuk jazz ini saya baru belajar luar dalam. Jangan galak-galak
menuntut ah," kata cewek Batak yang tengah sengketa soal kaset
Badai Pasti Berlalu ini.
Jack memang membutuhkan kehadiran Berlian. Terutama dalam
membawakan lagu Musician (Chick Corea): "dibutuhkan seorang
penyanyi yang bersuara tinggi. Meskipun instrumen bisa
menggantikan peran vokal, tapi dalam aransemen hal itu riskan
sekali," kata Jack.
Berlian menyelesaikan tugas dalam dua kali permainan yang
menarik. Malam pertama ia lebih segar dan konsisten dibanding
malam kedua dalam mengimbangi permainan orkestra. Tapi memang
dalam kesempatan solo, denan mengandalkan bas, piano dan biola
yang kuat, komposisi ini selain melodious juga rumit. Berlian
bclum sekuat Mona Sitompul atau Margie Segers. Namun usaha Jack
menggaet muka baru ini tampaknya memberi peluang baik.
Louis, Ed, Greg dan Buby
Yang mungkin mcngejutkan adalah bintang tamu dari Singapura,
Louis Soliano Tan. Penabuh dram yang dalam gladi resik kelihatan
galak terhadap Buby ini, bertubuh pendek, ternyata bukan orang
sembarangan. Duduk di belakang set dram yang nyaris
menenggelamkan tubuhnya, ia mendemonstrasikan ketrampilan
berikut stamina ototnya lewat beberapa lagu -- terutama dalam
komposisi Lisa. Menggebrak ke sana ke mari, menginjak pemukul
beduk, eh si Louis masih sempat juga melempar stick ke udara
lalu memutar-mutarnya.
Bahkan dalam kesempatan melakukan duo dengan Benny Mustafa, ia
berani meladeni pemain dram terbaik di Indonesia ini dengan alat
musik tradisi yang baru dikenalnya gondang Batak. Sementara
Benny mencoba memberikan pukulan-pukulan musik tradisi, seperti
bunyi gong dan gamelan Jawa, Louis menyambutnya dengan
Improvisasi pukulan eksklusif. Tak heran kalau penonton
memberikan tepuk hangat. Dan seorang lelaki yang mempunyai anak
penabuh dram dari sebuah kelompok band, malam itu juga menguber
Louis ini untuk diminta memberikan kursus kilat.
Belum habis orang terkejut, tahu-tahu dengan ikat kepala seutas
kain Louis meraih mikrofon. Ia mulai cas-cus sebentar: eee, dari
mulutnya meluncur lagu Bluesette (Billy Paul) -- yang didukung
Buby (piano), Benny (dram), Perry (bas) dan Jack (gitar). Bagus
juga suara dan cara berkomunikasinya dengan penonton --
diselingi dagelan-dagelan pendek.
Louis ternyata seorang penghibur. Teman lama Jack ini memang
bekerja sebagai penghibur di Hilton Hotel Singapura. Ia membalas
jasa baik Jack yang pernah memberikan lokakarya dan menyumbang
tampil bersama kelompok Louis. "Dia tidak minta apa-apa dari
saya. Hanya tiket pesawat dan hotel yang diminta," kata Jack.
"Senang, senang sekali bermain dengan Jack," sambut Louis.
Yang tak kurang mencengkam adalah permainan biola dosen Akademi
Musik Yogya, Ed van Ness -- didukung Chris, Ron, dan Eddi pada
perkusi, serta Karim (bongo), membentuk New Country (Jean Luc
Ponti). Dalam tempo permainan yang dinamik, di sela bunyi peluit
dan gencring logam-logam kecil, Ed menyemburkan nafas Amerika
Latin ke dalamnya, dan samar-samar pula musik Gipsy menyusup.
Dari Ed yang kuat dengan dawai biola, perhatian tidak akan
lengkap kalau profil diplomat -- Greg Gibson -- yang selalu
menyulut ujung klarinet di bibirnya tidak diketengahkan. Dengan
gaya tiupannya yang konsisten, dengan cengkoknya yang lugas, ia
selalu menyelesaikan permainan dengan bersih.
Dalam komposisi It happened in Monterey dan Sweet Georgia brown,
ia tampil sebagai peniup klarinet yang tangguh. Seperti juga
Buby Chen yang semakin tegar dari malam ke malam. Bersih,
konsisten, dengan improvisasi yang berkembang dalam beberapa
variasi permainan mengikuti periode jazz. Kemudian melompat dari
zaman swing, cool, dan bebop. Lalu tempo permainan keras ke era
jazz rock -- itu yang muncul ketika ia menyelesaikan komposisi
St Louis for Jarreth -- dalam permainan solo.
Yang mengikuti dengan ketat permainan emas para biang jazz tadi
adalah Embong. Meskipun masih belum stabil, tiupan pemuda ceking
ini pada flut (terutama) dan sax tidak bisa diabaikan. Ia
memberi nafas segar untuk menyempurnakan komposisi Terharu yang
diciptakan Indra. Sementara anak Jack yang bungsu berumur 12
tahun, kelas VI SD ini, pijitan bernasnya mulai bermunculan.
Rasanya tidak akan meriah kalau tidak menyebut 2 peniup trombon,
Nero dan Peter Wolf. Yang terakhir adalah seorang teknikus
sebuah perusahaan mobil, yang selalu membawa trombonnya di mobil
sekalipun tidak untuk ditiup. Dia juga teman lama Jack. Tapi
inilah konser terakhir Greg di Indonesia, sebelum ia kembali ke
Australia untuk memangku jabatan baru. Jack dan penggemar jazz
tentu akan kehilangan seoran pencinta. Sebab Greg Gibson,
seperti juga tamu-tamu Jack tadi, tidak mengharap imbalan
apa-apa dari pertunjukannya.
"Dengan koneksi kali ini saya puas sekali. Bisa bermain dengan
orang-orang gendeng ("gila"), macam Louis itu," ungkap Jack.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini