Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari James Bond yang Ramah

Pemerintah berniat membentuk lembaga intelijen baru di bawah Departemen Pertahanan. Sejumlah kendala menghadang.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA intelijen Indonesia bakalan semakin ramai saja. Menteri Pertahanan Mohamad Mahfud pekan lalu mengumumkan rencana pembentukan sebuah badan intelijen di bawah departemennya. Jangan dulu membayangkan lembaga baru itu seperti yang selama ini dipahami tentang mata-mata: angker dan tukang tangkap. "Badan intelijen keamanan itu hanya memburu informasi, lalu mengolahnya, kemudian melaporkannya ke presiden," ia menegaskan.

Ide itu muncul, menurut Mahfud, ketika menanggapi pernyataan sejumlah anggota DPR yang melihat semakin lemahnya dunia intelijen. Indikasi itu terlihat dari semakin maraknya gerakan separatisme yang memunculkan kerusuhan di mana-mana.

Saat bom bertebaran di mana-mana September silam, Presiden Abdurrahman Wahid juga menganggapnya merupakan akibat menurunnya kemampuan intelijen. Keluhan itu disampaikan dalam rapat kabinet bidang politik dan keamanan.

"Usulan awal sebenarnya memindahkan Badan Intelijen Strategis (Bais) dari Mabes TNI ke Departemen Pertahanan," ujar Mahfud. Namun, pemikiran berkembang saat ide itu dibicarakan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Dari hasil diskusi, muncullah gagasan agar Departemen Pertahanan (Dephan) mempunyai badan intelijen sendiri setingkat direktorat jenderal. "Presiden dan Panglima TNI sudah menyatakan persetujuannya," ia menandaskan.

Rencananya, lembaga intelijen itu akan memberi rumusan yang berkaitan dengan kebijakan presiden di bidang pertahanan. Tentu saja itu berdasarkan spionase yang dilakukan di lapangan. "Setiap hari presiden akan mendapat bahan apa saja yang terjadi di masyarakat atau yang telah dilakukan oleh si A, si B, dan C," tutur Mahfud.

Saat ini, lembaga resmi yang berfungsi sebagai intelijen negara adalah Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Lembaga ini berfungsi mengoordinasi berbagai institusi intelijen yang melekat di berbagai lembaga, dari intelijen TNI, Kejaksaan Agung, Polri, Departemen Keuangan (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), Departemen Kehakiman (Direktorat Jenderal Imigrasi), sampai Departemen Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Sosial dan Politik).

Sedangkan Badan Intelijen Strategis (Bais) khusus menangani masalah-masalah intelijen yang berkaitan dengan fungsi militer. Badan ini beberapa kali berubah nama menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA). Sejak 1999, saat Jenderal (Purn.) Wiranto menjadi Menhankam/Pangab, lembaga ini justru dimekarkan dan langsung di bawah Panglima TNI. Sebelumnya ia ditempatkan di bawah pengawasan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI. Satuan tugas pun ditambah dua bidang, yakni intelijen ekonomi dan intelijen teknologi.

Di zaman Soeharto berkuasa, Bais dan Bakin menjadi momok menakutkan bagi kekuatan antipemerintah. Mereka mirip SAVAK, agen rahasia Syah Iran. Tidak hanya kewenangannya yang sangat super, jaring spionasenya pun masuk sampai ke pelosok daerah dan hampir di semua aspek kehidupan masyarakat. Bahkan bisa disebut, hukum tidak bisa menyentuh sepak terjang mereka.

Penyalahgunaan wewenang terjadi tanpa adanya sanksi. Penyelidikan kasus tewasnya Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Surabaya, misalnya, belakangan diakui melibatkan Bais. Pembebasan tersangka yang ditangkap oleh Mahkamah Agung ternyata atas campur tangan lembaga itu pula.

Belakangan, setelah Soeharto turun dan B.J. Habibie naik, dunia intelijen dirasa mulai menurun kedigdayaannya. Lembaga telik sandi itu tidak lagi ditakuti aktivis prodemokrasi. Demonstrasi marak. Berbarengan dengan itu berbagi kerusuhan dan gerakan separatisme ikut pula marak. Dunia intelijen ikut andil dalam menciptakan kondisi itu. Kemampuan mengendus gerakan bawah tanah tidak lagi tajam.

Kekalahan kelompok prointegrasi dalam jajak pendapat Timor Timur, Agustus 1999, diyakini sebagai tidak akuratnya institusi intelijen memberi masukan kepada pemerintah. Kabarnya, sebelum B.J. Habibie melontarkan opsi merdeka atau bergabung, pihaknya sudah menerima data intelijen bahwa mayoritas penduduk bumi Loro Sa'e itu mendukung integrasi. "Situasi politik dalam negeri membuat Bais tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai spionase ataupun counter-spionase," ujar R.E. Baringbing, pensiunan kolonel yang lama berkecimpung dalam dunia telik sandi.

Derasnya arus reformasi yang menuntut mundurnya TNI dari dunia politik memang sedikit-banyak mengubah paradigma dunia intelijen. "Perubahan politik yang tidak terantisipasi dan loyalitas kepemimpinan merupakan salah satu penyebab mandeknya intelijen di Indonesia," kata pengamat militer M.T. Arifin. Bersamaan dengan itu, tuntutan terhadap penghargaan hak asasi manusia juga semakin gencar disuarakan. Keadaan ini ikut pula memaksa kaum intelijen untuk taat hukum dan bertindak berdasarkan skill, bukan power.

Campur tangan institusi intelijen militer dalam dunia politik menurun tajam saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Bais dan Bakin tidak lagi menjadi pemasok tunggal informasi yang berkaitan dengan gerakan antipemerintah. Presiden punya banyak pembisik. Informasi pertemuan sejumlah jenderal di Jalan Lautze, yang disebut Abdurrahman Wahid sebagai upaya melakukan makar, awal Februari lalu, ternyata bukan dari Bakin. "Kami tidak pernah memberi informasi soal itu dan tidak ada kegiatan untuk mengudeta pemerintah," ujar Kepala Bakin, Arie J. Kumaat, saat itu.

Sebaliknya, berseliwerannya para "intel" amatir di sekeliling presiden juga bukan tanpa risiko. Gaya Presiden Abdurrrahman yang sangat terbuka kepada pers dan publik jelas embutuhkan informasi A-1 (akurasi tinggi). Namun, yang terjadi, "bisikan" itu terkadang tidak benar. Informasi yang diterima Presiden berkaitan dengan keterlibatan Tommy Soeharto dan Ali Baagil dalam kasus peledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta, misalnya, ternyata tidak terbukti. Jika keadaan ini terus berlangsung, jelas kredibilitas Presiden semakin jatuh.

Bisa jadi badan intelijen yang akan dibentuk Mahfud sebenarnya bertujuan menyaring dan mewadahi para pembisik sipil itu. "Saya merasa berkewajiban menyediakan informasi yang akurat dari lembaga resmi yang bekerja sungguh-sungguh," katanya, tegas. Soal pembisik? "Saya merasa tidak berhak mengurangi para pembisik itu dan tidak berpikir akan menyaingi informan tidak resmi," ia menambahkan.

Bagaimana nasib Bakin dan Bais? "Bakin dan Bais tetap ada. Sedangkan fungsi Bakin tetap mengoordinasi banyak institusi intelijen," tuturnya. Tugas lembaga baru itu pun menurut Mahfud tidak akan tumpang tindih dengan institusi intelijen yang sudah ada.

Namun, pembentukan lembaga intelijen baru bukanlah persoalan mudah. Sejumlah kendala telah menunggu. Dana operasional adalah persoalan pertama. "Sebagai contoh, biaya operasional untuk Bais bisa mencapai Rp 350 juta per bulan," kata Mahfud. Anggaran sebesar itu, katanya lagi, jelas tidak cukup untuk menutup ongkos kegiatan di seluruh Indonesia.

Pendapat serupa dilontarkan mantan Kepala BIA, Mayjen Zacky Anwar. "Lembaga intelijen itu membutuhkan dana mandiri dan peralatan yang modern," katanya. Perwira tinggi di Mabes TNI itu juga sudah mendengar kondisi satuan intelijen sangat "merana". Jangankan ke luar negeri, mengirim anggota ke daerah saja sulit.

Selama kondisi perekonomian seperti saat ini, jelas keinginan Mahfud mendirikan lembaga intelijen masih sebatas mimpi. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin kelakuan intelijen di masa lalu akan terulang lagi. Karena minimnya dana, tidak menutup kemungkinan para intel akan "ngobyek" cari dana. Selain itu, dukungan dana besar jelas dibutuhkan untuk melakukan counter-spionase pihak luar. Dan dalam dunia serba maju, intelijen tidak lagi sebatas mencari posisi musuh, tetapi juga sudah merambah ke dunia bisnis.

Selain itu, masih ada kendala lain. "Saat ini yang perlu dibenahi di samping soal dana adalah sumber daya manusia," ujar Zacky. Dunia intelijen masa kini, menurut Zacky, sudah berbasis pada technical intelligence yang lintas disiplin. Informasi yang diperoleh sudah berinteraksi satu sama lain. "Sehingga, kemampuan personel untuk dapat memetakan persoalan dan membaca kecenderungan ke depan menjadi sangat penting," katanya.

Di sisi lain, kekhawatiran terhadap lembaga intelijen baru itu bukanlah tidak ada. Trauma masa lalu terhadap sepak terjang aparat intelijen masih saja membayang. Apalagi jika lembaga itu hanya bertanggung jawab kepada presiden. Agar tingkah laku badan intelijen itu tidak sebagai alat kekuasaan untuk meredam kelompok antipemerintah, R.E. Baringbing mengusulkan agar DPR diberi kewenangan mengontrolnya. Sedangkan secara struktural badan ini bertanggung jawab kepada MPR. "Jangan sampai badan intelijen itu dipakai untuk kepentingan kekuasaan seperti Orde Baru," ujarnya.

Mahfud sependapat. "Badan itu tidak akan menjadi alatnya Gus Dur," katanya. Janji memang mudah diucapkan. Namun, masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga bahwa kekuasaan bisa memabukkan. Dan itu bisa menimpa siapa saja, tidak terkecuali Abdurrahman Wahid.

Johan Budi S.P., Rian Suryalibrata, Hadriani Pudjiarti, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus