Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Peci, Dari Emper Toko Ke Kepala

Para pengrajin peci hanya sibuk selama 3 bulan menjelang puasa. Mereka terpaksa mencari usaha lain di musim sepi. Kesulitan dapat diatasi dengan koperasi, menambah modal dari bank atau mengekspornya. (ils)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COBA fikir. Kalau anda mulai meninggalkan kebiasaan hanya sekali memakai peci dalam setahun (lebaran atau hari-hari penting lainnya), akan sama artinya dengan memberi angin baik bagi para pembuat kopiah alias peci. Sebab berbeda dengan pengusaha makanan, produsen peci umumnya hanya bekerja penuh selama 3 bulan dalam tiap tahun. Selebihnya mudah dibayangkan, hanya sekedar bekerja agar tak disebut menganggur. Dan penghasilannya juga apa adanya. Keadaan serupa itu misalnya terlihat di lorong-lorong kecil tak jauh dari pantai Gresik Di Jawa Timur. Di hari-hari menjelang lebaran seperti sekarang, kesibukan luar biasa memang terlihat pada ribuan orang pengrajin peci yang bekerja di emper-emper rumah mereka di Gresik itu. Itupun hanya merupakan sisa-sisa terakhir kesibukan. Sebab kesibukan sesungguhnya sudah mereka mulai sejak 3 bulan sebelumnya: Jumadil-akhir, Rajab dan Sa'ban. Ekspor "Kalau sedang musim ramai, ada 9.000 pengrajin Gresik hidup dari kopiah" tutur Amanullah, Ketua Koperasi Kopiah Gresik. Pada waktu-waktu itu seorang pengrajin dapat mengantongi hasil antara Rp 400 sampai Rp 1.000 tiap hari, tergantung berapa buah peci yang mampu diselesaikannya. Untuk tugas melakukan perakitan misalnya, seorang dapat menghasilkan 1 kodi peci sehari -- ini berarti ia mengantongi Rp 1 000. Seorang pengusaha peci yang lain, Andi Husnul -- dengan produksi ber-merk 28, Djaka Galing dan Sawung Kaling --memperkerjakan 20 orang perakit. Dengan jumlah itu berarti di belakangnya bersimpuh sekitar 180 orang lagi yang mengerjakan komponen-komponen kopiah di rumah masing-masing. Di Gresik tercatat tak kurang dari 300 kelompok pengrajin. Tetapi menurut Amanullah, di musim-musim sepi (terutama setelah selesai bulan puasa) hanya kelompok-kelompok pengrajin besar saja yang terus berproduksi. Inipun dengan mengurangi kegiatan. Sedang yang kecil-kecil beralih ke usaha lain. "Kalau lagi ramai, bikin berapa saja habis, bahkan kekurangan" tutur Amanullah lagi Sebab katanya, pedagang peci yang bermodal besar, berusaha membeli sebanyak-banyaknya untuk persediaan. Untuk sedikit memantapkan kehidupan para pengrajin peci, terutama di musim sepi, sejak awal 1979 ini Amanullah membentuk koperasi. Badan ini menyediakan bahan-bahan dan terus melakukan pembelian dari anggota-anggotanya meskipun dalam musim sepi. "Dengan begitu pengrajin bisa hidup terus" sambung Amanullah. Tapi belum banyak yang dilakukan koperasi itu, penyakit kekurangan modal mulai menghambat. "Perlu modal sekitar Rp 200 juta" kata Amanullah dengan setengah putusasa. Dan ia segera membandingkan: jika pabrik Semen Gresik dengan buruh sekitar 2.000 orang dapat modal milyaran rupiah, mengapa industri peci dengan 9.000 tenaga tidak dapat memperoleh kredit 200 juta. Tapi Andi Husnul melawan masa sepi dengan mengekspor ke Malaysia. Di samping hasil produksinya sendiri, ia juga membeli dari perusahaan-perusahaan lain untuk dikirim ke negara tetangga itu. "Masih kecil-kecilan" ujarnya, "tiap bulan hanya 5.000 peci diekspor." Tapi khusus untuk luar negeri Husnul menjual barang dengan kwalitas lebih baik kalau untuk pasaran dalam negeri sekodi peci habis biaya Rp 20.000, untuk ekspor dengan bahan lebih baik sekodi menelan biaya produksi Rp 31.000. Harga jualnya Rp 40.000 per kodi. Kopiah Gresik memang telah terkenal sejak puluhan tahun lampau. Ada beberapa daerah, seperti Semarang, yang memakai merk sendiri tapi dengan peci buatan Gresik. Bahkan buatan Andi Husnul sering dipesan pejabat-pejabat tinggi di Jakarta, terutama yang bermerk 28. Di Jakarta, merk ini dikenal juga dengan sebutan "Kopiah Adam Malik". Tetapi bukan berarti Jakarta sendiri tak menghasilkan peci. Di Kebayoran Lama sejak kereta api belum terdapat di Jakarta telah dikenal kelompok pengrajin peci di Kampung Ulujami. Pada mulanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil di antara beberapa keluarga. Sekarang mereka telah tergabung dalam Usaha Bersama Pengrajin Peci Ulujami Pondok Pesantren Darunnajah Kebayoran Lama. Dengan ketua Drs. Mahrus Amin (pimpinan Pesantren itu) usaha bersama ini meliputi 2.000 kepala keluarga lebih dalam 200 kelompok. Dengan 500 buah mesin jahit, tak kurang dari 6 kodi peci setiap hari lahir di Kebayoran Lama. Celakanya kebanyakan mereka berstatus tak lebih dari buruh. Sebab setelah mereka menerima bahan, lalu mengerjakannya, barang jadi itu harus mereka serahkan kepada si pemberi bahan. Upahnya Rp 6.000 untuk setiap kodi (20 peci). Tapi jika kwalitasnya termasuk baik si pengrajin dapat memperoleh Rp 12. 000 setiap kodi Kwalitas itu berharga Rp 900 per peci di pasaran. Sedangkan untuk kwalitas terbaik harga pasaran sekitar Rp 1.500. "Peci yang paling laku adalah yang mutunya kurang baik," tutur Mahrus Amin. Ini tentu karena harganya murah dan hanya untuk sekali-sekali saja dipakai. Peci Bung Peci Pantas adalah merk yang terkenal sejak tahun 30-an di kalangan pemakai kopiah. Ia dihasilkan oleh pengrajin-pengrajin di Kampung Cidodol, Pasar Minggu Jakarta. Toko Pelangi di Proyek Senen (Jakarta) yang menjadi salah satu agennya, setiap tahun paling sedikit melakukan 1.500 buah peci merk ini. Harganya memang cukup mahal dibanding merk lain, sekitar Rp 2.750 sebuah. Para penggemarnya berpendapat mutu peci ini memang lebih baik, lebih halus. Modelnya juga bermacam-macam. Seperti model Medan, model Sulaman, atau model beludru yang lebih dikenal dengan sebutan "peci Bung" -- karena sama model dengan yang pernah dipakai Almarhum Bung Karno. Dan memang Bung Karno dulu memakai peci merk Pantas. Menurut Haji Syafril Umar Ali, pimpinan Toko Pelangi, bekas Presiden RI itu pemakai peci paling banyak. Setiap tahun, katanya, sedikitnya 15 kali Bung Karno berganti peci -- karena setiap kali ke luar negeri harus dengan peci baru. Peci Pantas dulu menggunakan bludru impor, tapi akhir-akhir ini sudah memakai bahan dalam negeri. Mudah diduga, jika para pengrajin peci juga menghadapi masalah seperti yang terjadi di kalangan pada umumnya kekurangan modal. Untuk mengekspor merk Pantas misalnya diperlukan modal cukup besar untuk menumpuk bahan. Para pengrajin di Cidodol itu tak mampu memperolehnya. Begitu juga para pengrajin di Ulujami. Bank memang satu-satunya sumber modal yang mereka harapkan, tapi satu-satunya keluhan mereka juga prosedur terlampau berbelit. Kesulitan para pembuat kopiah itu tentu saja tidak tampak jika melihat kesibukan penjualnya di pasaran hari-hari menjelang lebaran ini. Empat orang grosir peci di Pasar Tanah Abang ramai diserbu pengecer. Darus, misalnya, seorang penjual peci di kaki-5 Pasar Tanah Abang, mengaku hari-hari di bulan puasa ini ia menjual kopiah rata-rata 2 kali lipat dari hari-hari biasa. Ia tak bersedia menyebut berapa yang laku setiap hari. Tapi, katanya, jika hari biasa ia mengantongi keuntungan paling banyak Rp2. 000, akhir-akhir ini ia dapat membawa pulang laba Rp 4.000 sehari. Pedagang kaki-5 yang lain, Sunarto, dengan muka berseri-seri menunjukkan susunan uang Rp 9.000 di tangannya. "Ini berarti keuntungan saya hari ini sudah Rp 3.000" ujarnya. Di pasaran Jakarta harga sebuah peci berkisar antara Rp 300 (kopiah anak-anak) sampai Rp 3.000. Yang paling mahal tetap buatan Gresik dan Jakarta Peci buatan Madura yang tinggi dan model Padang yang lemas dan runcing tidak begitu disukai. Peci berwarna (merah atau ungu) dan kembang-kembang juga jarang peminat, harganya antara Rp750 sampai Rp 1.500.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus