Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Wanita: terhadap masri singarimbun

Syair ismail marzuki, perempuan tunduk pada laki-laki makin menjerumuskan wanita dalam image sebagai obyek. masyarakat neolithis memberikan tempat yang layak kepada wanita, lebih bijak dari manusia modern. (kom)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA saya membaca tulisan Masri Singarimbun Menjadi Perempuan pada halaman 32 TEMPO 8 April 1978, saya sungguh gembira. Isi tulisan sangat positif. Sebetulnya saya sendiri sudah sering mengemukakan hal-hal serupa yang dibahas Masri Singarimbun itu. Malahan dalam skripsi dan ujian sarjana theologia -- yang akhirnya ternyata saya lulus juga -- sekalipun kedelapan pengujinya semuanya pria (hal itu membuat saya senang). Mungkin bila dikemukakan seorang tokoh seperti Masri Singarimbun -- seorang pria pula -- dalam suatu medium komunikasi setenar TEMPO, lebih banyak orang yang mau mendengarkan. Misalnya: "bahwa ada proses komersialisasi . . . lalu perempuan tunduk kepada laki-laki sampai sekarang." Jadi sama sekali tak benar -- sekalipun indah syairnya -- kata-kata Ismail Marzuki "Ditakdirkan (alam) pria berkuasa, ada pun wanita lemah lembut manja." Saya cuma menyesal Masri Singarimbun merasa perlu menyebut Xaviera Hollander dalam hubungan "emansipasi wanita sejati." Seorang pelacur (sengaja saya gunakan kata ini saya tidak setuju istilah 'wanita tuna susila', seakan tidak ada 'pria tuna susila'), menurut pengakuannya sendiri: "The Happy Hooker" tujuan hidupnya hanyalah menjual diri dan perempuan-perempuan lain, menurut pendapat saya bukanlah seorang pejuang emansipasi. Malahan ia makin menjerumuskan wanita dalam image sebagai obyek, terutama obyek sex. Kalau toh yang hendak digarisbawahi ialah pendapat "tubuh perempuan adalah milik perempuan", lebih baik disebut nama Margaret Sanger, yang bakti hidupnya sebagai salah seorang pelopor KB pada awal abad ini adalah demi melindungi tubuh perempuan, bukan mengeksploitasinya. Sayang pula, Masri Singarimbun tidak menyebut karya Johann Bachofen: Das Mutterrecht, yang terbit tahun 1861, jadi 66 tahun sebelum karya Robert Briffault (1927). Dari buku Bachofen inilah berasal istilah matriarkhat. Kini Das Mutterrecht disambut sebagai suatu karya klasik yang sangat mendalam penelitian dan persepsinya, serta menjadi pelopor pemikiran yang ingin menggali kembali suatu perspektif yang benar dan sah mengenai kedudukan wanita -- bukan perspektif palsu warisan mentalitas borjuis, yang sekarang begitu sering didengungkan di Indonesia. Silakan baca beberapa majalah wanita Indonesia, apa lagi yang ada rubrik khusus mengenai "Hawa" "Wanita hanya mau masak dan mode wanita hanya bisa belanja dan bridge coba lihat ibu-ibu tempo doeloe -- tidak ingin berkarier puas memenuhi panggilan seorang wanita sejati, menjadi isteri dan ibu" (ini membuat saya marah). Sekali lagi mengutip Ismail Marzuki: "Wanita dijajah pria sejak dulu dijadikan perhiasan sangkar madu." Konon begitulah keadaan tempo doeloe bukan? Padahal dalam buku Bachofen (dan kemudian Louis Henry Morgan 1872, Robert Briffault, 1927, Jane Harrison, 1903) ditekankan bahwa masyarakat-masyarakat primal adalah masyarakat matriarkhat. Dkl. masyarakat pertama mengandalkan hukum serta kekuasaan ibu. Karena pada waktu itu wanita dan pria 100% sama derajatnya: bekerja bersama, berburu bersama, bersenda-ria bersama. Dengan satu perbedaan (yang masih berlaku hinga kini): wanita bisa melahirkan anak, Pria tidak. Karena waktu itu berlaku pula prinsip free sex (betul lho! Free sex bukan ciptaan modern, tetapi termasuk barang antik), sukarlah menentukan siapa ayah anak yang dilahirkan itu. Maka garis keturunan ditarik melalui ibu, dan yang bertanggungjawab atas anak-anak adalah saudara laki-laki ibu (sistim mamak pun bukan milik khusus masyarakat Minangkabau). Tetapi hal yang terpenting yang dikemukakan Bachofen ialah ini: "Tujuan utama masyarakat primal yang berkaidahkan matriatkhat itu adalah kesejahteraan manusia (human felfcity), bukan penaklukkan (conquest) yang menjadi ciri khas masyarakat patriarkhat." Herankah kita bahwa buku itu tidak laku pada waktu penerbitannya? Abad yang lalu, abad ke-19, ciri-ciri khasnya adalah peperangan dan eksplotasi selain itu juga abadnya Freud, yang mempopulerkan mitos penis envy (tanpa memperhatikan kemungkinan bahwa dia sendiri mungkin mengidap uterus envy). Erich Fromm menulis suatu artikel yang antara lain menyangkut hal ini, yaitu kekhilafan Freud yang tambah mengokohkan perasaan kejayaan kejantanan (male chauvinism). Dan dalam bukunya The Anatomy of Human Destructiveness, Fromm menunjuk kepada masyarakat matriarkhat Catal Huyuk di Anatolia, Turki (berlangsung 5600 sebelum Masehi -- kira-kira 4800 sebelum Masehi) sebagai suatu contoh masyarakat di mana sungguh-sungguh diberlakukan kesejahteraan manusia itu. Dari penyelidikan-penyelidikan masyarakat Neolithis yang berlangsung lebih kurang 800 tahun itu, temyata tak ada tanda-tanda pernah adanya penyerbuan atau pembantaian, dan antara rangka-rangka manusia yang ditemukan tak ada satu pun yang memperlihatkan bukti-bukti telah dibunuh atau pun mati oleh kekerasan (violent death). Coba anda bayangkan: 800 tahun tak ada peperangan, tak ada kekerasan .... Begitu kalahkah manusia modern dari manusia Neolithis itu? Barangkali manusia Neolithis itu memang jauh lebih bijak dari manusia modem, karena ia memberikan tempat yang layak kepada wanita dalam masyarakatnya. Bukan suatu tempat yang dirampas, tetapi suatu tempat yang memang menjadi haknya. Demi kesejahteraan manusia. Saya salut kepada Masri Singarimbun untuk tulisannya. MARIANNE KATOPPO, STh Tengku Cik Ditiro 20, Menteng, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus