PEMBAYARAN
Oleh: S. Sinansari ecip
Terbitan Pustaka Jaya Jakarta, 1979
113 halaman, 17« x 12« cm
JAMILAH di dalam bahasa Arab sama dengan Sundari di dalam bahasa
Sanskrit dan Euis di dalam bahasa Sunda, artinya: cantik.
Ketiga-tiganya umum dipakai sebagai nama gadis. Di dalam novel
(et) S. Sinansari ecip, gadis Jamilah telah dilarikan si tokoh
utama Xramhat (nama ini cukup nyentrik, mungkin menghindari
kesamaan yang dapat menyinggung) ke hutan. Di sana mereka
bercinta penuh gelora menggebu.
Tapi Xramhat, yang dijuluki Daeng Cakdi (kecil), berniat hendak
meresmikan perkawinannya dengan gadis yang dicintainya secara
tulus itu. Gadis itu telah menerima mahar dari Halede, calon
suami yang tak dicintainya -- seorang lelaki yang telah
beristeri dan beranak. Justeru karena si tukmis -- orang yang
tak boleh melihat jidat klimis -- Halede hendak menjadikan
Jamilah isteri keduanya, I Barombong menyuruh anak buahnya
supaya ia dibunuh. Xramhat belum tahu perihal disingkirkannya
Halede dari 'peredaran'.
Membara
Bagaimana kalau setelah Daeng Cakdi melarikan Jamilah, dan
sebelum pinangan dilakukan kepada ayah si gadis, dengan risiko
perang tanding dengan Halede, Xramhat tahu dari paman gadis itu,
bahwa ayah gadis itulah yang telah membunuh ayahnya ketika
abangnya dan dia masih sangat kecil? I Barombong, paman si gadis
yang kepala perampok ternak itu, menyingkapkan pengakuan
tersebut ketika nyawa telah meradak di kerongkongannya, hendak
berangkat pergi setelah perkelahian mati-hidup dengan Xramhat,
dibantu Gassing, teman karibnya.
Dan Xramhat pun cukup alasan untuk merenggut nyawa I Barombong,
karena yang terakhir ini membunuh Salasa (yang dijuluki Daeng
Lompo), abang Xramhat. Tanpa bantuan Gassing Xramhat takkan
berhasil merobohkan I Barombong yang sakti, dan hanya akan dapat
dikalahkan kalau serentak diserang oleh dua orang dari arah yang
berlawanan. Dan Gassing adalah kawan akrab Xramhat sejak di SMA
Ujung Pandang, yang menjadi wakil pemimpin gerombolan perampok
ternak, tangan kanan I Barombong. Tapi sebenarnya Gassing
seorang anggota Polri yang dengan menyusupi gerombolan I
Barombong bertugas menggulung komplotan tersebut yang telah
sekian lama merampas ternak dan memperkosa kaum wanita.
Cerita berakhir in torso, tak dikemukakan penutupnya. Jadikah
Xramhat mengawini Jamilah setelah tahu, bahwa calon mertuanyalah
yang membunuh ayahnya? Apakah ia juga akan mengawini Sitti --
bekas iparnya?
Sitti itu dulu kekasihnya yang dikawini abangnya, Salasa, yang
tak tahu bahwa gadis itu pacar adiknya.
Xramhat yang menderita frustrasi 'membuang diri' menjadi
mahasiswa di Jakarta. Tampak-tampaknya kedua wanita yang telah
berkumpul di bawah satu atap itu dapat diterka akan disuntingnya
sebagai isteri. Bukankah setelah Salasa gugur dan Xramhat akan
berangkat menuntut balas kematian abangnya itu, Sitti masih
menyatakan cintanya dengan: "Aku tak mau kehilangan untuk kedua
kalinya."? Sedangkan Xramhat sendiri masih membara sekam
kasihnya kepada Sitti yang bermata lembut.
Pengarang tak menceritakan dan hanya menyuruh pembaca menerka
bagi dirinya sendiri. Ia memberikan kemungkinan bagi suatu
tafsiran yang bercabang banyak.
Gaya ceritanya cukup lancar dan pekat, kadang-kadang terlalu
pekat, hingga memberikan kesan goresan kilat, misalnya
perjumpaan Xramhat dengan bekas mahasiswi Ifah. (Singkatan
Latifah, Afifah atau Syarifah?). Jelas antara dia dan Ifah
terdapat nisbah yang lebih mesra daripada sekadar hajat badaniah
timbal balik atau pengertian dan simpati. Terkulainya harapan
bekas aktivis-aktivis Angkatan '66 -- yang melihat elan
perjuangan mereka dahulu dihadapkan kepada realitas-realitas
pahit yang mengecewakan -- juga digoreskan dengan terlalu
disederhanakan. Sekalipun hanya sebagai dekor suasana.
Robin Hood
Tapi perkembangan watak Xramhat cukup jelas digambarkan dengan
kekuatan dan kelemahannya. Pada dasarnya ia bukan orang jahat.
Sekalipun berhasil membongkar lima juta rupiah dari bank bekas
tempatnya bekerja, ia membagikan sebagian besar uang rampokannya
tersebut kepada kaum pengemis dan gelandangan, a la Robin Hood,
Si Conat dan Si Pitung. Ia hanya menyimpan seratus ribu rupiah
untuk ongkos pulang ke kampung dan membeli sekadar oleh-oleh
bagi ipar dan kemenakan-kemenakannya. Cintanya masih kuat kepada
Sitti -- seperti cinta Laksmana kepada Dewi Sinta, isteri
abangnya, Rama -- tapi seperti Laksmana ia pun tak hendak
merusak rumahtangga abangnya. Sayang Xramhat tak mengelak atau
menolak ketika abangnya dengan perlahan, tapi pasti, menyeretnya
ke dunia gerombolan perampok ternak. Sepala-pala mandi, akhirnya
ia basah kuyup.
Yang tetap tak terjawab sampai akhir cerita, cukupkah si cantik
Jamilah merupakan pembayaran bagi dendam atas kematian ayah
Xramhat? Cukupkah kebahagiaannya dengan Jamilah (dan mungkin
Sitti sekaligus) menjadi pembayaran bagi kegagalan studinya dan
frustrasinya sebagai pejuang yang dikecewakan?
Monolog interior atau "arus kesadaran" merupakan bagian menarik
novel (et) ini, sebagaimana dimuat pada halaman 85-87. Teknik
ini telah diterapkan dengan berhasil oleh S. Sinansari ecip,
Doctorandus Publisistik lulusan UI yang pekerjaannya sehari-hari
adalah dosen publisistik pada Universitas Hasanuddin di Ujung
Pandang.
Novel (et) ini cukup berhasil menggambarkan frustrasi, cinta dan
dosa.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini