KETIKA saya membaca tulisan Masri Singarimbun Menjadi Perempuan
pada halaman 32 TEMPO 8 April 1978, saya sungguh gembira. Isi
tulisan sangat positif.
Sebetulnya saya sendiri sudah sering mengemukakan hal-hal
serupa yang dibahas Masri Singarimbun itu. Malahan dalam skripsi
dan ujian sarjana theologia -- yang akhirnya ternyata saya lulus
juga -- sekalipun kedelapan pengujinya semuanya pria (hal itu
membuat saya senang).
Mungkin bila dikemukakan seorang tokoh seperti Masri Singarimbun
-- seorang pria pula -- dalam suatu medium komunikasi setenar
TEMPO, lebih banyak orang yang mau mendengarkan. Misalnya:
"bahwa ada proses komersialisasi . . . lalu perempuan tunduk
kepada laki-laki sampai sekarang." Jadi sama sekali tak benar --
sekalipun indah syairnya -- kata-kata Ismail Marzuki
"Ditakdirkan (alam) pria berkuasa, ada pun wanita lemah lembut
manja."
Saya cuma menyesal Masri Singarimbun merasa perlu menyebut
Xaviera Hollander dalam hubungan "emansipasi wanita sejati."
Seorang pelacur (sengaja saya gunakan kata ini saya tidak
setuju istilah 'wanita tuna susila', seakan tidak ada 'pria tuna
susila'), menurut pengakuannya sendiri: "The Happy Hooker"
tujuan hidupnya hanyalah menjual diri dan perempuan-perempuan
lain, menurut pendapat saya bukanlah seorang pejuang emansipasi.
Malahan ia makin menjerumuskan wanita dalam image sebagai obyek,
terutama obyek sex.
Kalau toh yang hendak digarisbawahi ialah pendapat "tubuh
perempuan adalah milik perempuan", lebih baik disebut nama
Margaret Sanger, yang bakti hidupnya sebagai salah seorang
pelopor KB pada awal abad ini adalah demi melindungi tubuh
perempuan, bukan mengeksploitasinya.
Sayang pula, Masri Singarimbun tidak menyebut karya Johann
Bachofen: Das Mutterrecht, yang terbit tahun 1861, jadi 66 tahun
sebelum karya Robert Briffault (1927). Dari buku Bachofen inilah
berasal istilah matriarkhat. Kini Das Mutterrecht disambut
sebagai suatu karya klasik yang sangat mendalam penelitian dan
persepsinya, serta menjadi pelopor pemikiran yang ingin menggali
kembali suatu perspektif yang benar dan sah mengenai kedudukan
wanita -- bukan perspektif palsu warisan mentalitas borjuis,
yang sekarang begitu sering didengungkan di Indonesia. Silakan
baca beberapa majalah wanita Indonesia, apa lagi yang ada rubrik
khusus mengenai "Hawa" "Wanita hanya mau masak dan mode
wanita hanya bisa belanja dan bridge coba lihat ibu-ibu tempo
doeloe -- tidak ingin berkarier puas memenuhi panggilan seorang
wanita sejati, menjadi isteri dan ibu" (ini membuat saya marah).
Sekali lagi mengutip Ismail Marzuki: "Wanita dijajah pria sejak
dulu dijadikan perhiasan sangkar madu." Konon begitulah keadaan
tempo doeloe bukan? Padahal dalam buku Bachofen (dan kemudian
Louis Henry Morgan 1872, Robert Briffault, 1927, Jane Harrison,
1903) ditekankan bahwa masyarakat-masyarakat primal adalah
masyarakat matriarkhat. Dkl. masyarakat pertama mengandalkan
hukum serta kekuasaan ibu. Karena pada waktu itu wanita dan pria
100% sama derajatnya: bekerja bersama, berburu bersama,
bersenda-ria bersama. Dengan satu perbedaan (yang masih berlaku
hinga kini): wanita bisa melahirkan anak, Pria tidak.
Karena waktu itu berlaku pula prinsip free sex (betul lho! Free
sex bukan ciptaan modern, tetapi termasuk barang antik),
sukarlah menentukan siapa ayah anak yang dilahirkan itu. Maka
garis keturunan ditarik melalui ibu, dan yang bertanggungjawab
atas anak-anak adalah saudara laki-laki ibu (sistim mamak pun
bukan milik khusus masyarakat Minangkabau).
Tetapi hal yang terpenting yang dikemukakan Bachofen ialah ini:
"Tujuan utama masyarakat primal yang berkaidahkan matriatkhat
itu adalah kesejahteraan manusia (human felfcity), bukan
penaklukkan (conquest) yang menjadi ciri khas masyarakat
patriarkhat."
Herankah kita bahwa buku itu tidak laku pada waktu
penerbitannya? Abad yang lalu, abad ke-19, ciri-ciri khasnya
adalah peperangan dan eksplotasi selain itu juga abadnya Freud,
yang mempopulerkan mitos penis envy (tanpa memperhatikan
kemungkinan bahwa dia sendiri mungkin mengidap uterus envy).
Erich Fromm menulis suatu artikel yang antara lain menyangkut
hal ini, yaitu kekhilafan Freud yang tambah mengokohkan perasaan
kejayaan kejantanan (male chauvinism).
Dan dalam bukunya The Anatomy of Human Destructiveness, Fromm
menunjuk kepada masyarakat matriarkhat Catal Huyuk di Anatolia,
Turki (berlangsung 5600 sebelum Masehi -- kira-kira 4800 sebelum
Masehi) sebagai suatu contoh masyarakat di mana sungguh-sungguh
diberlakukan kesejahteraan manusia itu. Dari
penyelidikan-penyelidikan masyarakat Neolithis yang berlangsung
lebih kurang 800 tahun itu, temyata tak ada tanda-tanda pernah
adanya penyerbuan atau pembantaian, dan antara rangka-rangka
manusia yang ditemukan tak ada satu pun yang memperlihatkan
bukti-bukti telah dibunuh atau pun mati oleh kekerasan (violent
death).
Coba anda bayangkan: 800 tahun tak ada peperangan, tak ada
kekerasan .... Begitu kalahkah manusia modern dari manusia
Neolithis itu? Barangkali manusia Neolithis itu memang jauh
lebih bijak dari manusia modem, karena ia memberikan tempat yang
layak kepada wanita dalam masyarakatnya. Bukan suatu tempat yang
dirampas, tetapi suatu tempat yang memang menjadi haknya. Demi
kesejahteraan manusia.
Saya salut kepada Masri Singarimbun untuk tulisannya.
MARIANNE KATOPPO, STh
Tengku Cik Ditiro 20,
Menteng, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini